Setelah mengungkapkan semua rasa sakit dan kekecewaannya kepada Halilintar, Blaze keluar dari rumah sakit dengan langkah cepat. Hatinya terasa hampa dan pikirannya kacau. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Dalam keadaan kalut, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Ice. Ice yang saat itu sedang belajar di kamarnya terkejut melihat Blaze tiba-tiba datang. Ia mempersilakan Blaze masuk dan menawarkan minuman. Namun, Blaze menolak semua tawaran Ice. Ia hanya duduk di sofa dan menatap kosong ke arah jendela.
"Kamu kenapa, Blaze?" tanya Ice khawatir. Blaze tidak menjawab, ia hanya terus menatap ke luar jendela.
"Aku boleh tahu nggak, kenapa kamu tiba-tiba ke sini?" tanya Ice lagi.
Blaze menoleh ke arah Ice, matanya terlihat merah dan bengkak. "Gue nggak punya tempat lain lagi," ucap Blaze dengan suara serak.
Ice terdiam sejenak, ia mengerti bahwa Blaze sedang dalam keadaan yang sangat buruk. Ia pun mengizinkan Blaze untuk menginap di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, kehidupan di rumah Ice menjadi tidak nyaman, dia selalu disuruh-suruh seperti pembantu.
"Kok nggak ada makanan?" Blaze bertanya sambil memukul meja belajar milik Ice.
"Aduh, maaf Blaze. Aku lupa beliin makan tadi," kata Ice, dia sedang mengerjakan tugas sekolahnya sekaligus tugas sekolah milik Blaze.
"Pergi beli makanan sana! Gue lapar."
"Iya."
Ice segera pergi keluar dari rumahnya sebelum Blaze memukulnya, Ice merasa tertekan karena dipaksa belajar tanpa istirahat oleh mamanya, sekarang harus diperlakukan seperti pembantu oleh Blaze, dia tidak ingin membuat Blaze semakin kesal padanya.
.
Ice kembali ke rumah dengan membawa beberapa bungkus makanan. Ia meletakkan makanan di meja dan menatap Blaze yang masih terlihat murung. Dengan hati-hati, Ice menyodorkan makanan itu kepada Blaze.
"Makanlah Blaze," kata Ice.
Blaze menerima makanan itu tanpa mengatakan apapun. Ia melahap makanannya dengan rakus, seakan ingin meluapkan semua kekesalannya melalui makanan. Setelah selesai makan, Blaze kembali bersandar di sofa, matanya terpejam erat.
Ice menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Jadwal belajar yang ketat ditambah kehadiran Blaze yang membuatnya kewalahan, membuat pikirannya semakin buntu. Ia kembali menatap jadwal belajar yang tertulis di sampul buku catatannya. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, tetapi Ice harus tetap mengerjakan tugasnya.
Sementara itu, Blaze yang tertidur di sofa mulai gelisah. Mimpi buruk kembali menghantuinya. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia duduk di sofa dan menatap sekeliling ruangan dengan pandangan kosong. Perlahan, matanya tertuju pada Ice yang sedang bergelut dengan tumpukan buku.
"Lo masih ngerjain tugas?" tanya Blaze dengan suara serak.
Ice terkejut mendengar suara Blaze. Ia menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, masih banyak yang harus diselesaikan."
"Hm, bisa lo kirim jemputan buat abang gue nggak? Dia hari ini harusnya udah boleh pulang dari rumah sakit, cuman gue nggak mau dia balik ke rumah keluarga kami, di sana masih banyak polisi yang nyelidikin kasus pembunuhan yang dilakuin ayah gue ke bunda gue."
"Aku nggak bisa, itu si Bang Taufan kakak kelas yang sering sama kamu bisa jemput abangmu, kan?" Ice menjawab sekaligus bertanya pada Blaze dengan raut wajah bersalah.
"Mereka kayaknya nggak bakal akur deh, mending gue nyuruh Gempa aja deh," gumam Blaze yang mengingat Halilintar yang tidak suka jika Blaze bergaul dengan Taufan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)
FanficStart 24 Mei 2024. End 20 November 2024. Setelah Blaze dan Ice sudah akur dan Ice tak dirundung Blaze lagi. Semua masalah telah mereka selesaikan, suatu hari mereka bertemu dengan murid baru yang menjadi adik kelas mereka dengan kepribadian buruk, a...