Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang tempat Halilintar dirawat. Pintu ruangan dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Halilintar yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, tangan dan kepalanya diperban, tubuhnya dipenuhi oleh berbagai macam alat medis. Blaze langsung mendekat ke ranjang abangnya, dia hanya diam saja selama beberapa menit.
"Blaze ... makan dulu ya?" Gempa juga Ice menyodorkan roti dan minuman.
Blaze menepis tangan Gempa dan Ice sehingga apa yang mereka belikan untuk Blaze jatuh ke lantai rumah sakit.
"Sekarang lo berdua tahu gimana hancurnya keluarga gue, ngapain tiba-tiba sok peduli?" Blaze berkata dengan nada sinis, dia melihat keadaan Halilintar, abangnya yang masih belum sadarkan diri dengan tatapan kosong.
"Kita nggak ada maksud kayak gitu ke kamu, kok." Gempa menjawab ucapan Blaze yang mengira mereka berdua hanya kasihan juga penasaran pada Blaze.
Ice menarik napas panjang, matanya menatap sayu pada sosok Blaze yang terduduk di sudut ruangan. Sejak tadi, remaja itu hanya diam, menatap kosong ke arah jendela. Ingatannya kembali pada hari-hari di mana Blaze selalu menjadi sumber masalah, selalu mengganggunya. Namun, di balik semua itu, Ice merasakan sesuatu yang berbeda. Di balik sikap kasar dan kata-kata pedas Blaze, tersimpan luka mendalam yang berusaha disembunyikannya.
"Blaze," suara Ice pelan, memecah keheningan. "Aku tahu kamu marah, tapi ...." Ice ragu sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak pernah benci sama kamu. Aku cuma ... khawatir."
Blaze menoleh, matanya menatap Ice dengan tajam. "Khawatir? Lo nggak ngerti apa-apa!" bentaknya.
Gempa yang melihat ketegangan di antara mereka mencoba menengahi. "Sudahlah, Blaze. Kita semua khawatir sama kamu sama keluarga kamu."
Ice menghela napas panjang, matanya masih terpaku pada Blaze. "Aku tahu," ujarnya dengan nada lembut. "Aku tahu kamu lagi susah sekarang. Tapi, kamu nggak sendiri, Blaze. Kita semua ada buat kamu."
Blaze mencibir. "Ada buat gue? Kalian semua baru peduli sekarang, setelah semuanya terjadi?" suaranya meninggi, penuh amarah. "Dulu waktu gue butuh bantuan, kalian kemana aja?"
Gempa mencoba mendekati Blaze, namun remaja itu menjauh. Blaze menatap tajam ke arah Gempa, lalu mengalihkan pandangannya pada abangnya, Halilintar yang terlihat akan siuman.
Halilintar perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, mencoba fokus pada sosok-sosok yang berdiri di samping ranjangnya. Ia melihat Blaze, Gempa, dan Ice. Wajah Blaze terlihat pucat dan matanya sembab, seolah baru saja menangis.
"Blaze?" suara Halilintar lirih.
Blaze mendekat, matanya berkaca-kaca. "Bang, lo udah sadar?" tanyanya dengan suara bergetar.
Halilintar mengangguk lemah. Tangannya meraba-raba perban di kepalanya. "Sakit ...," gumamnya.
"Sabar, Bang. Udah nggak sakit lagi kok," kata Blaze sambil menggenggam tangan abangnya.
Halilintar berusaha mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Ia teringat ayahnya yang mengayunkan pisau, ibunya yang berteriak, dan rasa sakit yang menusuk ketika sang ayah memukul kepalanya.
"Bunda ...?" tanyanya dengan suara bergetar.
Suasana ruangan seketika menjadi hening. Blaze dan Gempa saling berpandangan, tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya, Gempa yang angkat bicara.
"Tante Rini lagi dirawat di ruangan sebelah, Bang," jawab Gempa dengan nada pelan.
"Bunda udah sadar belum?" tanya Halilintar lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/369585053-288-k754168.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)
FanfictionStart 24 Mei 2024. End 20 November 2024. Setelah Blaze dan Ice sudah akur dan Ice tak dirundung Blaze lagi. Semua masalah telah mereka selesaikan, suatu hari mereka bertemu dengan murid baru yang menjadi adik kelas mereka dengan kepribadian buruk, a...