Blaze mengangkat ponselnya yang berdering. Panggilan masuk dari nomor yang sudah dihafalnya, nomor abang kandungnya, Halilintar.
"Halo, Bang?" sapa Blaze.
"Blaze, gimana kabar lo? Udah kirim makanan buat Gempa belum?" tanya Halilintar langsung to the point.
Blaze mendengkus kesal. "Baik. Udahlah, Bang. Udah gue kirim tadi siang."
"Bagus deh, gue mau nyari kos buat kita supaya lo nggak kelamaan numpang hidup di rumah temen lo itu," kata Halilintar.
"Bang? Yakin nih? Ntar makanannya tiap hari beli dong? Lo kan masih trauma lihat pisau dapur setelah kejadian ayah nusuk almarhumah bunda di depan lo," kata Blaze, sedikit khawatir.
Halilintar terdiam sejenak, Blaze masih menunggu jawaban. "Yakin," ujar Halilintar.
"Lo sekolahnya gimana, Bang?"
Mendengar pertanyaan Blaze membuat Halilintar menarik napas panjang.
"Gue lagi usaha buat dapat beasiswa lagi di sekolah lain," jawabnya.
"Bang, jangan ngekos dulu ya? Gue masih betah gangguin Ice di sini," kata Blaze, dia melirik Ice yang ketiduran setelah mengerjakan tugas.
Blaze segera menepuk pundak Ice agar bangun, tetapi Ice tak kunjung bangun.
"Terserah lo Blaze, gue sebagai abang lo berharap lo berhenti bully temen lo itu. Btw, jangan lupa sholat." Halilintar langsung menutup sambungan telepon itu.
Blaze menatap layar ponselnya yang sudah mati. Dia menghela napas panjang. Sebenarnya, dia juga malas harus tinggal di kos-kosan dengan abang kandungnya itu.
Tinggal numpang di eumah Ice jauh lebih menyenangkan baginya. Dia bisa dengan bebas melakukan apapun yang dia mau tanpa ada yang mengontrolnya.
"Ice, bangun!" bentak Blaze sambil menendang kaki Ice dengan pelan.
Ice menggeliat, matanya masih terpejam. "Apa sih, Blaze? Aku capek."
"Bangun, lo harus bantu gue masak. Gue laper."
Ice membuka matanya perlahan, pemuda itu menghela napas. "Kenapa aku harus masak? Tadi kan makanan yang kamu beli masih ada."
"Gue ogah makan makanan tadi. Lagian lo kan udah biasa ngelayanin gue."
Ice mengusap wajahnya dengan pelan. Menghela napas panjang sebelum pergi ke dapur.
Ice berdiri di dapur, dia mengambil beberapa bahan makanan yang tersisa lalu mulai memasak. Seolah sudah terbiasa dengan semua ini.
Sementara itu, Blaze duduk santai di ruang tamu, memainkan ponselnya sambil menunggu makanan. Sesekali ia berteriak-teriak memanggil Ice karena tidak sabar.
"Ice, cepetan! Gue laper!"
"Sabar!" Ice membalas teriak setelah pemuda itu mengucap istighfar untuk menenangkan hatinya.
"Heh! Lo berani banget balas teriakan gue," kata Blaze, dia sekarang berdiri di dekat pintu dapur dengan tatapan tajam.
Duh, Blaze ini maunya apa sih? Ice tidak menjawab salah, Ice berteriak membalas ucapannya Blaze pun masih salah.
Ice memilih untuk diam saja dan melanjutkan pekerjaannya di dapur. Dia tidak ingin berdebat dengan Blaze, karena dia tahu bahwa perdebatan itu tidak akan ada ujungnya. Blaze selalu merasa dirinya paling benar dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya.
Di sisi lainnya, terlihat Halilintar masih mengajari Taufan cara wudhu dan sholat. Tentu saja ada beberapa tingkah Taufan yang membuat Halilintar ingin membenturkan kepala pemuda bernetra sapphire itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)
FanfictionStart 24 Mei 2024. End 20 November 2024. Setelah Blaze dan Ice sudah akur dan Ice tak dirundung Blaze lagi. Semua masalah telah mereka selesaikan, suatu hari mereka bertemu dengan murid baru yang menjadi adik kelas mereka dengan kepribadian buruk, a...