Sekarang di sinilah Ice berada, pemuda itu mengusap lengan jaketnya yang basah. Dia basah kuyup dengan luka kecil pada sudut bibirnya. Beberapa kali helaan napas lolos dari mulutnya.
Ice menggigit bibir bawahnya, mengingat kembali kejadian memalukan beberapa menit lalu. Pemuda bernetra aquamarine itu tak menyangka akan diperlakukan seperti itu oleh kakak kelasnya. Kejadian ini membuatnya kembali teringat perundungan yang pernah diterimanya dari Blaze, kembarannya sendiri.
Ice menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran yang membuat isi kepalanya penuh.
"Ice?" gumam Halilintar ketika melihat sosok yang tak asing lewat depan kelasnya.
"Kenapa Hali?" Taufan bertanya sambil menoleh ke belakang karena dia duduk di depan Halilintar.
Halilintar mengalihkan pandangannya dari jendela. "Gue kayak lihat adek gue," balasnya.
"Adek lo yang mana njir? Jangan lupa lo punya dua adek, mentang-mentang Blaze selama ini lo kira adek semata wayang malah nggak jelas nyebut adek yang mana," kata Taufan dengan kesal.
"Itu, Ice maksud gue," balas Halilintar, pemuda itu menggaruk tengkuknya karena malu.
"Kok jauh banget bisa lewat depan kelas sini?" tanya Taufan sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Ya mana gue tahu, lo pikir gue peramal apa," balas Halilintar, matanya melirik kesal pada pemuda di depannya itu.
"Emang lo lihat Ice gimana tadi?" Taufan bertanya, dia mengabaikan panggilan dari temannya yang meminta contekan.
"Dia nunduk mulu jalannya, gue juga nggak bisa lihat ekspresinya."
Akhirnya mereka memilih mengabaikan hal itu karena berpikir Ice mungkin ada keperluan di sekitar kelas XI dan XII.
Sesampainya di kelas X IPS 1, Ice gemetaran memegang gagang pintu. Pemuda itu berusaha mengatur deru napasnya, sebelum membuka pintu di depannya lalu semua mata tertuju padanya.
Seketika, kelas yang tadinya riuh seketika hening. Semua menatap sosok Ice yang berdiri di ambang pintu.
Blaze yang sedang fokus main game seketika menjatuhkan ponselnya ke meja ketika melihat adik kembarnya basah kuyup. Sudut bibir Ice yang terluka terlihat jelas.
Mata Blaze melotot saat menyadari kondisi adik kembarnya yang mengenaskan. Pemuda itu terlonjak dari kursinya, rahangnya menganga seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sedangkan Gempa dan Solar saling berpandangan. Apa yang terjadi pada Ice?
Padahal selama ini yang merundung Ice cuma Blaze dan Taufan kan? Kalau mereka sudah tobat, siapa yang melakukan itu pada Ice.
Blaze berdiri dengan tubuh gemetar, urat-urat lehernya tampak menonjol. Tatapan matanya berubah. Dengan langkah cepat, Blaze menghampiri Ice yang masih mematung di ambang pintu.
"Ice! Siapa yang berani nyakitin lo?" Suara Blaze terdengar jelas dalam kelas. Tangannya meraih kerah seragam Ice, memaksanya menatap mata Blaze.
Ice yang masih terkejut hanya bisa menggeleng. Bibirnya gemetar, berusaha untuk berbicara, tetapi tak ada suara yang keluar.
"Jawab gue, Ice! Siapa?" Blaze semakin menggenggam kerah seragam Ice dengan kuat.
Gempa yang awalnya hanya melihat dari kejauhan, kini ikut berdiri dan melangkah mendekati mereka. Gempa mencoba menenangkan Blaze. "Blaze, pelan-pelan. Jangan bikin Ice tambah kaget!"
Namun, Blaze tak mempedulikannya. Matanya masih fokus pada Ice, menuntut jawaban. "Lo harus bilang, Ice! Siapa pelakunya, hah?"
"B-bukan siapa-siapa," balas Ice, dia berbohong karena tak ingin Blaze mendapat masalah lagi.
"Bohong," gumam Blaze, tatapannya menjadi datar, akhirnya dia menarik tangan adik kembarnya dengan kasar menuju UKS.
Gempa yang melihat itu hanya membiarkan mereka berdua pergi begitu saja.
Blaze meraih kotak obat dengan kasar lalu meletakkannya di dekat Ice. "Obatin tuh luka lo sendirian, gue bakal nyari tahu sendiri, jangan nahan gue!" bentaknya pada Ice.
Ice yang terbiasa dibentak Blaze hanya bisa mengangguk patuh. Blaze membanting pintu UKS, meninggalkan Ice sendirian dengan kotak obat di tangan.
Tangan Ice gemetar saat meraih kapas dan alkohol untuk membersihkan lukanya. Setiap kali kapas menyentuh luka di bibirnya, Ice merintih kesakitan.
Di sisi lainnya terlihat Blaze menendang pintu kelas XII IPS 4, dia mendengkus kasar ketika melihat penghuni kelas itu sibuk bermain game dan nonton film bersama.
Blaze melirik ponsel anak kelas XI yang sempat merekam kejadian saat Ice dirundung. Langkah kaki Blaze menuju ke salah satu kakak kelasnya yang lebih tua 2 tahun darinya.
Tanpa aba-aba Blaze langsung menendang kursi yang diduduki kakak kelas itu.
"Ini lo, kan?" Blaze bertanya sambil menunjukkan video rekaman perundungan yang terjadi pada Ice.
"Iya, kenapa emangnya? Nggak terima?" tanya kakak kelas itu dengan nada menantang, padahal dia baru saja terjungkal karena kursinya ditendang keras oleh Blaze.
"Brengsek!" Umpatan itu meluncur dari bibir Blaze. Tinjunya melesat cepat, mendarat tepat di rahang kakak kelas tersebut. Kakak kelas itu terhuyung ke belakang, memegangi rahangnya yang terasa nyeri. Darah mulai menetes dari sudut bibirnya.
Blaze tidak berhenti pada satu pukulan saja. Amarahnya yang meluap-luap membuatnya terus melayangkan tinju ke arah kakak kelas itu.
Siswa-siswa yang awalnya sibuk dengan kegiatan masing-masing kini terdiam, menatap kejadian di depan mereka dengan tak percaya. Beberapa dari mereka mulai merekam kejadian tersebut dengan ponsel mereka.
Di sisi lainnya terlihat murid kelas XI yang meminjamkan ponsel berisi rekaman perundungan Ice itu memanggil Halilintar.
"Hali! Blaze ngamuk di kelas XII IPS 4," teriak siswa itu.
"Hah!" Halilintar segera berlari mengikuti siswa yang memanggilnya, di belakangnya ada Taufan yang mengikuti.
Kakak kelas yang menjadi sasaran kemarahan Blaze hanya bisa melindungi wajahnya. Tubuhnya terdorong mundur hingga menabrak meja guru. Buku-buku dan peralatan tulis berserakan di lantai. Blaze terus menyerang tanpa ampun, seolah ingin melampiaskan semua amarahnya pada pemuda itu.
"Sialan lo!" Umpatan dari kakak kelas itu meluncur dari bibirnya pada Blaze.
Halilintar dan Taufan yang baru sampai di depan kelas XII IPS 4 langsung terdiam melihat itu.
"Blaze, berhenti! Lo ikut gue sekarang!" perintah Halilintar, dia ingin menarik tangan adiknya agar pergi.
"Dia ngebully Ice, gue punya buktinya. Dia nyakitin Ice," ujar Blaze, suaranya bergetar menahan emosi.
Halilintar menarik napas panjang, dia berusaha agar Blaze tenang. "Nanti kita omongin baik-baik ya?" Halilintar berusaha agar nada suaranya terdengar lembut, tetapi Blaze langsung menggeleng.
Kakak kelas yang marah pada Blaze tiba-tiba meraih silet yang terjatuh di lantai, dengan cepat, dia menggoreskan silet itu pada pipi Blaze.
"Sial!" pekik Blaze sambil menutup pipinya.
Bersambung.
Dahlah, masih keseringan boros kata dalam satu kalimat.
Btw, KOK KESEL SENDIRI YA KARENA BARU SADAR CHAP NYA DI DRAF HAMPIR 60 TAPI ALURNYA LAMBAT-
![](https://img.wattpad.com/cover/369585053-288-k754168.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)
Fiksi PenggemarStart 24 Mei 2024. End 20 November 2024. Setelah Blaze dan Ice sudah akur dan Ice tak dirundung Blaze lagi. Semua masalah telah mereka selesaikan, suatu hari mereka bertemu dengan murid baru yang menjadi adik kelas mereka dengan kepribadian buruk, a...