2. Blaze

576 54 0
                                    

Blaze mencondongkan tubuhnya ke arah Ice, wajahnya dihiasi senyum miring yang menyebalkan. “Lo tau kan, Ice? Gue bisa ngelakuin apa aja ke Lo di sekolah ini. Nggak ada yang berani ganggu gue, dan kalo gue mau, gue bisa bikin hidup Lo di sekolah ini jadi neraka.”

Ice menelan ludah dengan gugup. Dia tahu ancaman Blaze bukan hanya gertakan saja. Dia pernah melihat Blaze memukuli murid lain di taman belakang sekolah, dan dia tidak ingin menjadi korban berikutnya.

“J-jangan ganggu Aku,” gumam Ice, suaranya bergetar ketakutan.

Blaze tertawa kecil. “Gue nggak akan ganggu Lo kalau Lo nurut sama Gue. Kerjain semua tugas Gue, temenin Gue kalau Gue lagi bosen, dan jangan berani-berani nolak perintah Gue.”

Ice menundukkan kepalanya, tak berani menatap Blaze.

“Oke,” bisik Ice, suaranya hampir tak terdengar.

Blaze menepuk pundak Ice dengan kasar. “Bagus. Sekarang, ayo ke kantin, Gue lapar.”

Ice terpaksa bangun dari kursinya dan mengikuti Blaze ke kantin. Sepanjang perjalanan, dia terus diliputi rasa takut dan cemas. Dia tak tahu apa yang menantikannya di masa depan, tapi yang pasti, hidupnya di sekolah ini tak akan pernah sama lagi.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Ice. Blaze terus menerus memerintahnya, memaksanya mengerjakan tugasnya, dan bahkan mengganggunya di depan teman-teman sekelasnya.

Saat Ice sedang duduk sendirian di perpustakaan, Blaze datang menghampirinya. Dia melemparkan sebuah buku ke meja Ice dan berkata, “Kerjain tugas Gue ini, Ice. Gue mau nge-game sama temen-temen Gue.”

“A-aku gak bisa, Blaze. Ini terlalu sulit,” kata Ice dengan ragu.

Blaze mendelik tajam ke arah Ice. “Lo nggak boleh bilang nggak bisa sama Gue! Kerjain sekarang, atau Gue bakal bikin Lo menyesal!”

Setelah itu, Blaze pergi main game bersama dengan temannya.

Gempa yang ada di dalam perpustakaan melihat Ice murung mendekatinya. “Ada apa Ice?”

Ice memperlihatkan tugas Blaze pada Gempa. “Ini terlalu sulit, Gempa. Aku nggak yakin bisa menyelesaikannya.”

Gempa mengambil buku dari tangan Ice dan melihatnya sekilas. “Ini memang sulit, tapi bukan berarti kamu nggak bisa. Ayo, kita kerjain bareng-bareng!”

Ice merasa ragu, dia menganggukkan kepalanya pelan. Gempa dan Ice pun mulai mengerjakan tugas matematika itu bersama-sama.

Gempa dengan sabar menjelaskan setiap langkahnya, dan Ice berusaha sekuat tenaga untuk memahami penjelasan Gempa. Perlahan tapi pasti, mereka mulai menyelesaikan tugas itu.

Blaze yang tadinya asyik bermain game dengan teman-temannya, akhirnya menyadari bahwa Ice sudah tidak ada di dekatnya. Dia pun mencarinya dan menemukan mereka berada di sudut ruang perpustakaan.

Blaze melihat Gempa dan Ice yang sedang mengerjakan tugas matematika bersama-sama. Dia merasa kesal dan marah. Dia tidak suka melihat Ice dibantu oleh orang lain.

“Hey! Apa yang kalian lakuin?” Blaze berteriak dengan marah.

Gempa dan Ice menoleh ke arah Blaze. Gempa menatap Blaze dengan tatapan tajam. “Kami ngerjain tugas,” jawab Gempa dengan tenang.

“Tugas gue! Kenapa Ice nggak ngerjain tugas Gue sendirian?” tanya Blaze dengan nada kesal.

"Ice nggak bisa ngerjain tugas itu sendirian. Dia butuh bantuan," jelas Gempa.

Blaze tidak terima dengan jawaban Gempa. Dia maju ke arah Ice dan berusaha menarik Ice agar mengikutinya. “Nggak usah sok-sokan ngebantu! Ice, kerjain tugas Gue sendirian sekarang!”

Ice terkejut dan ketakutan. Dia mencengkeram erat buku itu dan menggelengkan kepalanya. “Nggak! Aku nggak mau ngerjain tugasmu sendirian!”

“Ice.” Suara Blaze yang nadanya ditekan itu membuat Ice tanpa sadar menurut.

Dia mengikuti langkah kaki Blaze, sebelum pergi, dia menoleh ke belakang dan mengucapkan terima kasih pada Gempa.

Bel pulang sekolah berbunyi, para murid berhamburan keluar dari kelas. Ada yang buru-buru pulang ke rumah, juga pergi ke warteg di dekat sekolah.

Blaze termasuk golongan murid yang cepat-cepat pulang ke rumahnya. Sebelum pulang dia sempat memberikan semua tugas sekolahnya pada Ice.

Blaze mengancam. “Besok harus udah selesai, kalau belum selesai, Gue bakal marah.”

Ice hanya mengangguk dengan patuh. Setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya di rumah, Blaze mengucap salam. Melihat rumah yang berantakan dengan pecahan beling di mana-mana membuatnya stres.

Dia membersihkan pecahan beling dan membuangnya ke tempat sampah. Setelah itu, tak lupa ia membersihkan serpihan debu dari kaca yang pecah.

Blaze mengganti seragam sekolahnya dengan kaos berwarna merah dan celana hitam selutut.

“Bagi duit!” Suara itu milik ayahnya Blaze.

Blaze tersentak, lamunannya buyar ketika sang ayah datang hanya untuk meminta uang padanya. Dia berdecak kesal, meski tak suka pada ayahnya, Blaze tetap memberikan uang pada sang ayah.

“Kok cuma segini?” tanya sang ayah, dia menarik kasar tangan anaknya.

“Adanya cuma segitu,” balas Blaze dengan nada datar.

“Pasti Lo nyembunyiin duitnya lagi kan?”

Blaze gelagapan, dia menggeleng dengan cepat. “Gaji kerja paruh waktu emang segitu doang,” katanya dengan panik ketika sang ayah membuat isi tas Blaze berantakan.

“Ini apa?” Ayahnya Blaze menunjukkan uang yang disembunyikan di dalam bukunya.

“Berani lagi Lo bohongin Gue, ibu Lo yang penyakitan itu bakal mati ditangan Gue!” bentaknya pada Blaze.

Blaze jatuh terduduk ketika didorong ayahnya. Blaze hanya bisa mengumpat dalam hati karena uang untuk beli obat ibunya dirampas sang ayah.

Bersambung.

Lanjut?

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang