68. Kenapa lo masih ada di sini?

159 25 42
                                    

"Eh, ngomong-ngomong soal Solar," ujar Halilintar tiba-tiba. "Kalian mau gimana sama dia?"

"Aku mau nemenin dia di kelas kalau di sekolah, kalau di kos sering-sering ngajak dia ngobrol aja biar Solar gak kesepian," jawab Ice, dia memberikan minum pada Blaze yang mengeluh haus saat Ice bicara.

"Lah iya, si Taufan kan masih pengen jadi temennya Solar, mending suruh Taufan ngajakin Solar jalan aja gak sih?" usul Blaze, dia ingin meletakkan gelas di meja, tetapi tangannya tak sampai karena terhalang Ice.

"Sini aku bantu," kata Ice, dia mengambil gelas dari tangan Blaze lalu meletakkannya di atas meja.

Halilintar melihat dua adiknya itu dengan tatapan bingung, kenapa malah bawa-bawa Taufan? Halilintar kan jadi teringat kalau dia dan Taufan mendapatkan hukuman karena berkelahi dengan Raka.

Bahkan mereka berdua dihukum melakukan bakti sosial, juga menjenguk Raka untuk meminta maaf karena Taufan memukuli kepaka Raka menggunakan nampan besi berkali-kali.

"Kayaknya Taufan gak bisa jalan lama-lama sama Solar nantinya, soalnya kalian kan tahu sendiri gue sama Taufan masih dihukum," kata Halilintar sambil memandang dua adiknya yang mulai rebutan ponselnya Blaze saat main game.

"Dih, bocah banget," guman Halilintar, dia menatap datar pada adik-adiknya.

"Kalian udah kelas X woilah! Jangan rebutan game!" Halilintar berteriak kesal.

"Hehehe, maaf Bang," kata dua kembaran itu sambil melepaskan ponselnya Blaze.

"Tadi Abang bilang apa?" Ice bertanya.

"Taufan pasti gak bisa lama-lama jalannya soalnya kami lagi dihukum," kata Halilintar lagi dengan nada malas.

Solar menatap langit-langit kamar kos nya. Sinar matahari sore menyelinap melalui celah tirai. Luka di tangan kanannya masih terasa nyeri, itu mengingatkannya pada kejadian beberapa hari lalu saat punggung tangannya diinjak dengan kasar oleh Raka.

Ingatannya kembali pada pertemuannya dengan Duri di ruang rehabilitasi. Kata-kata Duri masih terngiang di telinganya. "Aku janji, Solar. Aku bakal coba buat berubah. Aku tahu kalau kamu pasti terbebani hidup dengan aku yang kayak gini. Tapi sekarang, aku pengen jadi kakak yang baik buat kamu."

Solar memejamkan mata. Dia ingin percaya pada kata-kata Duri, tapi dia masih ragu. Bagaimana jika kali ini pun Duri tetap sama, kepribadian gandanya tetap ingin membunuh dirinya dan Duri sendiri? Meskipun Duri sudah membunuh orangtua angkat mereka, sumber dari segala penderitaan mereka.

"Apa gue terlalu berharap?" gumamnya pelan.

Suara bising dari kamar sebelah menyadarkan Solar dari lamunannya. Dia mendengar suara tawa Halilintar, Blaze, dan Ice. Sepertinya mereka sedang menghabiskan waktu bersama keluarga.

"Gue iri sama mereka," kata Solar.

Solar bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Dia membuka tirai lebar-lebar, menikmati pemandangan sore hari dari kamar kos nya. Matahari mulai terbenam, langit berubah menjadi gradasi warna oranye.

Solar menatap ponselnya yang berdering di meja, melihat nama Taufan muncul di layar. Dering panggilan itu terus berlanjut. Pemuda itu menarik napas, menenangkan diri sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.

"Halo?" Suara Solar terdengar datar, berusaha tetap tenang.

Di seberang, suara Taufan terdengar hangat tapi canggung. "Eh, hai, Solar. Lagi sibuk nggak?"

Solar menatap langit yang semakin gelap. "Nggak. Kenapa?"

"Oh, nggak apa-apa. Cuma pengen nanya kabar aja," balas Taufan.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang