41. Kenyataan

211 47 14
                                    

Sedangkan di sisi lainnya, Ice hanya diam, menundukkan kepala. Ibunya menghampiri Ice dan melayangkan tangannya ke pipi Ice, bekas memerah terlihat pada pipinya.

"Aku sudah bilang jangan keluar rumah sebelum selesai belajar! Kamu ini anak bandel!"

"Maaf," ujar Ice, hanya satu kata yang bisa dia ucapkan saat ini.

"Sudahlah, kembali belajar di ruang belajarmu itu, aku mengawasimu dari CCTV," kata ibunya.

"Baik, Mama."

Pemuda itu menghela napas panjang sambil mengusap pipinya yang terasa panas. Ice mulai membuka bukunya, belum sempat ia membaca, suara gaduh di rumahnya membuat Ice terlonjak dari kursi.

"Siapa itu?" gumam Ice.

Samar-samar dia mendengar suara pria yang mengatakan kalau dia ingin melihat anaknya yang sudah besar. 15 tahun dia tak pernah bertemu dengan anaknya, netra Ice bergerak gelisah.

Siapa itu? Apa maksudnya? Anak siapa? Kenapa suaranya seperti tak asing?

"Pergi kamu! Kamu pembunuh, bahkan kamu sudah membunuh istrimu, kenapa kamu mencari Ice setelah sekian lama?"

Ice gemetar, tangannya meraih gagang pintu, dia mengintip sedikit. Hatinya mencelos mendengarnya, apa kecurigaannya selama ini memang benar?

Beberapa hari yang lalu Ice melihat foto bayi yang memiliki warna mata yang sama dengannya, dengan tulisan Ice Aksara Narendra di belakangnya.

Ice sedikit heran karena namanya selama ini hanya dua kata. Dia tak tahu siapa itu Narendra, apa jangan-jangan dia saudaranya Halilintar dan Blaze? Nama belakang mereka sama-sama Narendra.

"Balikin anak gue!" bentak pria itu.

"Pergi! Jangan sampai Ice tahu siapa orangtuanya dan membencinya!" bentak ibunya Ice.

"Oke, gue pergi! Tapi gue bakal nyari tahu yang mana itu Ice," ujar pria itu kemudian pergi.

Di kamarnya, Ice jatuh terduduk di lantai.

"Ayahku? Buronan? Ini nggak mungkin, Blaze pasti bakalan makin benci sama aku kalau tahu kami bersaudara," gumam Ice, tangannya mengepal erat, padahal mereka baru saja bisa berteman.

Pantas saja golongan darahnya sama dengan Blaze, ternyata ayah mereka adalah satu orang yang sama.

Ice menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, dia mulai belajar lagi. Berusaha melupakan apa yang ia dengarkan tadi, dia bahkan baru tahu siapa ayahnya setelah 15 tahun hidup. Selama ini ibunya bahkan tak pernah menceritakan siapa ayahnya Ice.

Pemuda bernetra aquamarine itu tersentak ketika mendengar suara notifikasi ponselnya, dia membuka ponselnya lalu melihat pesan dari Blaze yang mengajaknya makan bersama di kos nya Halilintar.

Ice hanya membalas pesan itu dengan singkat lalu merebahkan dirinya di atas kasur.

"Apa kami coba tes DNA aja ya?" gumam Ice, dia sebwnarnya masih bingung dengan kejadian hari ini.

Keesokan harinya, Blaze terlihat semangat, dia menyiapkan game dan banyak camilan untuknya dan Ice.

"Blaze, gue berangkat kerja paruh waktu dulu. Tolong masukin buku pr gue ke tas gue ya?" Halilintar sudah siap dengan seragam kerjanya.

Blaze hanya mengangguk sambil mengacungkan jempol pada abang kandungnya itu.

Halilintar tersenyum sekilas pada Ice yang terlihat murung. Ice menatap punggung Halilintar yang menghilang di balik pintu. Setelah mengetahui kenyataan bahwa mereka mungkin saja bersaudara, pandangan Ice terhadap Halilintar dan Blaze sedikit berubah.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang