1. Awal mula dari segalanya

940 58 3
                                    

Blaze, siswa SMA yang terkenal sebagai berandalan sekolah. Ia selalu dikelilingi teman-temannya, dan tak segan mencari masalah. Di sisi lain, ada Ice, siswa pendiam dan introvert yang lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan dengan buku-bukunya. Ia sering diabaikan dan dijauhi oleh teman-temannya karena kepribadiannya yang pendiam.

Suatu hari, Blaze sedang bercanda dengan teman-temannya di dekat perpustakaan saat ia melihat Ice duduk sendirian di pojok ruangan. Blaze merasa tertarik dengan Ice, dan ia memutuskan untuk mengganggunya.

“Hei, kutu buku!” Blaze menyapa Ice dengan nada mengejek. “Apa yang Lo baca? Pasti sesuatu yang ngebosenin.”

Ice hanya mengangkat kepalanya sejenak, menatap Blaze dengan tatapan datar dan dingin, sebelum kembali fokus pada bukunya. Sikap acuh tak acuh Ice membuat Blaze semakin penasaran.

“Hei, jangan sombong Lo!” Blaze duduk di kursi di depan Ice. “Ceritain apa yang Lo baca!”

Ice ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya menjelaskan isi buku yang sedang dibacanya.

“Gitu ya, ternyata Lo baca novel yang lumayan seru. Gue baru tahu di perpustakaan ada novel kayak gitu,” kata Blaze.

Blaze tersenyum miring, dia menarik Ice dengan kasar keluar dari perpustakaan.

“Sakit! Jangan kasar-kasar!” pekik Ice, dia memukuli tangan Blaze yang menyeretnya dengan paksa.

Padahal Ice juga laki-laki, tetapi tenaganya tidak sekuat murid laki-laki lainnya.

“Diam!” bentak Blaze, dia mendorong Ice sampai terduduk di atas kursi.

“Gue ada tugas sekolah, kerjain tugas Gue secepatnya!” Blaze mencengkram erat pundak Ice.

“Sakit! Lepasin!” Ice memberontak, dia merasa ketakutan ketika teman-temannya Blaze menatapnya dengan tajam.

“Kerjain sekarang!”

Ice mengangguk pasrah, dengan tangan yang gemetar, dia mulai mengerjakan tugas sekolah Blaze.

Blaze terus mengawasi Ice mengerjakan tugasnya, sesekali dia mencengkram pundak Ice dengan kasar untuk memastikan dia tidak kabur.

Ketika Ice selesai mengerjakan tugas Blaze, Blaze memeriksanya dengan santai. Dia tidak terlalu peduli dengan tugasnya, yang penting baginya adalah Ice sudah menyelesaikannya. Blaze pergi bersama temannya tanpa mengucapkan apapun.

Ice merasa lega ketika Blaze pergi. Dia menghela napas panjang dan bersandar di kursinya, merasa lelah. Dia ingin kembali membaca bukunya, tetapi dia harus kembali ke kelas.

Ice memutuskan untuk kembali ke kelas. Dia berjalan dengan kepala tertunduk. Berharap suatu hari nanti dia bisa menemukan teman yang menerimanya apa adanya.

Ternyata di kelas sama saja, Blaze datang menganggunya lagi. Ice merasa semakin frustrasi. Dia ingin belajar, tapi Blaze tidak membiarkannya. Dia ingin Blaze pergi dan meninggalkannya sendirian.

“Kerjain tugas Gue yang lain!” Blaze melemparkan buku tulisnya ke meja Ice.

“Tapi ...,”

“Kerjain sekarang atau buku ini Gue buang!” Blaze merebut buku Ice.

Akhirnya Ice melakukan perintah Blaze, setelah beberapa menit, Ice berhasil menyelesaikan tugas milik Blaze. Blaze melihat bukunya dengan puas dan tersenyum lebar lalu mengembalikan buku milik Ice.

Ice ingin Blaze pergi dan meninggalkannya sendirian. Blaze tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Dia terus duduk di kursi Ice, mengobrol dengan teman-temannya dan menertawakan Ice.

Dia ingin berteriak dan menyuruh Blaze pergi, tapi dia takut. Dia takut Blaze akan semakin marah dan mengganggunya lebih parah.

“Blaze! Apa yang kamu lakukan?” Suara itu berasal dari Gempa, siswa berprestasi di kelas.

Blaze yang tadinya asyik menertawakan Ice bersama teman-temannya, langsung menoleh ke arah Gempa dengan tatapan sinis. “Emang kenapa? Gue cuma minta tolong Ice kerjain tugas gue,” katanya dengan nada menantang.

“Ngerjain tugas itu tanggung jawabmu, Blaze. Bukan hakmu untuk memaksa orang lain mengerjakannya untukmu,” tegas Gempa.

Blaze terdiam sejenak, tak terbiasa dibantah dengan berani seperti itu. “Gue cuma minta tolong, Gempa,” balasnya dengan nada kesal.

Gempa menatap Blaze dengan tajam. “Bukan masalah minta tolong, Blaze. Tapi caramu itu salah. Kamu memaksa Ice mengerjakan tugasmu tanpa persetujuannya. Itu namanya menindas!”

Blaze berdecak kesal. “Lo lebay deh, Gempa. Ice kan nggak keberatan,” katanya sambil melirik ke arah Ice yang menundukkan kepala, diam tak bersuara.

Gempa tidak percaya dengan ucapan Blaze. Dia tahu Ice tidak berani menolak permintaan Blaze karena takut. “Ice, benar kan kamu dipaksa Blaze?” tanya Gempa.

Ice terdiam sejenak, ragu untuk menjawab. “Nggak,” balasnya.

Blaze tersenyum sinis. “Tuh kan, Lo udah dengar sendiri dari Ice,” katanya.

Gempa dengan terpaksa pergi meninggalkan mereka, dia kembali ke bangkunya sendiri. Sesekali dia melihat Ice yang merasa tidak nyaman karena Blaze pindah sebangku dengannya di kelas.

Blaze mencondongkan tubuhnya ke arah Ice, wajahnya dihiasi senyum miring yang menyebalkan. “Lo tau kan, Ice? Gue bisa ngelakuin apa aja ke Lo di sekolah ini. Nggak ada yang berani ganggu Gue, dan kalo Gue mau, Gue bisa bikin hidup Lo di sekolah ini jadi neraka.”

Ice menelan ludah dengan gugup. Dia tahu ancaman Blaze bukan hanya gertakan saja. Dia pernah melihat Blaze memukuli murid lain di taman belakang sekolah, dan dia tidak ingin menjadi korban berikutnya.

“J-jangan ganggu Aku,” gumam Ice, suaranya bergetar ketakutan.

Blaze tertawa kecil. “Gue nggak akan ganggu Lo kalau Lo nurut sama Gue. Kerjain semua tugas Gue, temenin Gue kalau Gue lagi bosen, dan jangan berani-berani nolak perintah Gue.”

Ice menundukkan kepalanya, tak berani menatap Blaze.

“Oke,” bisik Ice, suaranya hampir tak terdengar.

Blaze menepuk pundak Ice dengan kasar. “Bagus. Sekarang, ayo ke kantin, Gue lapar.”

Bersambung.

Lanjut?

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang