46. Kesal

170 38 34
                                    

Solar melangkah menuju warung kopi langganannya. Ia memilih tempat duduk di pojok, jauh dari keramaian. Segelas kopi hitam panas ditaruhnya di atas meja, uapnya mengepul tipis di udara.

Solar menatap pemandangan di sekitarnya, pikirannya melayang ke berbagai hal. Tentang percakapannya dengan Blaze dan Ice tadi, tentang Duri yang selalu mengganggunya, dan tentang masa depannya yang masih terasa begitu kabur.

Pemuda dengan topi biru miring ke kanan melihat ke sekeliling sambil memandang foto Solar yang dikirimkan Blaze dan Ice tadi. Dia menarik napas panjang sebelum mendekat ke pemuda yang Taufan yakini adalah Solar.

"Hei, boleh gue duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk kursi di depan Solar.

"Tinggal duduk doang pake izin segala, ini tempat umum bukan punya gue," balas Solar dengan ketus.

Taufan tersenyum paksa, dia kesal sekali, rasanya ingin dia ceburkan Solar ke sungai yang baru saja Taufan lewati tadi. Lupakan saja ide itu, Taufan masih punya jiwa-jiwa perundung yang agak susah dibersihkan.

"Btw, gue sering lihat lo di daerah sini, lo tinggal di sini?" Taufan bertanya, sekedar basa-basi.

Solar menyeruput kopinya dengan perlahan. "Kagak, gue cuma ngekos sementara waktu aja di depan sana," jawabnya sambil melirik kos di seberang jalan.

"Oh, boleh gue nanya nama lo siapa?"

"Solar," balas Solar, dia sedikit bosan.

"Gue Taufan," ucap Taufan, tangannya terulur ke depan, ingin berjabat tangan dengan Solar.

"Gue nggak suka," balas Solar tanpa membalas uluran tangan Taufan.

Taufan menganga, otaknya seketika loading beberapa detik. Pemuda itu menunjuk dirinya sendiri lalu bertanya, "Lo nggak suka sama gue?"

Solar langsung mengangguk tanpa ragu.

"Buset, kenapa?" Taufan menggebrak meja dengan keras, membuat beberapa pengunjung warung menoleh ke arahnya.

"Lo kayak kembaran gue, berisik, sok dekat," kata Solar sebelum melangkahkan kakinya pergi dari warung itu.

Memang benar Solar jadi teringat Duri, dari senyuman ramahnya dan cara menyapa orang dengan sangat ramah membuat Solar muak.

Taufan menggertakkan gigi. "Sok banget lo!" teriaknya, suaranya memekakkan telinga.

Solar hanya mengangkat bahu acuh tak acuh lalu beranjak pergi. Meninggalkan Taufan yang masih berdiri di sana sambil menunjuknya.

...

Jangan tanyakan Taufan sekarang sedang apa, sudah pasti dia mencak-mencak di depan Blaze dan Ice.

"Blaze, itu tetangga kamar di kos lo kok nyebelin banget njir? Gue pengen nyekokin dia pake air comberan rasanya," keluh Taufan, dia sampai lupa menanyakan tumben Blaze mengajak Ice ke rumahnya Taufan.

"Sabar Fan, gue juga bingung kok bisa ada manusia nggak ramah kayak Solar," balas Blaze, netra jingganya melirik Taufan yang menendang-nendang bantal mini.

"Sumpah, gue gak pernah nemu orang semenyebalkan Solar itu! Dia itu iblis dalam wujud manusia, setan yang suka bikin orang kesel! Lo bisa bayangin gak sih, kalau aja gue punya mesin waktu? Gue bakal balik ke masa lalu, terus gue tendang Solar pas dia masih bayi!"

Ice dan Blaze refleks menganga mendengar ucapan kakak kelasnya itu. Taufan gila, pikir mereka, Gempa, adik kembarnya Taufan yang sedang demam di kamarnya harus menutup telinganya rapat-rapat.

"Gue pengen cincang dia jadi sate, terus gue bakar hidup-hidup!" Taufan menunjuk-nunjuk ke arah foto Solar yang diam-diam diambil oleh Blaze.

"S-sabar," ujar Ice, dia merinding sendiri gara-gara Taufan seperti orang kesurupan saat kesal.

Blaze dengan tidak sabar mulai menendang pelan punggung Taufan yang mondar-mandir sambil berkomat-kamit mulutnya itu.

"Apa sih?" bentak Taufan, dia hampir menonjok Blaze kalau saja dia lupa Blaze adalah temanmya.

"Lo kesurupan apaan njir? Bisa diem gak? Mulut lo gak bisa direm apa? Sini gue pasangin rem tuh mulut, lihat nih ada Ice yang polos ini dan ada Gempa yang kalem di sini," kata Blaze sambil menepuk kepala Ice yang tertutup topi sambil menunjuk pintu kamarnya Gempa.

Ice hanya menatap datar pada kakak kembarnya, bisa-bisanya dia dikatakan polos- eh memang benar sih, tapi kan dia bukan anak kecil yang tak bisa mendengar ucapan kasar.

Apalagi dulu Blaze dan Taufan dulu adalah perundung nomor satu yang merundung Ice.

Taufan seketika meringis malu, dia langsung mengunyah puding di atas meja agar tak mengucapkan kata-kata kasar lagi.

"Oke, kita sekarang bahas cara mendekati Solar," ujar Ice, dia mulai bicara setelah Taufan tenang.

"Gue tetep mau nyuruh Taufan deketin Solar terus kalian wajib berteman," tuntut Blaze pada Taufan.

"Ogah!" seru Taufan sambil mendengkus kasar.

"Heh. Lo mau tahu nggak makanan kesukaannya Gempa?" tanya Blaze, tuh kan pemuda satu ini selalu punya cara untuk membujuk kakak kelasnya itu.

"KOK LO BISA TAHU? GUE KAGAK TAHU SEDIKITPUN," teriak Taufan, dia segera mendengarkan semua bisikan dari Blaze.

"Tahu lah, sejak SD gue kenal Gempa. Lo mah baru kenal Gempa dan baru tahu kalau Gempa kembaran lo yang hilang aja pas SMA," ujar Blaze setelah berbisik.

"Oke makasih, gue bakal coba lagi deketin tuh orang nyebelin," kata Taufan pada akhirnya.

Ice terdiam, padahal dia belum mengatakan apapun, ternyata keberadaannya di sini tak terlalu berguna. Pemuda bernetra aquamarine itu jadi sedih, Ice mengalihkan pandangannya ke ponsel dan memutuskan untuk main game saja.

Sepulangnya mereka berdua dari rumah Taufan, Ice terlihat fokus pada pemandangan dari atas motor.

"Ice, itu bukannya Solar sama Duri, kenapa mereka bisa nyampe daerah sini?" tanya Blaze, dia menghentikan laju motornya di pinggiran jalan.

"Nggak tahu."

Solar mengepalkan tangannya, urat-urat di lengannya menonjol. Napasnya memburu, fokusnya hanya tertuju pada wajah kembarannya yang berdiri di depannya.

Marah dan frustasi bercampur aduk. Tangannya melayang, didorong oleh dorongan kuat untuk melampiaskan semua kekesalannya.

Namun, sebelum tinjunya menyentuh pipi Duri, tangan Duri dengan cepat menangkis serangan itu. Sentuhan itu menyadarkan Solar dari kegilaan sesaatnya, Solar mundur beberapa langkah.

Ice dan Blaze melihat Duri yang menepis tangan Solar yang terangkat padanya, mereka hampir berteriak karena panik, tetapi mereka urungkan karena Duri bisa menepisnya.

Duh, ini Solar tak bermaksud memukul kakak kembarnya ya! Dia hanya tak sengaja hampir memukul kakak kembarnya, untung Duri bisa menepis tangan Solar dengan cepat.

Solar menghela napas kasar, dadanya naik turun dengan cepat. Teriakan yang hampir meluncur dari bibirnya tertahan di tenggorokan, berubah menjadi suara dengkusan marah yang rendah. Hampir saja dia melukai kembarannya hanya karena emosi.

"Maaf, gue gak mau pulang ke rumah. Gue udah nyaman tinggal mandiri di kos sendirian," kata Solar dengan nada rendah.

Duri hanya bisa memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam Solar. Dengan langkah pelan, Duri menjauh, matanya terus melirik ke arah Solar, berharap adik kembarnya bisa segera berubah pikiran.

Blaze yang melihat itu merasa kasihan, dia segera melajukan motornya mendekat ke Duri setelah merasa Solar tak menyadari keberadaan mereka.

"Hei, rumah lo nggak jauh dari sini, Duri?" sapa Blaze, di belakangnya ada Ice yang melambaikan tangan pada Duri.

"Hai, iya. Dekat banget kok, kami sebenernya baru aja pindah beberapa minggu yang lalu, tapi Solar mendadak ngekos tanpa izin," balas Duri dengan sejujur-jujurnya.

Bersambung.

Jujur aja pas Solar hampir nonjok Duri, kalian panik gak?

Awawawa, karena gamau cepet tamat, malah ngasih arc Solar sm Duri ft Taufan wkwk

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang