44. Maaf

202 41 54
                                    

Blaze mengacak-acak rambutnya frustasi, merasa lelah dengan sikap Ice yang selalu menghindarinya. Kenapa sulit sekali bagi Ice untuk memaafkannya? Padahal, Blaze sudah berusaha untuk berubah.

"Ice, keluar lo!" teriak Blaze lagi, suaranya menggema di sepanjang lorong kos.

Namun, Ice tidak muncul. Blaze menggertakkan giginya. Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar, mengetuknya dengan keras.

"Ice, buka pintunya! Gue mau ngomong sama lo!"

Tidak ada jawaban. Blaze semakin marah. Ia menendang pintu kamar Ice hingga terdengar suara benturan yang lebih keras.

"Ice!" teriaknya lagi, kali ini suaranya terdengar lebih keras sampai-sampai Solar yang baru kembali ke kos setelah memutari kota demi menghindari Duri terlonjak kaget.

"Diem lo! Ngagetin orang aja," ketus Solar, pemuda berkacamata visor oranye itu mendengkus kasar karena merasa terganggu.

"Lo jangan ikut-ikutan bikin gue kesel!" Blaze memandang Solar dengan tatapan menantang.

"Gue cuma gak suka berisik, kalau mau berantem di lapangan aja sana!" seru Solar dengan sinis.

Blaze mengabaikan Solar dan kembali fokus pada pintu kamar Ice. Tangannya mengepal erat, urat-urat di lengannya tampak menonjol. Ingin sekali Blaze menerobos masuk dan memaksa Ice untuk berbicara dengannya. Namun, ia sadar bahwa tindakan itu hanya akan memperburuk keadaan.

"Ice, gue nggak akan pergi dari sini sampai lo mau bicara sama gue!" ancam Blaze, suaranya bergetar karena menahan amarah.

Solar menyeringai. "Lo kira Ice bakal keluar cuma karena lo ngancem gitu?"

Blaze menoleh tajam ke arah Solar. "Lo nggak usah ikut campur urusan gue sama Ice!"

"Kenapa gue nggak boleh ikut campur? Kita tinggal satu kos, suara lo berisik banget sampai ganggu orang lain," balas Solar.

"Lo berdua kalau mau lanjutin debatnya silakan," kata seseorang yang baru datang.

"Bang Hali? Bukannya Abang masih kerja paruh waktu?" Blaze segera merubah ekspresi wajahnya.

"Gue balik bentar ngambil tugas sekolah gue yang ketinggalan ... Eh lo malah berantem sama penghuni kamar kos sebelah, Blaze." Halilintar menunjukkan buku tulisnya yang tertinggal di meja lipat yang ada di depan televisi.

"Solar duluan yang mulai," kata Blaze sambil melirik Solar.

Solar yang malas menanggapi hanya diam dengan raut wajah datarnya, jangan lupakan Solar itu memang minim ekspresi.

Halilintar menghela napas panjang. Pemuda bernetra ruby itu sudah hafal bagaimana sifat adiknya yang satu ini. "Sudah-sudah, jangan bertengkar terus. Ice pasti butuh istirahat."

Blaze menggigit bibir bawahnya, ingin sekali membela diri, tetapi ketika Blaze melihat raut wajah lelah kakaknya, Blaze urung melakukannya.

"Iya, Bang," jawab Blaze dengan nada datar.

Solar hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. Ia kembali ke kamarnya, tak ingin terlibat lebih jauh dalam drama keluarga kecil ini.

Halilintar menoleh ke arah pintu kamar Ice sebelum menepuk pundak Blaze lalu kembali pergi bekerja paruh waktu sambil membawa buku tugas sekolahnya. 

Setelah kepergian Halilintar, suasana di kos menjadi hening. Blaze masih berdiri di depan pintu kamar Ice, ragu-ragu untuk pergi. Blaze ingin sekali meminta maaf lagi, tapi rasa gengsinya selalu menghalangi.

Sementara itu, di dalam kamar, Ice berusaha menenangkan diri. Pemuda itu menarik selimut hingga menutupi kepalanya, mencoba menghalau pikiran-pikiran buruk yang terus menghantuinya. Ingatan tentang perundungan yang dialaminya membuat hatinya sakit.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang