Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di jendela kamarnya. Ice tersentak kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, mencoba untuk fokus pada suara itu.
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Ice berusaha bangkit dari kasur, tubuhnya terasa sangat lemas. Ia merangkak perlahan menuju jendela, tangannya gemetar hebat lalu mengeser tirai jendelanya. Di luar, ia melihat sosok yang sangat familiar. Blaze berdiri di luar rumahnya.
"Buka!"
Meski samar-samar, Ice bisa mendengar suara Blaze, Ice ragu-ragu, benarkah itu Blaze? Dia sedang tidak halusinasi, kan? Masa malam-malam begini Blaze jauh-jauh ke rumahnya Ice? Mau ngapain dia?
"Buka jendelanya anjir!"
Bentakan dari Blaze seketika membuat Ice buru-buru membuka jendela kamarnya.
"Nih, gue sama Bang Hali ada lebihan makanan di kos. Takut basi ntar, makan sekarang!" Blaze menyodorkan kantung plastik berisi dua bungkus makanan.
Ice menerima kantung plastik itu dengan tangan gemetar.
"Lo kenapa? Takut sama gue sampai gemeteran gitu?" Blaze menaikkan sebelah alisnya.
Ice menggeleng dengan cepat, Ice takut dengan mamanya, tapi mulutnya tak bisa mengatakan itu.
"Yaudah, makan cepetan!"
Blaze berancang-ancang naik ke jendela itu.
"E-eh mau ngapain?" Ice mundur beberapa langkah.
"Ikut makanlah anjir, lo kira gue mau maling apa?" Blaze mendengkus kesal, kakinya baru saja masuk sebelah.
Ice masih diam di depan jendela padahal Blaze sudah memasukkan sebelah kakinya dan kepalanya juga sudah masuk ke dalam.
Blaze memasukkan kepalanya lebih jauh, berusaha memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam kamar Ice. "Cepetan, jangan bengong!" perintahnya, suaranya sedikit meninggi.
Ice mundur lagi, matanya membulat sempurna. "Jangan masuk! Nanti ketahuan Mama!"
Blaze menghela napas panjang. "Lo pikir gue mau ngapain sih? Cuma mau ngasih makanan. Lagian, Mama lo kan lagi di rumah sakit. Udah tiga hari nggak pulang."
Ice terdiam. Kata-kata Blaze membuatnya tersadar. Ibunya Ice memang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Ia sudah lupa akan hal itu karena terlalu fokus pada masalah nilai ulangannya.
"Tapi ...," Ice ragu-ragu.
"Tapi apa lagi sih? Udah, cepetan minggir!"
Blaze mendorong tubuh Ice pelan, membuat pemuda itu tersungkur ke belakang. Dengan cekatan, Blaze melompat masuk ke dalam kamar Ice. Blaze mendarat dengan mulus di lantai kamar Ice.
Blaze menoleh ke arah Ice yang masih terduduk di lantai, matanya menatap tajam. "Lo kenapa sih? Lemot banget kayak kura-kura." Dengan nada yang sedikit meremehkan, Blaze berjongkok di hadapan Ice. Jarak mereka kini sangat dekat, membuat Ice semakin gugup
Ice menarik napas panjang sebelum mengubah ekspresinya. "Nggak apa-apa, aku cuma kaget aja," balasnya.
Blaze hanya diam lalu tangannya mengambil kantung plastik makanan yang dia berikan pada Ice tadi. Ia berdiri, lalu berjalan mendekati jendela, menarik tirai dan memastikan tidak ada orang yang melihat mereka. Setelah itu, ia kembali menghadap Ice yang masih terdiam di lantai.
"Lo kenapa sih, Ice? Dari tadi kayak orang linglung. Ada masalah apa?" tanya Blaze, suaranya terdengar sedikit khawatir meski raut wajahnya tetap datar.
Ice menggeleng pelan, Blaze menghela napas, ya sudahlah, toh masalahnya Ice bukan urusannya, Blaze segera membuka bungkus makanan itu.
"Lo makan yang satunya, itu dibeliin abang gue. Awas aja lo kalau nggak habis," kata Blaze dengan ketus.
"Kenapa diem aja?" Blaze bertanya setelah menelan nasi gorengnya.
"Iya. Maaf, aku salah."
"Lah, Ice ngapain minta maaf?"
"Tadi kamu marah-marah gitu," sahut Ice.
"Marah? Gue nggak marah," bantah Blaze ketus.
"Terus, kenapa nada kamu ketus gitu?" tanya Ice lagi.
Blaze menghela napas panjang. "Gue Kesel, Ice. Ngelihat lo yang selalu kayak gini. Cengeng terus kalau ada masalah langsung nangis."
Ice sedikit merengut kesal, ini semua kan salah mereka yang membuat Ice jadi pribadi yang tertutup dan takut pada orang lain.
"Iya maafin aku," kata Ice, mencoba tak protes pada ucapan Blaze lalu ikut makan.
Blaze hanya melirik Ice sejenak lalu terdiam, sial dia kelepasan lagi, pikirnya.
Suasana di kamar Ice tiba-tiba terasa hangat. Cahaya lampu kamar yang redup menerpa wajahnya yang pucat, membuat bayangan samar terbentuk di dinding.
Suara air hujan dari luar jendela terdengar samar-samar, seolah menjadi iringan makan malam mereka yang sederhana. Bau makanan yang harum tercium, membuat perut Ice keroncongan.
"Enak?" tanya Blaze memecah keheningan.
Ice mengangguk sambil terus mengunyah makanannya. "Enak banget," jawabnya dengan suara yang sedikit bergumam.
"Besok lo ikut gue ke kosan ya?" ajak Blaze tiba-tiba.
Ice menghentikan aktivitas makannya, menatap Blaze dengan mata yang membulat. "Ke kosan? Ngapain?"
"Bang Hali yang nyuruh," balas Blaze.
Ice terdiam memikirkan ajakan Blaze. Ia sebenarnya ingin sekali pergi dari rumah, tapi ia takut pada ibunya.
"Lo nggak usah takut sama Mama lo. Dia kan lagi sakit. Lagian, kita nggak bakal lama-lama di kosan. Cuma sebentar aja," bujuk Blaze.
Ice masih ragu-ragu. Ia takut jika ibunya marah jika tahu ia pergi dari rumah tanpa izin.
"Ayolah, Ice. Gue janji nggak bakal ngapa-ngapain lo kok," bujuk Blaze lagi.
Janji? Ice menghela napas pelan. Ia tahu bahwa janji bisa saja dilanggar. Terlebih lagi, janji yang diucapkan oleh seseorang yang dikenal seringkali berubah pikiran.
Ice kembali melirik ke arah jendela. Hujan di luar kembali turun dengan deras. Akhir-akhir ini hujan terus ya?
Ice menyipitkan matanya, melihat teman sebangkunya dengan curiga. Takut kalau besok dia dibully dadakan saat hari minggu.
Ice menatap Blaze dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya berkedip-kedip cepat, seakan berusaha menangkap setiap detail wajah temannya itu. Bibirnya terkatup rapat, seolah menahan ribuan pertanyaan yang ingin keluar. Jemarinya tanpa sadar memainkan ujung kaosnya, sebuah kebiasaan yang ia lakukan saat merasa gugup.
"Tapi ...," Ice ragu-ragu.
"Tapi apa lagi sih?" tanya Blaze dengan nada sedikit kesal.
Ice segera menggeleng cepat, takut membuat Blaze semakin marah.
Blaze menghela napas panjang, kesabarannya mulai menipis. "Ice, lo bikin gue pusing. Udah, ikut aja atau nggak usah. Terserah lo!"
Nada suara Blaze terdengar dingin dan menusuk. Ice meringkuk di tempatnya, merasa bersalah. Ia tahu, Blaze pasti dipaksa Halilintar agar mengajaknya jalan keluar besok.
"Iya, iya aku ikut," jawab Ice akhirnya, suaranya lirih.
Bersambung.
Karena aku ingin menaikkan mood maka, double up. AYO BACA BARENG, GAK BACA KU GIGIT KALIAN
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)
FanfictionStart 24 Mei 2024. End 20 November 2024. Setelah Blaze dan Ice sudah akur dan Ice tak dirundung Blaze lagi. Semua masalah telah mereka selesaikan, suatu hari mereka bertemu dengan murid baru yang menjadi adik kelas mereka dengan kepribadian buruk, a...