40. Saudara?

226 47 96
                                    

Blaze melanjutkan perkataannya, suaranya sedikit meninggi, "Gimana rasanya jadi Ice? Setiap hari di-bully, dihina, dipermalukan sama gue. Tapi dia tetep sabar dan baik sama gue. Bahkan dia rela donorin darahnya buat gue."

"Gue baru ngerasain betapa bodohnya gue selama ini," lanjut Blaze. "Gue udah nyia-nyiakan kebaikan Ice. Gue udah bikin dia sedih."

Taufan mengangguk setuju. "Gue juga sama, Blaze. Gue udah nyakitin Gempa berkali-kali tapi dia tetep baik sama gue."

"Kok kita kayak adu kejahatan ya?" Blaze tersadar setelah beberapa menit mereka terdiam.

Taufan terkekeh pelan, dia merangkul bahu Blaze. "Mulai hari ini kita belajar tobat yok!" ajaknya.

"Oke, tapi gue gak janji tempramentalnya gue bisa ilang apa kagak," balas Blaze.

"Tenang aja, semua butuh proses."

Mereka berdua akhirnya pergi dari rumah sakit, lagi-lagi Taufan yang membayar biaya rumah sakit. Nasib jadi Taufan, dia sering sekali membantu Blaze kalau masalah uang, apalagi Blaze dan Halilintar itu tak ada orangtua.

Memang durhaka mereka tak menganggap ayah mereka masih hidup, tapi Blaze dan Halilintar tak peduli. Bagi mereka, sang ayah sudah mati setelah membunuh ibu mereka tepat di depan mata Halilintar.

Sejak kejadian tragis itu, bayangan sosok ayah mereka selalu menghantui kehidupan Halilintar dan Blaze. Kebencian yang mendalam telah mengakar kuat di hati mereka, membuat Halilintar dan Blaze sulit untuk melupakannya.

Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, memancarkan cahaya jingga yang menyinari wajah pucat Blaze. Taufan menghela napas, melihat sahabatnya yang terlihat begitu lemah. Sejak kejadian itu, Blaze memang belum sepenuhnya pulih.

"Anterin gue ke kos, kayaknya Bang Hali udah pulang kerja paruh waktu," ujar Blaze mengingat Halilintar mendadak jarang mengunjunginya di rumah sakit karena sibuk mengumpulkan uang.

Pasti itu karena Taufan yang sering membantu biaya hidup Blaze bahkan sekolahnya Halilintar juga. Pemuda bernetra ruby itu tak enak hati pada Taufan karena hal itu.

"Duh, mendadak si Gempa demam, gue pulang dulu. Lo dijemput Ice aja ya!" seru Taufan setelah membuka pesan dari pembantu di rumahnya, lalu Taufan meninggalkan Blaze di depan rumah sakit.

Blaze berdiri di depan rumah sakit, menatap kosong ke arah jalan. Pemuda itu mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor Ice. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya panggilannya tersambung.

"Halo?" suara Ice terdengar dari telepon, sedikit gugup.

"Ice, bisa jemput gue nggak? Gue udah keluar dari rumah sakit," pinta Blaze.

"Sekarang?" tanya Ice ragu-ragu.

"Iya, sekarang. Taufan ada urusan mendadak."

Ice terdiam sejenak sebelum menjawab, "Oke, aku kesana sekarang."

Blaze mengangguk meskipun Ice tidak bisa melihatnya. Ia merasa bersalah karena sudah merepotkan Ice lagi.

30 menit kemudian, sebuah motor berhenti di depannya. Blaze melihat sosok Ice yang sedang memakai helm.

"Ini motor siapa?" tanya Blaze.

"Aku minjem motor sepupuku," jawab Ice.

"Ayo naik," ajak Ice.

Blaze ragu sejenak. Ia ingat bagaimana terakhir kali ia dibonceng Ice menggunakan motornya Blaze, mereka mengalami kecelakaan. Namun, ia juga tidak punya pilihan lain.

Blaze naik ke boncengan motor yang dibawa Ice. Ice melajukan motor itu dengan hati-hati, beberapa kali pemuda itu menghindari jalan yang berlubang.

Sepanjang perjalanan, keduanya tidak banyak bicara. Blaze merasa canggung, sedangkan Ice hanya fokus pada jalan di depannya.

Sesampainya di kos, Blaze turun dari motor. Ia menatap Ice sejenak.

"Makasih udah jemput," ucap Blaze.

Ice mengangguk, dia tak banyak bicara, Blaze jadi merasa semakin canggung.

"Eh, itu sudut bibir lo kok luka?" Blaze menyipitkan matanya.

Ice tergagap, pemuda itu langsung menutupi lukanya. "K-kamu salah lihat," balasnya.

"Gue gak minus ya! Gue bisa lihat dengan jelas," gerutuan Blaze membuat Ice sedikit panik.

Blaze mendengkus kasar lalu menarik tangan Ice. "Itu kenapa?" tanyanya.

"Biasa," jawabnya, pemuda bernetra aquamarine itu hanya tersenyum tipis sebelum melajukan motor itu meninggalkan Blaze di depan kos.

"Duh, besok sekolah, bisa mampus gue kena tuduh lagi," gumam Blaze sambil mondar-mandir di depan kos.

Dia teringat perjanjiannya dengan Ice, kalau Blaze akan berbohong sudah memukul Ice setiap pemuda bernetra aquamarine itu memiliki luka baru demi melindungi ibunya si Ice.

"Dahlah, dipikirin besok aja. Gue kangen Bang Hali," gumam Blaze lalu masuk ke dalam kos, dia tersenyum lebar melihat abangnya sedang nonton televisi.

"Buset, napa lo tiba-tiba lompat ke gue?" Halilintar berusaha mempertahankan keseimbangannya, hampir saja dirinya terjungkal karena Blaze naik ke punggungnya.

"Kangen! Tapi lebih kangen camilan!" serunya sambil mencomot camilan milik Halilintar yang ada di depan pemuda bernetra ruby itu.

"Dateng-dateng langsung ngembat camilan orang, adek siapa sih?" Halilintar menggeleng pelan, dia menepuk kepala adiknya yang masih terbalut perban.

"Adik lo lah, Bang."

Sepasang adik kakak yang umurnya hanya selisih setahun itu mulai bertengkar masalah Blaze yang makan coklat milik Halilintar.

Blaze sepanjang hari itu tersenyum lebar karena Halilintar memiliki waktu luang yang banyak untuknya.

Sedangkan di sisi lainnya, Ice hanya diam, menundukkan kepala. Ibunya menghampiri Ice dan melayangkan tangannya ke pipi Ice, bekas memerah terlihat pada pipinya.

"Aku sudah bilang jangan keluar rumah sebelum selesai belajar! Kamu ini anak bandel!"

"Maaf," ujar Ice, hanya satu kata yang bisa dia ucapkan saat ini.

"Sudahlah, kembali belajar di ruang belajarmu itu, aku mengawasimu dari CCTV," kata ibunya.

"Baik, Mama."

Pemuda itu menghela napas panjang sambil mengusap pipinya yang terasa panas. Ice mulai membuka bukunya, belum sempat ia membaca, suara gaduh di rumahnya membuat Ice terlonjak dari kursi.

"Siapa itu?" gumam Ice.

Samar-samar dia mendengar suara pria yang mengatakan kalau dia ingin melihat anaknya yang sudah besar. 15 tahun dia tak pernah bertemu dengan anaknya, netra Ice bergerak gelisah.

Siapa itu? Apa maksudnya? Anak siapa? Kenapa suaranya seperti tak asing?

"Pergi kamu! Kamu pembunuh, bahkan kamu sudah membunuh istrimu, kenapa kamu mencari Ice setelah sekian lama?"

Ice gemetar, tangannya meraih gagang pintu, dia mengintip sedikit. Hatinya mencelos mendengarnya, apa kecurigaannya selama ini memang benar?

Beberapa hari yang lalu Ice melihat foto bayi yang memiliki warna mata yang sama dengannya, dengan tulisan Ice Aksara Narendra di belakangnya.

Ice sedikit heran karena namanya selama ini hanya dua kata. Dia tak tahu siapa itu Narendra, apa jangan-jangan dia saudaranya Halilintar dan Blaze? Nama belakang mereka sama-sama Narendra.

"Balikin anak gue!" bentak pria itu.

"Pergi! Jangan sampai Ice tahu siapa orangtuanya dan membencinya!" bentak ibunya Ice.

"Oke, gue pergi! Tapi gue bakal nyari tahu yang mana itu Ice," ujar pria itu kemudian pergi.

Di kamarnya, Ice jatuh terduduk di lantai.

"Ayahku? Buronan? Ini nggak mungkin, Blaze pasti bakalan makin benci sama aku kalau tahu kami bersaudara," gumam Ice, tangannya mengepal erat, padahal mereka baru saja bisa berteman.

Pantas saja golongan darahnya sama dengan Blaze, ternyata ayah mereka adalah satu orang yang sama.

Bersambung.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang