23. Ibadah? Apa itu?

219 43 27
                                    

"Lo nggak bisu. Punya mulut buat ngomong ya dipake ngomong!"

"Gue capek-capek jadi anak tunggal yang dipaksa sempurna selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba lo hadir sebagai kembaran gue yang sejak bayi hilang dan tinggal di panti asuhan. Terus orangtua gue mau jemput lo? Mikirlah gue secapek apa sialan!"

"Lo nggak pernah ngerasain ditekan sama keluarga kan? Hahaha, lo udah sempurna dari segi prestasi, sikap, dan semuanya di sekolah. Kalau orangtua gue pengen lo kembali ke keluarga ini, gue gimana?"

"Gue yakin dalam hati lo pasti mau bilang kalau mereka bukan orangtua gue doang tapi orangtua kita, kan?"

"Jawab gue Gempa! Kalau lo beneran balik ke sini, nasib gue gimana, hah!"

"Gue sakit banget karena mereka nggak ada waktu buat gue, setiap mereka pulang cuma maksa gue menuhin keinginan mereka, dan sampai sekarang gue nggak bisa menuhin keinginan itu. Kalau lo udah tinggal di sini gue bakal dilupain, apa lo suka gue menderita?"

"Kenapa lo diam aja? Mulut lo nggak bisa dipake ngomong, hmm? Mau gue sobek lama-lama tuh mulut kalau nggak jawab ucapan gue."

Taufan termenung mengingat ucapannya sendiri. Dia melihat nomor Gempa yang ia dapatkan dari Blaze. Sungguh Taufan sekarang merasa bersalah karena sudah mengatakan itu semua pada adik kembarnya itu.

Belasan tahun terpisah, membuat Taufan merasa marah karena kehadiran adik kembarnya secara tiba-tiba.

Taufan menghela napas panjang, jari-jarinya mengetik pesan pada layar ponsel. Pesan yang ditujukan pada Gempa, adik kembarnya yang baru saja kembali ke kehidupannya. Kata-kata maaf tertahan di ujung lidah, rasa bersalah menyelimuti hatinya.

"Maaf, Gempa," gumam Taufan sambil mengetik, lalu menghapusnya. Ia ragu untuk mengirim pesan itu, lalu mengetik lagi.

Taufan kembali menghapus pesan yang belum sempat terkirim. Ia merasa tidak cukup berani untuk mengungkapkan penyesalannya secara langsung.

Pandangannya tertuju pada pintu kamar. Halilintar, abang dari temannya Taufan yang lebih tua beberapa bulan itu, tengah sibuk membuang rokok milik Taufan secara paksa.

"Hali," panggil Taufan.

Halilintar menoleh, matanya menatap tajam ke arah Taufan. "Ada apa?" tanyanya singkat, nada suaranya datar.

Taufan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gue lagi mikirin Gempa."

Halilintar masih sibuk membuang semua stok rokok di kamarnya Taufan. "Oh, jadi sekarang lo mikirin dia?"

Taufan mengangguk ragu. "Gue ngerasa bersalah sama dia. Kata-kata gue tadi udah keterlaluan."

"Lo pikir kata-kata lo nggak nyakitin dia? Lo udah nyakitin hati adik lo sendiri, Taufan."

Taufan menunduk. "Gue tahu. Gue nggak nyadar kalau gue sekasar itu."

"Nggak apa-apa, manusia tempatnya salah. Yang penting sekarang lo sadar dan mau memperbaiki kesalahan lo."

Halilintar masih membuang rokok yang disimpan Taufan di kamar itu ke dalam tong sampah. Dasar Taufan, cari penyakit saja kerjaannya.

"Njir, lo mau ngebuang semua stok rokok gue apa gimana?" gumam Taufan, padahal tadi mereka sempat berdebat masalah sikap Taufan pada Gempa.

Halilintar hanya berdehem pelan. "Galau tuh ibadah, bukan ngerokok."

Taufan merasa tersinggung sedikit, meskipun dia bingung, ibadah? Apa itu? Pikirnya.

"Ibadah apaan?"

Halilintar yang sedang berjalan membawa tong sampah seketika terbatuk lalu menoleh ke si pemilik rumah.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang