Chapter 64

630 110 14
                                    

Suara tangisan itu tidak Renjana dengar lagi dari Jamal.

Sepertinya, dia terlalu asyik melamun sehingga dia tidak menyadari bahwa sudah cukup lama Jamal menghentikan tangisnya dan sekarang yang tersisa hanyalah sesenggukan saja.

Renjana juga tidak terlalu memusingkan tangannya yang sampai berkeringat karena digenggam oleh Jamal.

Dia sekarang malah menemukan kegiatan lain, yaitu menghitung jumlah awan di langit.

Renjana berada di tahap di mana, dia sudah tidak terlalu memperdulikan apa yang dirasakan oleh Jamal. Dia sudah muak berempati dan bersimpati dengan perasaan orang lain, terlebih orang ini adalah Jamal.

Seseorang yang pada awalnya Renjana pikir adalah sosok yang baik dan begitu mengerti dengan keadaan tujuh anak bujang yang tinggal di rumah dua lantai miliknya. Mengingat, Jamal begitu perhatian kepada mereka dan selalu memberikan nasihat serta ucapan manis ke mereka bertujuh.

Renjana sampai berpikir, apakah semua orang yang selama ini tulus kepadanya memang memiliki tujuan sendiri supaya orang-orang itu bisa memanfaatkannya?

Apakah selama ini, Renjana sudah sia-sia menjadi seseorang yang baik?

Kenapa ketika dia berbuat baik ke orang lain, orang lain itu malah jahat kepadanya?

Memanfaatkan kebaikannya?

Memanfaatkan ketakutannya?

Apakah selama ini, anak-anak tulus berteman sama aku? Apakah mereka benar-benar baik ke aku atau justru mereka mempunyai tujuan tersendiri sehingga mereka baik ke aku?

Binar di mata anak itu semakin redup.

Apa aku  memang semenyedihkan itu?

"Kamu pernah kehilangan seseorang, Renjana?"

Bahkan, mendengar suara Jamal pun dia sudah muak.

Renjana tidak menoleh, dia hanya melihat pemandangan di luar jendela. Menghitung awan adalah kegiatan yang lebih menyenangkan dari pada melihat ke arah Jamal.

"Aku yatim piatu dan abang masih bertanya juga?"

Hening itu terasa sangat berat. Mungkin, kalah berat dari gulungan baja.

Renjana sampai kesulitan menarik nafasnya karena keheningan di antara mereka begitu mencekik.

"Abang berbuat sejauh ini, karena abang tidak mau merasakan kehilangan lagi."

"Abang sudah kehilangan ibu, ayah, Kian, dan abang tidak mau kecolongan. Kali ini, abang berusaha supaya abang bisa merasakan apa itu bahagia."

Renjana menghela nafas lelah, dia perlahan melepas tangannya yang digenggam Jamal, dia pun menoleh dan mendapati keadaan Jamal yang menyedihkan.

Tapi, semenyedihkannya Jamal, tetap saja Renjana merasa bahwa dia sendiri adalah manusia paling menyedihkan di dunia.

Kehilangan orang tua.

Dibesarkan oleh om dan tante yang jahat.

Kebaikannya selalu dimanfaatkan.

Dihajar oleh seseorang yang masih menyimpan dendam ke orang tuanya.

Dan yang terakhir, Jamal.

Kalau hidupnya hanya merasakan penderitaan, lalu kenapa Tuhan membiarkan dia terlahir di dunia?

"Aku juga pernah merasakan kehilangan, brengsek. Tapi, aku nggak melakukan hal gila seperti yang kamu lakukan saat ini."

Renjana menatap lekat Jamal yang tertegun mendengar suara dingin dan berat milik Renjana.

[FF NCT DREAM] TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang