68. Dua Bersaudara

123 20 4
                                    

"Kakak takut. Takut kamu trauma dan kepikiran. Kepikiran kalau dulu mamah meninggal juga karena gagal ginjal," ungkap Kai seraya menunduk. Ketakutannya selama ini akhirnya terucap di hadapan adik yang sangat ia sayangi itu.

Kai tidak ingin Nara sedih terlalu larut jika sejak awal mengetahui kalau ia menderita penyakit yang sama dengan mendiang ibu mereka. Maka dari itu, Kai memilih untuk menyembunyikannya saja bersama Rama. Namun, pada akhirnya semesta menginginkan adik semata wayangnya itu mengetahui penyakitnya. Sadar melihat kesedihan pada raut wajah kakaknya itu, Nara bersandar pada tubuh Kai. Tangannya menyentuh punggung tangan Kai dan mengusapnya lembut.

"Kak, aku bakal lebih trauma kalau terjadi sesuatu yang buruk sama kakak, dan aku adalah orang yang enggak tahu tentang hal itu," hibur Nara.

"Jadi aku minta tolong mulai detik ini, kakak jangan pernah ada hal yang dirahasiain dari aku lagi ya?" ucap Nara seraya mengacungkan jari kelingkingnya. Berharap Kai mau membuat janji sesuai dengan permintaannya.

Kai menatap wajah adiknya sejenak. Lantas, tersenyum kecil. "Ya, Kakak janji."

Kai kemudian mengusap lembut pundak adiknya yang tengah bersandar pada dirinya. Setelah kepergian belahan jiwanya, kini Kai memiliki belahan jiwa lain yang mesti ia jaga. Nara, adalah salah satu anugerah dari semesta yang membuatnya memiliki alasan untuk tetap hidup. Bahkan, ia ingin hidup 10 tahun lagi, 20 tahun lagi atau 100 tahun lagi di samping Nara.

Ia ingin melihat bagaimana Nara lulus dari SMA. Mengantar Nara ke tempat ujian masuk perguruan tinggi. Melihat Nara lulus dari perguruan tinggi. Mengantar Nara ke tempat kerja untuk pertama kalinya. Melihat Nara meraih impiannya. Dan pada akhirnya melihat Nara, menikahi dengan laki-lakinya yang sangat dicintainya. Ternyata, seberharga itu Nara pada kehidupan Kai. Mungkin, karena mereka hanya dua bersaudara, jadi mereka mengandalkan satu sama lain.

Kai kembali teringat oleh kisah Bintang dan Langit yang diceritakan oleh Nara. Awalnya ia tidak menyangka kejadian seperti itu bisa terjadi di dunia nyata. Namun, semakin ia berpikir, semakin Kai sedikit menduga-duga apa yang terjadi. "Padahal, kalau dua bersaudara, cuma bisa ngandelin satu sama lain bukan? Tapi sepertinya beda kalau di kisah Bintang ya?" tanya Kai penasaran.

"Aku juga gak ngerti, Kak. Kenapa Langit ngelakuin itu ke Bintang," jawab Nara tertunduk sedih.

"Nar, kita gak pernah tau apa yang udah Langit alamin sampai di titik ini. Kita gak pernah tau apa yang udah Langit derita sampai saat ini," ungkap Kai.

Ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Kakak cuma bisa berharap, Bintang dan Langit bisa nyelesaian semuanya dan kembali bersatu. Karena seberat apapun hidup, keluarga tetaplah keluarga," sambung Kai.

***

Nara duduk di sebuah bangku panjang dengan meja yang sama panjangnya di depannya. Ia tersenyum kecil melihat sebuah paperbag yang ia bawa di atas meja di depannya. Sesekali, ia juga melihat sekelilingnya. Dimana ada beberapa orang terdekat, entah keluarga atau pasangan atau mungkin hanya sekedar rekan yang sedang menunggu sepertinya.

"Nar, lo yakin? Kita masih ada waktu buat pergi, kalau lo berubah pikiran," tanya Adam yang duduk di samping Nara dengan raut wajah sedikit gelisah. Nara menoleh dan menatap Adam. Lalu ia menggeleng pelan. "Gue gak berubah pikiran kok. Kita udah sampe sini loh?" jawab Nara dengan percaya diri.

Adam hanya bisa tertunduk lemas. Sejujurnya, kalau boleh berkomentar, ia sangat tidak mengerti dengan apa yang sudah direncanakan Nara sekarang. Namun, satu hal yang pasti, ia merasa bertanggungjawab pada Nara, selama Bintang belum sadar. Jadi apapun rencana Nara, ia berjanji akan selalu mendukung dan menemani Nara. 

WHATEVER, I'M STILL WITH UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang