31. Khilaf mulu, kapan tobat?

235 39 34
                                    

"Lo pikir gue peduli sama lo?" lanjut Taufan dengan nada ketus.

Ice terdiam, pemuda itu tahu bahwa Taufan tidak benar-benar peduli padanya. Taufan hanya mengatakan hal itu untuk membuatnya merasa lebih buruk.

"Gue cuma mau ngasih bukunya si Blaze, kata dia catatin semua materi selama Blaze diskors tiga hari," kata Taufan sambil menunjukkan buku milik partnernya dalam merundung orang.

Ice mengangguk, dia mengambil buku tulis milik Blaze. Ya, sudah Ice duga akan jadi seperti ini akhirnya.

"Gue pergi," ucap Taufan singkat. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, sebelum benar-benar keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Ice.

"Gue denger semuanya soal perjanjian kalian, Lo nyuruh Blaze bohong kalau dia yang mukulin lo padahal itu perbuatan mama lo. Gue tahu rahasia kalian, tapi tenang aja. Gue gak akan buka mulut selama lo ngerti batasan, Blaze gak mungkin selamanya ngakuin perbuatan mama lo itu."

Ice tidak menjawab. Ia hanya diam mendengarkan ucapan kakak kelasnya itu. Ice memperhatikan Taufan yang perlahan menghilang di balik pintu. Setelah memastikan Taufan benar-benar pergi, Ice memeluk erat buku catatan itu.

"Aku harus gimana? Kasihan dia diskors 3 hari. Bener kata Kak Taufan, kalau aku ketahuan ada luka lagi gimana? Masa Blaze lagi yang kena," gumam Ice, dia menghela napas panjang sebelum melangkahkan kakinya menuju kelas.

...

Blaze melangkah masuk ke dalam kosan yang disewa abangnya. Suasana di dalam kosan terasa begitu sunyi. Biasanya, Halilintar akan menyambutnya dengan perdebatan kecil kalau dia pulang terlambat dari sekolah. Namun, hari ini, kos itu terasa hampa.

Blaze melempar tasnya ke sembarang tempat dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar dengan kosong. Peristiwa tadi siang masih terngiang di benaknya. Pertengkaran dengan Halilintar, perjanjian dengan Ice, dan hukuman diskors selama tiga hari.

"Sialan!" umpat Blaze sambil memukul bantal dengan keras.

Blaze mengambil ponselnya dan mulai membuka aplikasi game. Ia berusaha untuk mengalihkan pikirannya dengan bermain game, namun tetap saja pikirannya melayang pada Halilintar.

"Apa Bang Hali marah banget sama gue?" gumam Blaze.

Pemuda itu ingat sekali bagaimana tatapan Halilintar saat mereka bertengkar tadi. Blaze takut jika Halilintar akan benar-benar membencinya.

Blaze mengalihkan pandangannya ketika pintu kamar terbuka dan terlihat abangnya masuk. Blaze langsung melihat Halilintar sambil meletakkan ponselnya.

"Lo udah pulang?" tanya Blaze dengan suara pelan.

Halilintar hanya mengangguk dan berjalan menuju lemari pakaiannya.

"Gue laper," kata Halilintar tanpa menatap Blaze.

Blaze menghela napas. Ia bangkit dari kasur dan berjalan menuju dapur, mengambil beberapa mie instan dan memasaknya.

Setelah mie instan matang, Blaze membawa mangkuk mie itu ke kamar dan memberikannya pada Halilintar. Halilintar menerima mangkuk mie itu tanpa mengucapkan terima kasih.

"Lo kenapa sih, Blaze? Dari tadi diem aja," tanya Halilintar setelah selesai makan.

"Gue capek," jawab Blaze singkat.

Halilintar mengangguk mengerti. Ia tahu bahwa adiknya sedang dalam keadaan yang tidak baik.

"Maaf tadi gue kasar," kata Halilintar dengan kalem.

"Iya, nggak apa-apa," jawab Blaze.

"Lo tahu kan, gue sayang sama lo?" lanjut Halilintar.

Blaze mengangguk pelan.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang