"Kamu mau dengar latar belakang tentang Jammy Alviano, nggak?"
"Nggak. Buat apa?"
Pak Hasan menghela nafas lelah setelah mendengar ucapan yang sangat menyebalkan dari Nanda itu. Padahal, Pak Hasan akan dengan senang hati menjelaskan semua informasi yang ia dapatkan tentang Jamal kepada Nanda. Bagi Pak Hasan, untuk mengetahui cara yang tepat menjatuhkan lawan kita, maka yang harus kita ketahui terlebih dahulu adalah latar belakangnya.
Terkadang, terbentuknya karakter seseorang itu pasti dilatar belakangi oleh kisah masa kecilnya atau lingkungan pergaulannya, cara orang tuanya mendidiknya.
Tidak ada asap kalau tidak ada api.
Maka, Pak Hasan harus mencaritahu siapa yang menimbulkan api ini. Apakah memang orangnya sendiri yang sengaja memercikkan api, atau justru ada orang lain yang menyebabkan api itu muncul?
"Yakin kamu nggak mau tahu?" tanya Pak Hasan ke Nanda yang asyik sendiri memperhatikan kukunya yang mulai panjang.
"Saya lebih mau tahu berapa lama saya berada di sini."
Pak Hasan lagi-lagi menghela nafasnya.
Memang sulit berbicara dengan anaknya Darma Graciano ini.
"Sampai ayah kamu nyuruh saya buat bebasin kamu. Jadi, untuk saat ini, kamu diem aja di sini. Nanti saya jemput kalau sudah waktunya" ucap Pak Hasan yang membuat Nanda menatap kesal ke pak tua itu.
"Kok gitu, sih pak? Saya tuh maunya bebas sekarang! Bilang sama ayah, kalau dia nggak mau bebasin saya sekarang juga, bakalan saya hajar satu per satu orang di penjara ini!"
Pak Hasan memijit pangkal hidungnya karena mendengar ancaman Nanda yang sepertinya akan sangat merepotkannya kalau benar-benar terjadi.
Kenapa ayah dan anak ini sama-sama tidak bisa membiarkan hidupnya dengan tenang? Masalah yang mereka timbulkan selalu saja merontokkan beberapa helai rambutnya.
"Kamu kira penjara ini acara tinju? Sudah, kamu diam aja di sini. Nanti saya jemput!"
"Nggak maaauuuuuu. Bapak, saya tuh mau ketemu sama teman-teman sayaa, saya kangen sama merekaaa."
Pak Hasan berdecak.
"Halah! Paling yang kamu kangenin cuma Renjana. Sudah, saya sibuk!" gerutu Pak Hasan, dia menatap sipir yang berdiri di dekat pintu.
"Kamu, jangan macam-macam sama Nanda. Saya tahu ya kamu itu mata-matanya Jammy. Kamu mencoba nyakitin Nanda, leher kamu yang saya potong, paham?"
Dan sipir itu hanya bisa meneguk ludahnya dengan gugup sambil menyentuh lehernya.
Dia tidak bisa membayangkan kalau lehernya benar-benar dipotong.
Sepertinya, rumor tentang Pak Hasan mantan preman itu memang benar.
***
Janu hanya menundukkan kepala dan tidak sekali pun membuka mulutnya walaupun saat ini Janu sudah duduk di depan orang tuanya yang juga ikut membisu seperti Janu.
Walaupun Janu lega karena dia tidak jadi bertanggung jawab dan orang tuanya tahu bahwa Janu ternyata tidak sebejat itu, tetap saja hati kecilnya terluka karena terus terbayang bagaimana sang ayah tidak sekali pun percaya kepadanya dan lebih mendengarkan ucapan Kirana.
Mungkin, kalau tidak ada campur tangan dari ayahnya Nanda, bisa saja Janu tetap dipaksa menikahi Kirana walaupun sebenarnya bukan Janu yang menghamili gadis itu.
Janu sangat tahu bagaimana sifat ayahnya. Dia sangat menjunjung tinggi yang namanya tanggung jawab, dan tentu saja sang ayah tidak mau Janu mendapatkan gosip buruk lalu terdengar oleh keluarga besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[FF NCT DREAM] Teduh
Fanfiction*Lanjutan dari cerita Tempat Untuk Pulang* Tujuh pemuda yang melanjutkan hidup mereka dengan tenang di rumah dua lantai. Namun, namanya hidup, walaupun kita ingin hidup bahagia, tentu saja akan ada cobaan yang menyertai. 1. Mark Lee as Mada Cazim 2...