Ice melangkah gontai di trotoar kota yang ramai, bayangan wajah Blaze yang dingin dan penuh amarah masih menghantui pikirannya. Rasa sakit di tangannya masih terasa perih, menjadi pengingat akan cengkeraman Blaze. Air mata yang mengering di pipinya meninggalkan jejak asin, terasa perih di kulitnya yang terpapar sinar matahari.
Kehidupan Ice bagaikan sangkar emas yang berkilauan namun penuh jeruji. Di balik tembok kokoh rumah megahnya, dia hidup bagaikan boneka yang diprogram untuk patuh dan belajar tanpa henti. Mamanya, wanita ambisius yang haus akan kesuksesan, selalu menekannya untuk menjadi yang terbaik, tak peduli dengan kebahagiaannya.
Setiap hari, Ice terjebak dalam rutinitas yang melelahkan. Pagi harinya dimulai dengan deretan buku pelajaran dan tumpukan soal matematika. Mamanya, dengan tatapan tajam dan penuh ekspektasi, selalu mengawasinya belajar, tak henti memberikan komentar pedas dan kritik yang menusuk. Istirahat bagaikan kemewahan yang tak terjamah baginya, hanya tersedia di sela-sela jam belajar yang padat.
Di malam hari, saat matanya terasa berat dan otaknya mulai buntu, Ice masih harus bergelut dengan buku-buku pelajaran. Mamanya tak pernah membiarkannya tidur sebelum dia menyelesaikan semua tugasnya. Mimpi indah dan waktu bermain bagaikan dongeng yang tak pernah terwujud dalam hidupnya.
Kesepian menjadi sahabat terdekatnya. Teman-temannya menjauh, tak tahan dengan kesibukan Ice yang tiada henti. Keinginan untuk bersosialisasi dan memiliki teman sebaya selalu dipadamkan oleh mamanya dengan kata, "Belajarlah yang rajin. Masa depanmu tergantung pada nilai dirimu."
Ice terkejut ketika ada suara ketukan di jendela kamarnya, dia membuka tirai jendela dan melihat ada Blaze yang melihatnya dengan tatapan datar.
"Aku lama-lama bisa mati," gumam Ice sebelum membuka jendela kamarnya.
"Ada apa?" tanya Ice, tengannya masih menahan jendela kamarnya agar tidak tertutup.
"Temenin gue balapan!"
Itu bukan permintaan, tetapi sebuah perintah, mau tak mau Ice harus menurut seperti budak yang selalu mendengarkan ucapan majikannya, dengan perasaan campur aduk, Ice mengikuti Blaze menjauh dari rumahnya. Di dekat sana, terparkir motor balap milik Taufan yang sering dipinjam Blaze, dia menyalakan motor itu, mesinnya meraung seolah tak sabar untuk diajak beraksi. Blaze melemparkan helm kepada Ice.
"Ayo!"
Ice ragu-ragu. Ia takut pada mamanya, tapi juga butuh pelarian dari rutinitas yang membosankan. Akhirnya, ia memutuskan untuk ikut. Dengan jantung yang berdegup kencang, Ice mengenakan helm dan naik ke motor itu. Angin malam menerpa wajahnya, membuyarkan pikirannya yang kacau. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan yang sepi. Adrenalin Ice terpacu, rasa takutnya sedikit demi sedikit tergantikan oleh sensasi kebebasan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidup.
"Lo kenapa sih selalu belajar terus?" tanya Blaze tiba-tiba, memecah keheningan.
Ice terdiam. Pertanyaan itu membuatnya merenung. "Mamaku maunya gitu," jawabnya singkat.
Blaze mendengus. "Lo kayak robot, nggak punya hidup sendiri." Ice hanya diam membisu dan memilih untuk melihat pemandangan malam di kota.
Blaze melajukan motornya semakin kencang, meliuk-liuk menghindari kendaraan lain. Ice menggenggam erat jaket Blaze, jantungnya berdebar kencang. Rasanya seperti terbang. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah area kosong yang menjadi tempat favorit para pembalap liar.
"Turun!" perintah Blaze, dan Ice segera turun dari motor.
Di sana, sudah ada beberapa motor lain yang siap balapan. Suara mesin motor yang meraung memenuhi udara malam. Ice hanya bisa terdiam, mengamati sekelilingnya. Para pembalap liar terlihat begitu percaya diri, dengan pakaian yang nyentrik dan tatapan mata yang menantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)
Fiksi PenggemarSetelah Blaze dan Ice sudah akur dan Ice tak dirundung Blaze lagi. Semua masalah telah mereka selesaikan, suatu hari mereka bertemu dengan murid baru yang menjadi adik kelas mereka dengan kepribadian buruk, apakah mereka akan membantu adik kelas mer...