6. Ice lelah

391 51 13
                                    

Blaze dan Halilintar pun keluar dari rumah Taufan dengan langkah terburu-buru. Halilintar masih kesal dengan pergaulan adiknya, sedangkan Blaze merasa malu karena abangnya menonjok Taufan di depan teman-temannya.

“Cepat Blaze, Gue mau pulang!” bentak Halilintar, dia menarik tangan adiknya dengan kasar.

“Iya Bang, sabar,” balas Blaze.

Halilintar terus menyeret Blaze, tanpa mempedulikan teriakan Blaze yang kesakitan. Sesekali, mereka melewati beberapa orang yang melihat mereka dengan tatapan heran.

Halilintar dan Blaze terus berjalan, mereka melewati jalanan yang ramai dan penuh kendaraan. Blaze semakin kesal dengan perlakuan abangnya, dia ingin sekali memberontak, tapi dia takut.

“Aduh, Blaze kenapa mukanya merah-merah?” tanya seorang bapak-bapak yang mengenal mereka.

“Dia abis berantem Pak,” jawab Halilintar dengan nada dingin.

Bapak itu hanya menggelengkan kepalanya, dia merasa kasihan melihat Blaze yang diperlakukan kasar oleh abangnya sendiri. Akhirnya, mereka sampai di rumah. Halilintar langsung mendorong Blaze ke dalam rumah.


“Bunda!” teriak Blaze, dia berlari ke arah kamar ibunya

“Tuh anak pasti mau ngadu ke Bunda kalau Gue kasar sama dia,” gumam Halilintar.

“Ada apa Nak?” tanya ibunya dengan panik.

“Abang Hali tadi kasar sama Blaze, Bunda!” jawab Blaze sambil menunjuk Halilintar yang berdiri di depan pintu kamar ibu mereka.

Ibu mereka, yang bernama Rini, menatap Halilintar dengan tatapan tajam. “Ada apa ini? Kenapa kamu kasar sama Blaze?” tanyanya dengan nada tegas.

Halilintar, yang tidak terbiasa dimarahi oleh ibunya, menundukkan kepalanya. “Dia tadi bergaul sama anak-anak nakal, Bu,” jawabnya pelan.

“Anak nakal? Siapa yang bilang? Blaze kan selalu main sama teman-temannya,” balas Rini dengan nada tidak percaya.

Blaze menggelengkan kepalanya. “Itu bohong! Teman-teman Blaze baik-baik semua!” teriaknya.

Rini menghela napas panjang. Dia tahu kedua anaknya sering bertengkar, tapi ini adalah pertama kalinya dia melihat Halilintar kasar kepada Blaze. “Diam dulu kalian berdua!” bentaknya.

Rini kemudian duduk di tepi tempat tidur dan memandangi kedua anaknya. “Blaze, kamu ceritakan sama Bunda, siapa saja teman-temanmu yang tadi main sama kamu?” tanyanya dengan lembut.

Blaze pun menceritakan kepada ibunya tentang teman-temannya yang tadi bermain dengannya. Dia menjelaskan bahwa mereka bukan anak nakal seperti yang dikatakan Halilintar. Rini mendengarkan dengan seksama cerita Blaze, dan dia mulai percaya bahwa Halilintar mungkin salah.

“Halilintar,” kata Rini setelah Blaze selesai bercerita, “Kamu tidak boleh menuduh orang lain tanpa bukti. Bisa jadi teman-teman Blaze itu memang bukan anak nakal seperti yang kamu katakan.”

Halilintar menundukkan kepalanya lagi. “Maaf Bunda,” gumamnya.

“Dan kamu, Blaze,” lanjut Rini, “Kamu juga harus hati-hati memilih teman. Pastikan kamu bergaul dengan orang-orang yang baik dan bisa membawa pengaruh positif untukmu.”

Blaze mengangguk. “Iya Bunda,” jawabnya.

Rini kemudian memeluk kedua anaknya. “Bunda sayang kalian berdua,” katanya. “Jangan bertengkar lagi ya?”

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang