27. Blaze Kesal

249 30 14
                                    

Ice mengambil laptopnya dan berjalan menuju ruang belajar. Ia menyalakan laptopnya dan membuka buku pelajaran. Namun, pikirannya masih saja melayang pada perlakuan Blaze.

"Aku harus fokus," gumamnya. Pemuda itu berusaha mengalihkan perhatiannya pada pelajaran, namun tetap saja sulit.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ice melihat nama ibunya tertera pada layar ponsel. Dengan perasaan was-was, ia mengangkat panggilan itu sambil melirik-lirik CCTV yang dipasang ibunya di ruangan itu.

"Ice, sudah selesai belajar?" tanya ibunya.

"Sudah, Ma," jawab Ice, meskipun sebenarnya ia belum menyelesaikan satu bab pun.

"Bagus. Jangan sampai kamu menyia-nyiakan waktu. Ingat, masa depanmu ada di tanganmu sendiri," kata ibunya.

"Iya, Ma," jawab Ice, dia menundukkan kepalanya.

Pemuda bernetra aquamarine itu menghela napas panjang, rasa sesak memenuhi dadanya.Udara di ruangan itu terasa berat, seakan ikut membebani pikiran pemuda itu.

Pensil kayu di tangan Ice berderit pelan saat ia menggoreskan garis-garis tak beraturan di atas kertas. Netra aquamarine nya menatap kosong ke buku tulisnya.

Ice menggigit bibirnya, berusaha menahan bulir-bulir air mata yang mengancam jatuh. Ia tak ingin terlihat lemah. Namun, hati kecilnya terus merintih kesakitan.

Kenapa dunia ini begitu kejam? Kenapa kebahagiaan selalu terasa begitu jauh darinya?

Ice menghapus air mata yang berhasil lolos dari sudut matanya. Ia kembali menatap buku pelajaran di hadapannya, namun fokusnya masih saja terpecah. Pikirannya terus melayang pada perkataan ibunya tadi. "Masa depanku ada di tanganku sendiri." Kalimat itu berulang kali terngiang di benaknya.

Ice merasa tertekan. Tekanan untuk berprestasi, untuk menjadi anak yang membanggakan bagi orang tuanya, semakin membuatnya merasa terhimpit. Ia merasa seperti sebuah mesin yang dipaksa bekerja terus-menerus tanpa henti.

Di balik senyumannya yang selalu ia perlihatkan pada orang lain, tersimpan luka yang mendalam. Luka akibat sering dipukuli ibunya, luka akibat perlakuan kasar Blaze, dan luka akibat tuntutan yang tinggi dari sang ibu.

Sejak kecil, Ice selalu didorong untuk menjadi yang terbaik. Ia harus selalu mendapat nilai tertinggi di kelas, memenangkan berbagai lomba, dan masuk ke sekolah favorit. Tekanan itu membuatnya merasa terbebani. Ia merasa tidak pernah cukup baik.

Ice menghela napas panjang. Ia menutup buku pelajarannya dan berdiri dari kursi. Ia berjalan menuju jendela kamarnya, menatap langit yang mulai gelap.

"Aku lelah," gumam Ice lirih. Ia ingin sekali melepaskan semua beban yang ada di pundaknya. Ia ingin merasakan kebebasan, ingin menjadi dirinya sendiri tanpa harus memikirkan penilaian orang lain.

Namun, ia sadar bahwa itu tidak semudah yang dibayangkan.

Ice kembali duduk di kursinya. Ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi musik. Ia memilih lagu kesukaannya dan memutarnya dengan volume yang cukup keras.

Nada-nada musik yang mengalun lembut berusaha menenangkan hatinya yang sedang kalut. Namun, tetap saja rasa hampa itu masih terasa.

Ice memejamkan matanya, mencoba untuk melupakan sejenak semua masalahnya. Ia membayangkan dirinya berada di tempat yang tenang dan damai, jauh dari hiruk pikuk kehidupan.

Namun, bayangan wajah Blaze tiba-tiba muncul di benaknya. Ingatan tentang perlakuan kasar Blaze membuatnya semakin merasa tertekan.

"Kenapa sih aku harus bertemu dengan orang-orang sepertimu?" gumam Ice.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang