12. Tiba-tiba berbeda.

217 37 11
                                    

Cahaya matahari pagi menerobos celah tirai yang tipis, menerpa wajah Ice yang masih tertidur pulas, dia terlihat damai sekali. Namun, kedamaian itu seketika sirna ketika getaran ponselnya di atas meja belajarnya. Mata Ice terbuka perlahan sembari melihat layar ponselnya, pupilnya membesar saat melihat deretan notifikasi dari Blaze. Napasnya tersenggal, keringat dingin membasahi dahinya. Dengan tangan gemetar, dia membaca layar menampilkan puluhan pesan dari Blaze, setiap kata bagaikan belati yang menusuk hatinya.

Ice berusaha duduk, tetapi tubuhnya terasa lemas. Pandangannya jatuh pada kamarnya yang berantakan. Buku-buku berserakan di meja belajar, dan debu menyelimuti seluruh ruangan. 

"Kenapa harus aku?" gumamnya lirih, suaranya serak. Ingatan tentang ancaman-ancaman Blaze kembali menghantuinya. Ia membayangkan dirinya dikejar oleh bayangan besar yang mengancam akan menghancurkan hidupnya.

Ice memejamkan mata sejenak, mencoba menghalau pikiran-pikiran buruk yang terus menghantuinya. Namun, getaran ponselnya yang tak kunjung berhenti membuatnya kembali ke kenyataan pahit. Dengan putus asa, ia membalas pesan-pesan itu dengan hati-hati agar tak membuat Blaze semakin murka.

Sedangkan di sisi lainnya, Blaze terlihat cemberut sambil mengobati pipinya yang luka lebam setelah dianiaya ayahnya, dia mengabaikan pesan balasan dari Ice karena kesal. Blaze juga membiarkan pecahan kaca berserakan di lantai rumahnya, dia tak berniat untuk membersihkan kekacauan yang dibuat oleh ayahnya.

"Lo ngapain udah balik kesini?" Blaze bertanya dengan nada sinis ketika melihat Halilintar pulang ke rumah.

Halilintar mengambil sapu dan kantung plastik untuk membersihkan pecahan kaca di rumahnya. "Bunda bentar lagi dibolehin pulang dari rumah sakit, gue cuma mau ngecek keadaan rumah sebelum bunda pulang," katanya.

Blaze berdecak kesal lalu berkata, "Enak banget lo hidup tenang di sana sambil nemenin bunda, sedangkan gue di sini sendirian nggak ada yang peduli."

Halilintar memunguti pecahan kaca yang berukuran besar sambil berkata, "Yang sopan lo kalau ngomong sama gue, gue ini abang lo."

"Ogah!" seru Blaze sambil meletakkan handuk basah ke dalam baskom.

"Bilangin ke bunda, gue nggak bakal ada di rumah selama beberapa hari," kata Blaze sambil membawa seragam SMA nya juga beberapa lembar uang di dalam tas sekolahnya.

Halilintar sengaja berdiri tepat di tengah pintu rumahnya untuk menghalangi Blaze. "Lo mau kemana?"

"Kemana aja, intinya kalau luka gue belum sembuh, gue nggak bakal pulang."

Blaze mendorong abangnya dengan kasar lalu segera naik ke atas motor Taufan, kakak kelasnya yang selalu membantunya. Halilintar hanya menghela napas setelah berpegangan pada tembok di sampingnya.

"Adik gue tenaganya gede banget," gumam halilintar lalu melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.

Blaze mengendarai motor Taufan hingga sampai di depan rumah milik Taufan. Taufan yang sudah terbiasa dengan tingkah adik kelasnya itu hanya tersenyum dan menyapanya seperti biasa. "Masuk aja."

Blaze mengangguk, kemudian masuk ke dalam rumah itu. Ia langsung menuju kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Air yang mengalir membasahi tubuhnya, sedikit meredakan amarahnya. Selesai mandi, Blaze keluar dari kamar mandi setelah memakai seragamnya.

Taufan yang baru saja selesai membuatkan teh untuk Blaze duduk di ruang tamu. "Nih, minum dulu. Lo kenapa sih kayak gini terus?" tanya Taufan sambil menyerahkan cangkir teh kepada Blaze.

Blaze menerima cangkir teh itu dan meneguknya perlahan. "Gue lagi nggak enak badan aja," jawabnya singkat.

Taufan menatap Blaze lekat-lekat. Ia tahu betul kalau alasan Blaze tidak enak badan adalah karena masalah keluarga. "Lo mau cerita nggak? Siapa tahu gue bisa bantu," tawar Taufan.

"Kagak perlu, gue kuat, bisa ngurus semuanya sendirian."

"Oooh, oke. Hp lo bunyi terus itu, nggak mau lo cek dulu gitu?" tanya Taufan sambil melirik ponselnya Blaze.

"Halah, ntaran aja. Nggak penting," kata Blaze sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Taufan mengangguk, dia berusaha tidak banyak bertanya soal masalah pribadi adik kelasnya itu. "Lo yakin masih mau sekolah hari ini?"

"Yakin, gue mau bully si Ice lagi kayak biasanya."

Mendengar jawaban Blaze yang seperti itu hanya membuat Taufan mengangguk paham, meskipun dia sedikit kasihan pada Ice, tetap saja Taufan membiarkannya.

Beberapa jam kemudian ....

Ice berusaha sekuat tenaga untuk fokus pada apa yang dia lakukan. Namun, bayangan ancaman Blaze terus menghantuinya. Setiap kali mendengar suara langkah kaki di koridor, jantungnya berdebar kencang. Ia takut bertemu dengan Blaze dan mendapat perlakuan buruk karena lupa membelikan hadiah untuk Blaze. Sementara itu, Blaze dengan lesu berjalan ke dalam kelas, dia langsung duduk di bangkunya.

"Blaze ... hadiahnya nanti waktu pulang sekolah aja ya!" seru Ice dengan panik, dia tersentak kaget sampai berdiri dari bangkunya ketika Blaze tiba-tiba sudah datang saat ia melamun.

"Hmmm," gumam Blaze, dia langsung tidur di kelas.

Ice menghela napas lega ketika melihat hal itu, dia segera mencari-cari keberadaan Gempa yang katanya izin mau pergi sebentar dari kelas.

"Gempa, tunggu!" panggil Ice.

Gempa menoleh dan tersenyum tipis. "Ada apa, Ice?" tanyanya.

"Kamu bisa bantuin aku nggak? Aku mau beliin jaket buat Blaze, tapi belum sempat. Kamu mau bareng nggak ke toko dekat sekolah?" tanya Ice dengan wajah memohon.

Gempa mengerutkan keningnya. "Blaze? Kenapa kamu tiba-tiba beliin dia sesuatu?"

"Jangan tanya kenapa. Pokoknya bantuin aku ya, Gempa?" pinta Ice lagi.

Gempa menghela napas. "Ya udah, ayo!"

Mereka berdua berjalan cepat menuju toko pakaian. Sesampainya di sana, Ice langsung mencari-cari jaket yang menurutnya cocok untuk Blaze. Setelah menemukan jaket yang cocok, Ice segera membayarnya.

"Makasih banyak ya, Gempa," ucap Ice sambil tersenyum lega.

"Sama-sama."

Gempa tidak menanyakan apapun lagi pada Ice karena melihat teman sekelasnya itu panik membuatnya jadi kasihan. Setelah membeli jaket, mereka berdua kembali ke sekolah. Sesampainya di kelas, Ice segera memberikan jaket itu kepada Blaze.

"Ini, hadiah yang kamu minta," ucap Ice sambil menyerahkan jaket itu.

Blaze yang awalnya masih tidur, langsung terbangun ketika mendengar suara bel masuk berbunyi bersamaan dengan Ice yang memberikannya jaket baru.

"Lumayanlah, lain kali beliin yang lebih banyak lagi dong, jangan jaket doang. Uang lo kan banyak," kata Blaze sambil meletakkan jaket itu di dalam laci mejanya.

Ice hanya bisa mengangguk patuh, untuk saat ini Blaze belum menunjukkan tanda-tanda akan kasar padanya, jadi dia bisa merasa tenang. Suasana kelas yang biasanya riuh dengan canda tawa dan suara-suara bising, kini terasa sedikit berbeda. Sejak pagi, Blaze terlihat pucat dan lesu. Tatapan matanya kosong, seakan memikirkan sesuatu yang membuatnya gelisah. Perilaku Blaze yang biasanya suka mengganggu Ice dan teman-teman sekelasnya juga terlihat berubah. Dia lebih sering menyendiri di sudut kelas, tidak banyak bicara, dan terlihat murung.

Hal ini membuat teman-teman sekelas mereka penasaran. Beberapa dari mereka bahkan mencoba mendekati Blaze untuk menanyakan keadaannya, tetapi Blaze hanya menjawab dengan singkat. 

Bersambung.

Lanjut? hei kalian ada yang inget namanya ortu blaze gak? lupa namanya

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang