30. Rasa bersalah

210 39 32
                                    

Ice mengintip dari balik pintu UKS, jantungnya berdebar kencang. Dia mendengar pertengkaran antara Blaze dan Halilintar, dan dirinya semakin merasa bersalah. Dia tidak pernah menyangka permintaanya akan membuat masalah sebesar ini.

Pemuda bernetra aquamarine itu merasa sangat bodoh dan egois karena ketakutannya pada ibunya, dia malah membuat Blaze yang mengakui kesalahan ibunya Ice, dan berakhir Blaze bertengkar dengan Halilintar.

Ice meringkuk di sudut ruangan UKS, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya tersengal-sengal, pandangannya mulai kabur. Kejadian tadi bagai film yang diputar ulang berkali-kali di kepalanya. Perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Dia tidak pernah menyangka masalah yang awalnya ia kira sepele akan berujung pada pertengkaran antara Blaze dan Halilintar.

"Kenapa aku sebodoh ini?" gumam Ice lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar meraih ponselnya, dia ingin menghubungi ibunya, tapi urung melakukannya. Dia takut ibunya akan marah jika Ice menghubunginya.

Dadanya terasa sesak, kepalanya pusing, dan tubuhnya terasa lemas. Dia ingin berteriak sekencang-kencangnya.

Ingatannya kembali pada saat ibunya memukulinya. Luka-luka di sekujur tubuhnya terasa perih, tetapi luka batinnya jauh lebih sakit daripada luka fisiknya. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya.

"Aku benci diriku sendiri," gumam Ice sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tubuh pemuda itu masih gemetar.

Sementara itu, di luar ruangan, Halilintar mencoba mengajak Blaze pulang setelah bertengkar dengannya tadi.

Blaze enggan menatap abangnya, entah kenapa Blaze merasa kalau dia pulang sekarang maka akan terjadi pertengkaran yang lebih besar lagi.

"Terserah lo deh Blaze! Gue capek lama-lama ngurusin lo," bentaknya, Halilintar kelepasan lagi mengatakan kalimat yang membuat Blaze sakit hati.

Setelah Halilintar pergi dari depan UKS, Blaze menarik napas panjang lalu masuk ke UKS, matanya melihat Ice yang meringkuk di sudut ruangan itu.

Blaze melangkah mendekati Ice dengan tatapan tajam. Wajahnya yang biasanya ceria kini berubah menjadi masam. Hatinya masih sakit karena perkataan Halilintar tadi, dan kini ia melihat sumber dari semua masalah ini sedang meringkuk di sudut ruangan.

"Lo sadar kan, gara-gara lo semua ini jadi kacau?" suara Blaze terdengar dingin.

"Iya ...."

"Cuma gara-gara lo gak mau mama lo itu dilaporin ke polisi karena mukulin tangan sama kaki lo separah itu, lo sampai mohon-mohon ke gue supaya bohong ke guru BK kalau gue mukulin lo," kata Blaze, merasa kesal, rasanya ingin membenturkan kepalanya ke tembok.

Ice terdiam mendengar kata-kata Blaze. Matanya menatap nanar ke lantai, tidak berani menatap wajah Blaze.

"Huh, gue udah gak bisa ngomong apapun lagi. Yang jelas lo harus inget janji lo itu," kata Blaze, dia menarik tangan Ice dengan kasar agar berdiri.

Ice mengangguk, pemuda itu teringat perjanjian mereka tadi.

"Kalau lo mau gue ngakuin kesalahan mama lo, lo harus janji sama gue," kata Blaze sambil memikirkan sesuatu.

"Apapun itu, aku janji," jawab Ice cepat.

"Pertama, lo harus selamanya jadi babu gue, alias korban bully gue. Kedua, lebih nurut sama semua perintah gue. Ketiga, jangan lupa sering bawain gue makanan ke kosannya Bang Hali," kata Blaze dengan nada mengancam.

Setelah mengingat itu, Ice menarik napas panjang, rasa sesak di dadanya masih terasa. Yah, mungkin Blaze akan semakin kasar padanya setelah perjanjian itu.

Blaze menatap dalam ke mata Ice, memastikan pemuda itu benar-benar mengerti konsekuensi dari perjanjian mereka.

"Lo ingat ini baik-baik. Kalau lo ngelanggar janji itu, ya udah. Gue laporin mama lo ke polisi sekarang juga," ancam Blaze sekali lagi.

Ice hanya mengangguk patuh. Ia tak punya pilihan lain selain menerima perjanjian itu. Air mata kembali menetes dari sudut matanya, ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Blaze.

"Oke, gue anggap lo setuju," ucap Blaze dingin. Ia lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar UKS.

"Tunggu!" panggil Ice.

Blaze berhenti dan menoleh.

"Apa lagi?" tanya Blaze dengan nada tidak sabar.

Ice menggigit bibirnya, lalu berkata, "Makasih."

Blaze terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Ice akan mengucapkan terima kasih.

"Jangan salah paham! Gue cuma ngambil keuntungan pribadi dari lo meskipun gue jadi kena hukuman diskors dari guru BK. Lagian lo juga yang mohon-mohon sama gue," kata Blaze dengan raut wajah kesal.

Setelah itu, Blaze keluar dari UKS dan meninggalkan Ice sendirian di ruangan itu.

Ice terduduk lemas di bangku panjang UKS, punggungnya menempel pada dinding yang dingin. Pandangannya kosong menatap ke arah pintu yang tertutup rapat.

Tangannya gemetaran ketika meraih kotak P3K yang tersimpan di lemari. Ice membuka kotak itu dan mengeluarkan kapas serta obat merah. Dengan hati-hati, ia membersihkan luka-lukanya yang masih terasa perih. Setiap sentuhan kapas pada kulitnya bagaikan sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Pintu UKS terbuka, terlihat Taufan memegangi pintu itu agar tak tertutup. Pemuda bernetra sapphire itu menatap sekeliling ruangan dengan tatapan kosong. Matanya kemudian tertuju pada adik kelasnya yang sedang duduk meringkuk di sudut ruangan.

Taufan biasanya akan langsung menghampiri Ice, lalu melakukan berbagai macam perundungan padanya karena Taufan membantu Blaze biasanya. Namun, hari ini Taufan terlihat berbeda. Ia hanya berdiri di ambang pintu, mengamati Ice dari kejauhan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi apapun.

Suasana di dalam UKS menjadi sangat canggung. Ice berusaha untuk tidak menatap Taufan. Ia takut jika Taufan akan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi padanya.

Beberapa saat kemudian, Taufan akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan. Ia berjalan mendekati Ice dengan langkah santai.

"Kenapa lo?" tanya Taufan dengan suara datar.

Ice tidak menjawab. Ia hanya menunduk, berusaha untuk mengabaikan kehadiran Taufan.

Taufan menghela napas panjang. "Gue tau lo lagi sedih. Tapi, jangan terlalu dilihatin gitu dong."

Ice terkejut mendengar ucapan Taufan. Ia tidak menyangka Taufan akan berbicara seperti itu. Biasanya, Taufan menemani Blaze merundungnya.

"Lo pikir gue peduli sama lo?" lanjut Taufan dengan nada ketus.

Ice terdiam, pemuda itu tahu bahwa Taufan tidak benar-benar peduli padanya. Taufan hanya mengatakan hal itu untuk membuatnya merasa lebih buruk.

"Gue cuma mau ngasih bukunya si Blaze, kata dia catatin semua materi selama Blaze diskors tiga hari," kata Taufan sambil menunjukkan buku milik partnernya dalam merundung orang.

Ice mengangguk, dia mengambil buku tulis milik Blaze. Ya, sudah Ice duga akan jadi seperti ini akhirnya.

Bersambung.

Up habis piket, ueueu lagi stres rl dan cuma fanfik yg bisa bikin mood naik.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang