22. Kemarahan Taufan

210 35 22
                                    

Sebelumnya ....

"Apa ini?" tanya Taufan dengan suara bergetar, matanya menatap tajam pada Gempa, tangannya mengambil akta kelahiran dan hasil tes DNA itu.

Gempa yang terkejut dengan tindakan Taufan hanya bisa terdiam. Dia berusaha meraih amplop dan hasil tes DNA itu. Namun, Taufan menjauhkannya, dia sempat membaca akta kelahiran Gempa, tanggal serta tahun lahirnya mirip dengannya, bahkan nama lengkapnya Gempa Zidan Athala, mirip dengan namanya Taufan Zidan Athala, seperti anak kembar, pikir Taufan.

Padahal memang iya, mereka saja yang tidak menyadarinya karena selama ini berpikir kebetulan wajah mereka mirip.

"Ini apa, Gempa? Jelasin!" Taufan membentaknya, itu membuat beberapa siswa yang lewat menghentikan langkahnya untuk melihat apa yang terjadi.

Gempa berusaha tenang, meskipun jantungnya berdebar kencang. "Itu ... Itu bukan urusanmu," jawabnya gugup.

"Bukan urusan gue? Ini ada hubungannya sama gue, Gempa!" bentak Taufan. "Siapa orangtua lo? Dokumen ini asli apa kagak?"

"Aku nggak mau ngomongin tentang ini," jawab Gempa.

Taufan semakin marah. Dia meraih kerah seragam Gempa dan mendorongnya ke dinding. "Kalau gue nanya tuh dijawab, Gempa!"

Gempa berusaha melepaskan cekalan tangan Taufan dari kerah seragamnya. Napasnya memburu, jantungnya berdetak kencang. Ia takut jika Taufan akan melukai dirinya.

"Lepasin aku, Kak!" teriak Gempa.

Taufan semakin mengeratkan cekalannya. "Jawab pertanyaan gue!" bentaknya lagi.

"Aku bilang aku nggak mau ngomong!" jawab Gempa.

"Lo pikir gue bakal berhenti kalau lo nggak mau ngomong?" tanya Taufan dengan nada mengancam.

Gempa memejamkan matanya ketika melihat Taufan melayangkan tinjunya.

"Aku baru tahu identitasku kemarin, orangtua kakak beberapa hari yang lalu datang ke panti asuhan dan minta tes DNA, kemarin mereka balik lagi dan nunjukkin tes DNA kami cocok. Tapi kakak tenang aja, aku belum nerima permintaan mereka buat balik ke keluarga kakak."

Setelah mendengar penjelasan dari Gempa yang buru-buru sambil memejamkan mata, Taufan mengarahkan tinjunya ke tembok di belakang Gempa. Taufan menatap Gempa dengan tatapan sulit diartikan lalu menyeret pemuda itu pergi dari sekolah.

Taufan tertawa hambar, dia melihat Gempa di depannya dengan tatapan kosong. Air mata dari tadi berjatuhan membasahi pipi Taufan.

Yang benar saja? Dia punya kembaran selama ini? 16 tahun dia hidup sebagai anak tunggal di rumah, dia tentu saja tidak bisa menerimanya semudah itu.

Gempa menunduk takut, mendengar Taufan tertawa sambil menangis membuatnya merasa tak enak.

"Kenapa lo hadir dalam hidup gue kayak gini hah!" bentakan Taufan membuat Gempa tersentak.

"Kenapa? Jawab!"

Taufan mendorong kasar Gempa sampai terduduk di sofa, tadi Taufan menyeret Gempa sampai ke rumahnya.

Gempa masih bisa merasakan lehernya sakit karena Taufan menarik kerah seragamnya dengan kencang dari tadi.

"Lo nggak bisu. Punya mulut buat ngomong ya dipake ngomong!" sentak Taufan sambil menekan kepala Gempa dengan telunjuknya.

"Gue capek-capek jadi anak tunggal yang dipaksa sempurna selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba lo hadir sebagai kembaran gue yang sejak bayi hilang dan tinggal di panti asuhan. Terus orangtua gue mau jemput lo? Mikirlah gue secapek apa sialan!"

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang