29. A Game of Lies 2

170 38 25
                                    

Ice tak pernah menyangka akan seperti ini kejadiannya, harusnya dia tadi tak ikut olahraga saja, sekarang dia ketahuan memiliki luka-luka lebam di sekujur tangan dan kakinya, bekas dipukuli ibunya.

Ice mengusap lengannya yang lebam, berusaha menyembunyikannya dari pandangan orang lain ketika jam olahraga, sial sekali dia hari ini karena lengan kaos olahraganya tak sengaja terangkat saat pemanasan.

Perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Dia tahu bahwa luka-lukanya ini pasti akan menjadi bahan gosip di sekolah. Yang lebih membuatnya khawatir adalah Blaze.

Bagaimana jika Blaze dituduh memukulinya?

Meskipun Blaze memang pernah membully fisik dan verbal padanya, akhir-akhir ini Blaze tak melakukannya. Tentu saja Ice jdi khawatir pada Blaze.

"Apa yang harus aku lakuin?" gumam Ice. Dia tidak ingin Blaze mendapat masalah karena dirinya, baru saja dia mengatakan itu, pemuda yang ia maksud menghampirinya dan menyeretnya ke belakang gedung sekolah.

"Ice ... Gue udah lama gak ngasarin fisik lo lagi, kenapa bisa lebam-lebam gini?" Blaze bertanya sambil mencengkram pundak pemuda di depannya.

"Jawab gue! Bisa mampus gue di tangan Abang gue kalau mereka semua pada nuduh gue yang mukulin lo separah ini," bentak Blaze dengan panik, takut Halilintar yang baru pindah sekolah beberapa hari di sana langsung mendapat masalah karena dirinya.

"A-aku ...," pemuda bernetra aquamarine itu melirik ke arah lain dengan takut.

"Mama lo yang mukulin lo lagi?" Blaze langsung bertanya tanpa basa-basi.

Melihat Ice hanya diam membuat Blaze sudah tahu jawabannya. Sudah terbiasa Ice dipukuli oleh ibunya, dan tidak ada yang tahu.

"Aku mohon kalau guru nanya ke kamu, bilang aja kalau aku jatuh," kata Ice pada Blaze.

Pemuda bernetra jingga itu mendengkus kesal mendengar permintaan Ice. Blaze menghela napas sebelum berbalik meninggalkan teman sebangkunya yang selalu ia rundung itu.

"Mereka gak akan percaya, gue yang bakal dituduh mukulin lo karena emang gue yang sering bully lo di sekolah," kata Blaze sebelum melanjutkan langkah kakinya.

"Blaze, tunggu! Kamu mau kan bohong kalau kamu habis mukulin aku?" Ice bertanya, egois memang, tapi dia melakukannya agar pihak sekolah tak tahu kalau ibunya Ice yang melakukannya.

Blaze mendorong Ice dengan kasar sampai terbentur tembok. "Atas dasar apa lo nyuruh gue ngakuin kesalahan mama lo itu?" tanyanya.

Ice meringis kesakitan. "Aku mohon. Aku nggak mau mamaku dilaporin ke polisi," jawabnya.

"Terus lo mau gue kena hukum?" Blaze bertanya sambil mencengkram erat pundak Ice.

"Ya! Maaf aku egois, tapi kamu harus ngelakuin ini. Selama ini kamu juga sering mukulin aku, gak ada salahnya kalau kamu dihukum sekali doang."

Anggap saja Ice itu remaja labil, dia malah ingin memfitnah Blaze demi melindungi sang ibu.

"Huh, kalau gitu biar gue pukul lo sekarang supaya rasa kesel gue ilang," kata Blaze dengan nada datar, tetapi dia tak melakukannya.

Blaze mengepalkan tangannya, menatap tajam Ice. "Lo pikir gue segampang itu mau ngakuin kesalahan orang lain? Lo pikir gue bodoh?" tanyanya dengan suara yang meninggi.

Ice terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia tahu Blaze marah, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sangat takut jika ibunya sampai dilaporkan ke polisi.

"Kalau lo mau gue ngakuin kesalahan mama lo, lo harus janji sama gue," kata Blaze sambil memikirkan sesuatu.

"Apapun itu, aku janji," jawab Ice cepat.

"Pertama, lo harus selamanya jadi babu gue, alias korban bully gue. Kedua, lebih nurut sama semua perintah gue. Ketiga, jangan lupa sering bawain gue makanan ke kosannya Bang Hali," kata Blaze dengan nada mengancam.

"Aku janji akan ngelakuin itu semua," kata Ice, terpaksa dia melakukan perjanjian ini, tak masalah kalau Blaze akan semakin kasar padanya suatu saat nanti..

Blaze mengangguk pelan. "Oke, gue akan bohong kalau gue yang mukul lo. Tapi ingat, tepatin janji lo itu."

...

Blaze dan Ice berjalan menuju ruang BK, jantung keduanya berdebar kencang. Setibanya di sana, guru BK menatap keduanya dengan tatapan curiga, padahal guru itu hanya memanggil Ice lewat speaker sekolah.

Kenapa Blaze ikut-ikutan ke ruangan BK?

"Kalian berdua, jelaskan apa yang terjadi pada Ice sampai dia memiliki luka-luka seperti ini," tanya guru BK.

Blaze melirik sekilas pada Ice, lalu menatap guru BK. "Saya yang memukulnya, Pak," bohongnya.

Guru BK menatap Blaze tajam. "Apa alasanmu memukul Ice?"

"Saya hanya kesal padanya, Pak," jawab Blaze singkat.

Guru BK menggelengkan kepala. "Ini sudah keterlaluan, Blaze. Kamu akan mendapatkan hukuman atas perbuatanmu itu."

Setelah memberikan peringatan keras pada Blaze, guru BK meminta Ice untuk segera ke ruang UKS untuk mendapatkan perawatan.

"Blaze!" panggilan dari sang abang membuat Blaze merinding seketika, dia melihat Ice yang sudah masuk ke UKS lalu berbalik melihat Halilintar.

"Bang Hali," gumam Blaze, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Gue gak nyangka adik gue bisa sekasar ini sama temen sebangkunya sendiri," kata Halilintar sambil menarik Blaze agar menatapnya.

Blaze menghela napas panjang, terpaksa dia menutupi kebohongan yang sudah dia katakan dengan kebohongan lainnya.

"Ice nggak nurutin perintah gue kemarin, jadi gue pukul," bohongnya, nada suaranya datar.

"Tapi kenapa sampe segitunya Blaze? Inget kan kita itu yatim piatu, sejak ayah ngebunuh bunda di depan gue. Kita udah nganggap ayah mati, sekarang lo malah bikin masalah di sekolah ... Gue yang susah sebagai wali lo Blaze," kata Halilintar, tatapannya kecewa.

Blaze mendengkus kasar, tatapannya menajam. "Jangan dibahas! Gue lagi gak mood Bang."

Halilintar berdecak kesal, matanya menyipit tajam menatap Blaze. "Lo mirip banget sama Ayah, tempramental! Mau nyusul jadi pembunuh kayak dia?" sindirnya.

Blaze mengepalkan tangannya erat-erat, urat-urat di tangannya menonjol. Dia ingin sekali menghantam wajah abangnya, tapi dia menahan diri.

"Gue nggak sudi dianggap mirip sama ayah," ketus Blaze, meskipun dia menyadari kalau dia memang mirip dengan ayahnya.

Seketika, sebuah penyesalan mendalam menyerang Halilintar. Dia merasakan dadanya sesak, ingin rasanya Halilintar menarik kembali kata-katanya yang menyindir Blaze tadi, namun lidahnya kelu. Halilintar menepis rasa sesalnya itu secepat mungkin, lalu tangannya dengan kasar menuju kerah seragam Blaze.

"Blaze, lo kenapa sih selalu bikin masalah terus? Gue jadi bingung mau ngelindungin lo kayak gimana lagi," kata Halilintar sambil menarik kerah seragam adiknya.

Blaze berusaha melepaskan cekalan abangnya, tetapi Halilintar semakin mengeratkan genggamannya. Tatapan mereka saling bertemu, penuh amarah. Keduanya tak ada yang mau mengalah.

"L-lepasin!" bentak Blaze, suaranya bergetar karena mulai takut pada abangnya, padahal abangnya jarang kasar padanya selama ini.

Halilintar terdiam sejenak, netra ruby-nya memandang wajah adiknya yang kini pucat. Ingatannya kembali pada masa lalu, saat ayahnya sering memukuli mereka berdua. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan ayahnya yang sudah ditiru Blaze.

Perlahan, Halilintar melepaskan genggamannya pada kerah seragam Blaze. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri agar tak kelepasan sampai melukai adiknya. Halilintar tak ingin membuat Blaze sampai menjauh bahkan membencinya.

Bersambung.

Gue pengen ngelindungin Blaze, tapi cara mana yang benar? (Halilintar Orion Narendra)

Aku rela seumur hidup menjadi korban demi melindungi orang yang ku sayangi (Ice Aksara)

Gue nggak sekuat itu, gue juga butuh seseorang untuk bersandar (Blaze Asher Narendra)

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang