Langkah kaki Ice terasa berat kala melangkah memasuki teras rumah. Langit sore yang tadinya berwarna jingga kemerahan, kini diselimuti awan kelabu, seakan mencerminkan suasana hatinya yang murung. Rasa lelah dan kecewa bercampur aduk di dalam dirinya setelah seharian menghadapi kekasaran Blaze padanya.
Belum sempat Ice melepas sepatu, sebuah suara dari dalam rumah menarik perhatiannya. Suara pintu yang terbuka dan langkah kaki yang terburu-buru. Ice bergegas menuju ruang tamu dan mendapati Ibunya yang sudah berpakaian rapi dan mewah, siap untuk pergi keluar.
“Mama mau ke mana?” tanya Ice, dirinya diliputi rasa penasaran dan sedikit cemas.
“Mama ada urusan penting. Kamu belajar lagi sana! Jangan tidur sebelum jam 10 malam!” Ibunya memerintah dengan ketus, tanpa menoleh ke arah Ice.
Ice terdiam sejenak, matanya menatap punggung Ibunya yang semakin menjauh. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Ke mana Ibunya pergi? Kenapa Ibunya selalu sibuk dan jarang ada waktu untuknya?
Ice melangkah menuju kamarnya, langkahnya terasa berat. Rasanya ingin sekali curhat kepada Ibunya tentang semua yang terjadi padanya, tentang teman-temannya yang selalu mengucilkannya, dia dirundung oleh Blaze, dan tentang rasa sedihnya karena selalu ditinggal sendirian di rumah.
Ice sadar bahwa Ibunya tidak akan punya waktu untuk mendengarkannya. Ibunya selalu sibuk dengan dunianya sendiri, dan Ice hanya bisa memendam semuanya.
Duduk di atas ranjangnya, Ice memandang keluar jendela. Langit sore yang tadinya kelabu, kini mulai diselimuti rintik hujan. Hujan yang turun seolah-olah mewakili air matanya yang ingin menetes, tapi ia tahan.
Ice mengambil buku pelajarannya dan mencoba untuk fokus belajar. Namun, konsentrasinya terpecah. Pikirannya terus tertuju pada Ibunya dan kemana perginya.
Hari mulai gelap. Lampu kamar Ice masih mati. Ia tidak ingin menyalakannya. Ia ingin menghemat energi, seperti yang selalu diajarkan oleh Ibunya. Ia hanya duduk di dekat jendela, memandangi tetesan hujan yang membasahi kaca jendela.
Perlahan, rasa kantuk mulai menyelimuti Ice. Dia merebahkan diri di atas ranjangnya, tanpa selimut. Dinginnya malam terasa menusuk hingga ke tulang. Dia memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.
Tidurnya tidak nyenyak, dia terus teringat Ibunya. Dia ingin sekali merasakan kasih sayang dan perhatian dari Ibunya, dan memiliki keluarga yang utuh, seperti keluarga teman-temannya.
Di tengah kegelapan dan kesunyian, Ice berdoa dalam hati. Ia berdoa agar Ibunya segera kembali ke rumah dan agar mereka bisa hidup bahagia bersama. Namun, kalian semua tahu kan? Terlalu berharap hanya akan membuat kalian kecewa.
Keesokan harinya, Ice terbangun karena mendengar suara adzan shubuh berkumandang. Segera ia melakukan ibadah sholat lalu membersihkan rumahnya.
Setelah itu, dia memakai seragamnya lalu keluar dari rumah. Dia tak mengunci pintunya karena tahu ibunya belum pulang sampai sekarang.
Pukul 06.30 pagi, dia buru-buru berjalan menuju sekolah. Berharap Blaze tidak bertemu dengannya di jalan, tetapi nasib buruk menimpanya.
Blaze tiba-tiba muncul di sampingnya sambil mengayuh sepeda.
“Naik sini! Gue bonceng,” kata Blaze, dia menghadang jalan Ice.
Ice semakin takut rasanya, efek sering disiksa Blaze membuatnya jadi gampang takut padahal Blaze hanya bicara saja. “I-iya,” balasnya.
Setelah itu, Blaze kembali mengayuh sepedanya menuju sekolah dengan cepat. Ice hanya bisa memegangi tas Blaze dengan erat karena takut terjatuh.
Sesampainya di sekolah, Blaze menarik tangan Ice dengan kasar menuju kelas.
![](https://img.wattpad.com/cover/369585053-288-k754168.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)
FanficStart 24 Mei 2024. End 20 November 2024. Setelah Blaze dan Ice sudah akur dan Ice tak dirundung Blaze lagi. Semua masalah telah mereka selesaikan, suatu hari mereka bertemu dengan murid baru yang menjadi adik kelas mereka dengan kepribadian buruk, a...