Neraka Hitam Jilid 4

3.3K 48 2
                                    

Mendengar perkataan itu, Hoa In liong berpikir di dalam hati:
"Gembong iblis ini tak sudi mengandalkan jumlah banyak untuk meraih kemenang an, diapun enggan menunggangi kesempatan dikala orang lagi kesulitan, jiwa gagah semacam ini sungguh amat sulit dijumpai dalam kalangan kaum sesat macam dia."
Gerakan tubuh Seng To-cu benar benar amat cepat seperti terbang, sekalipun Hoa In liong telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, itupun hanya bisa mengi kuti secara paksa.
Dengan dasar ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu, tak selang beberapa saat kemudian mereka telah melewati tebing itu dan tiba di sebuah hutan bambu, setelah menerobosi hutan bambu sam pailah mereka disebuah tanah kosong, diatas tanah kosong berdiri sebuah rumah gubuk.
Tiba tiba Seng To cu menghentikan langkahnya, sambil berpaling ia berkata:
"Jalan darah mereka dalam keadaan terto tok dan berada dalam rumah itu, lohu akan menanti kedatangan dipuncak bukit sana!"
Selesai berkata, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi ia lantas berlalu dari situ.
Hoa In liong termenung sejenak, akhirnya ia mendekati rumah gubuk itu, mendorong
pintunya dan......."Krek!" pintu rumah terbentang lebar.
Suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tapi dengan ketajaman mata, Hoa In liong masih dapat melihatnya dengan jelas.
Rumah itu terdiri dari sebuah ruangan tengah, diruangan itu hanya terdapat sebuah meja dengan dua buah kursi, d sudut dinding terletak sebuah pembaringan kayu, diatas pembaringan berbaring dua sosok tubuh manusia.......
Orang yang berbaring di sebelah luar adalah Si Leng jin, bibirnya yang mungil, hidungnya yang man cung menambah kecantikan raut wajahnya.
Meskipun ia dalam keadaan berbaring, sepasang biji matanya yang bening dan jeli sedang meman dang kearah luar dengan termangu-mangu,
tampak nya dia pun sudah mendengar suara napas manusia, biji matanya tampak berputar putar.
Orang yang berbaring menghadap ke dalam adalah Si Nio yang mukanya penuh dengan luka, ia berada dalam keadaan pulas.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Hoa In-li ong berjalan mendekatinya, lalu tangannya ditepuk diatas jalan darah Thian leng hiat ditubuh Si Leng jin untuk membebaskan jalan darahnya yang ter-totok.
Si Leng-jin segera merasakan segulung hawa panas mengalir turun lewat jalan darah Pek-hwe hiat, dimanca aliran hawa panas itu mengalir lewat, se luruh tubuhnya menjadi segar dan semua jalan da rah yang tertotok secara otomatis bebas dengan sendirinya.
Gadis itu segera melejit bangun dan duduk ditepi pembaringan
Dengan terbiasanya berada diruang gelap, lamat-lamat gadis itu dapat pula menyaksikan bentuk tu buh Hoa In liong, seketika itu juga perasaannya te rasa tersumbat, seakan akan ada beribu kata terkandung dalam hatinya namun tak sepatah kata-pun sanggup diutarakan keluar, mukanya termangu-mangu persis seperti seseorang yang baru sadar da ri impian.
Menyaksikan keadaan dara itu Hoa In liong se gera menghela napas panjang, katanya:
"Nona apa yang kau rasakan sekarang?"
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba butiran air mata jatuh berlinang dari mata Si Leng jin.
Hoa In Hong segera berpikir:
"Sudah pasti kedua orang ini mempunyai penga laman hidup yang amat getir, apalagi setelah bertemu dengan gembong iblis macam Seng To cu, tentunya banyak sudah pengalaman seram yang di
rasakan........"
Berpikir sampai disana, timbul perasaan iba dan kasihannya dengan lembut ia berkata:
"Pertolonganku datang agak lambat tentunya nona sudah banyak mengalami keja dian yang mengejutkan hati"
"Hoa kongcu......" bisiknya.
Untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti diucapkan, air mata bercucuran amat de ras, kalau bisa ia ingin menangis sepuasnya
Tapi dia adalah seorang gadis yang berha ti sekeras baja, air matanya segera dibesut dan ia berusaha keras untuk menahan rasa pe dih didalam hatinya.
Mendadak Hoa In liong teringat kembali akan janjinya dengan Seng To-cu, hatinya me rasa amat terkejut, ia merasa sudah membuang waktu terlalu lama, pikirnya:
Dalam pertarunganku melawan Seng To cu sembilan puluh persen jiwaku tiada harapan bisa selamat, padahal obat Yau-ti-wan ini me nyangkut jiwa dari beribu-ribu orang jago du nia persilatan, aku harus mengatur segala sesuatunya secara tepat.
Berpikir sampai disitu, dengan wajah seri us ia lantas berkata:
"Nona Si, aku ada satu persoalan ingin minta tolong kepadamu, apakah kau bersedia membantu?"
"Kongcu ada pesan apa?" tanya Si Leng-jin dengan air mata bercucuran.
"Sesungguhnya persoalan ini menyangkut
mati hidupnya seluruh dunia persilatan......"
Mendadak ia berhenti ditengah jalan, pikir nya kembali:
"Ilmu silat yang dimiliki Si Leng-jin tidak terlalu tinggi, kalau suruh dia yang membawa pusaka ini rasanya terlampau berbahaya......"
Rupanya Si Leng jin dapat menduga jalan pemikiran pemuda itu, segera ujarnya:
"Kalau Kongcu dapat mempercayai diriku apa yang kau pesankan pasti akan kulakukan dengan sebaik-baiknya"
Setelah berhenti sejenak ia menyambung, "Cuma ilmu silatku amat cetek, aku kuatir tak dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya"
Hoa In liong segera tersenyum, ia telah mengambil keputusan didalam hati, sambil mengeluarkan botol porselen yang berisi pil Yan ti-wan itu dan menyerahkan kepada Si Leng-jin, ia berpesan:
"Isi botol porselen ini adalah obat mustinya, dari sini harap nona menuju ke barat dan melewati dua buah bukit, diujung sebuah lembah terdapat sebuah gua yang tertutup oleh tumbuhan rotan, temuilah Thian Ik cu........."
"Thian Ik cu?" seru Si Leng jin dengan wajah terkejut.
"Harap nona jangan kaget, kini Thian Ik cu sudah bertobat dan kembali ke jalan yang benar!" Mendengar jawaban tersebut, Si Leng jin tertegun sejenak, kemudian katanya pula:
"Kalau toh cuma sedekat ini, kenapa Hoa kongcu tidak menyerahkan sendiri kepada Thian Ik cu?"
Hoa In liong tertawa-tawa.
"Saat ini pihak Seng sut pay sedang melakukan penggeledahan bukit secara besar-besaran, nona musti bertindak hati-hati, andaikata Thian Ik cu tidak berhasil ditemukan, mintalah tolong kepa da temanku untuk mencarinya sampai ketemu!"
Selesai berkata dia letakan botol porselen itu ke tanah, lalu pedang pendek Si Leng jin ikut pula diletakkan disana, sehabis menotok bebas jalan darah Si Nio, ia melompat keluar dari rumah, menerobosi hutan bambu dan berangkat ke puncak bukit.
Kendatipun tingkah laku pemuda itu tetap tenang dan wajar, toh Si Leng jin merasakan juga sesuatu yang tak beres, dia segera memburu keluar rumah, kemudian teriaknya keras-keras:
"Hoa kongcu!"
"Harap nona baik-baik menjaga diri!" seru Hoa In liong kedengaran dari kejauhan.
Si Leng jin merasa tertegun, dengan cepat ia memburu ke dalam rumah, menyambar botol porselen itu dan masukkan ke sakunya, lalu menyelipkan pedangnya ke pinggang dan siap keluar lagi dari rumah itu.
Mendadak ia batalkan niatnya itu, sambil berpaling diawasinya Si Nio sekejap, ketika dilihatnya perempuan itu masih tertidur pulas, butiran air mata jatuh berlinang membasahi pipi Si Leng jin, gumamnya dengan suara lirih:
"Selama banyak waktu ini, aku betul-betul telah menyiksa dirimu......"
Akhirnya sambil menggertak gigi, ia melompat keluar dari rumah gubuk itu dan berangkat kearah dimana Hoa In liong berlalu.
Sementara itu Hoa In liong telah berlarian menuju kepuncak bukit dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, tak selang seperminuman teh kemudian ia sudah tiba ditempat tujuan.
Dengan sikap yang mengerikan seperti sesosok sukma gentayangan, Seng To cu berdiri diatas puncak, sekalipun disekelilingnya sangat
indah, tapi dengan kehadirannya disana membuat suasana puncak tersebut seakan-akan diliputi selapis hawa setan, membuat siapapun merasa bergidik.
"Maaf kalau kau harus menunggu agak lama!" katanya.
Seng To cu memicingkan matanya.
"Lohu sedang heran kenapa begitu cepat kau sudah datang kemari. Sudah kau atur baik-baik kekasihmu itu?" katanya.
Hoa In liong menjadi meringis ketika melihat orang itu salah mengira Si Leng jin sebagai kekasihnya, namun diapun enggan memberi penjelasan, maka sambil ulapkan tangannya, ia berkata:
Lebih baik tak usah membicarakan hal yang bukan-bukan, bila kau ingin mencoba kelihaiyan dari ilmu silat Liok-soat-san-ceng kami, sekarang sudah boleh dimulai.
Pedangnya lantas dicabut keluar dan dilintangkan didepan dada, sekokoh batu karang ia berdiri disana, dalam waktu singkat semua masalah tentang rejeki atau bencana, mati atau hidup tersapu lenyap dari benaknya, apa yang dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya mempertahankan diri serta bagaimana caranya merobohkan musuh.
Seng To cu tak berani memandang enteng musuhnya, sepasang mata yang biasanya di pejamkan rapat-rapat kini mencorong sinar yang tajam sekali.
Seketika itu juga kabut pertarungan menyelimuti seluruh puncak bukit tersebut.
Mendadak Hoa In liong membentak keras, pedangnya digetarkan dan hawa pedang memancar melancarkan serangannya yang pertama.
Serangan ini cukup dahsyat dan mematikan, andaikata orang tak berilmu tinggi niscaya akan terluka diujung senjatanya.
Bocah muda, belum terhitung hebat ilmu pedangmu itu!"
Sambil maju kemuka dia melepaskan sebuah serangan hebat, seakan-akan ia sama sekali tak terpengaruh oleh kehebatan ilmu pedang lawan.
Siapa tahu, ketika pedang itu sampai, ditengah jalan mendadak hawa pedangnya sirap, kemudian tanpa menimbulkan sedikit suara pun mengancam pinggang orang itu.
Seng To cu amat terkejut, buru-buru ia tarik nafas panjang tanpa berkutik lain sambil bergeser tiga depa kesamping, pujinya:
"Bocah muda! Kau memang pantas melangsungkan pertarungan melawan diriku"
"Kau terlampau menilai tinggi dirimu sendiri!" dengus Hoa In liong.
Sementara dihati kecilnya ia berpikir:
Tenaga dalam yang dimiliki gembong iblis Ini memang betul-betul hebat sekali hanya mengandalkan tarikan nafas saja tubuhnya dapat bergeser tempat, bahkan sempat berbicara juga, aku tak boleh menilai terlalu rendah musuhku yang ini.
Setelah berlangsungnya pertarungan pertama, kedua belah pihak sama-sama telah mengetahui kehebatan dari ilmu silat masing-masing, hal ini menambah semangat bagi kedua belah pihak untuk melangsungkan pertarungan lebih jauh.
Setelah dipaksa berada diposisi bawah angin, Seng To cu merasa penasaran sekali, timbul rasa ingin menang dihatinya, sambil mendengus ia menerjang kemuka sambil melepaskan pukulan.
Dalam sekejap mata, suatu pertarungan sengit yang jarang terjadi dalam dunia persilatan pun berlangsung dengan serunya. Setelah sepuluh jurus lewat, Hoa In liong, mulai terdesak dibawah angin,
melihat posisinya ini, pemuda itu segera mengambil pedang, dimainkan sedemikian rupa sehingga menciptakan selapis dinding baja yang airpun tak tembus, sementara tiap kali ada kesempatan ia melancarkan serangan balasan.
Tujuh delapan puluh jurus serangan telah dilancarkan Seng To cu. akan tetapi dia belum berhasil juga mengalahkan Hoa In liong, hal ini menimbulkan perasaan malu dalam hatinya.
Ia merasa dengan usianya sekarang, andai kata dalam seratus gebrakan tidak berhasil mengalahkan anaknya Hoa Thian-hong, maka peristiwa ini akan sangat mempengaruhi nama baiknya,
Berpikir demikian, tiba-tiba serunya:
"Hoa Yang, dalam sepuluh jurus lohu akan mengalahkan dirimu!"
Ditengah pembicaraan tiba-tiba serangan nya berubah, ia bergerak mengitari disekeliling badan Hoa In liong, sepasang telapak ta ngannya diayunkan berulang kali menghantam tempat-tempat kosong disekeliling tubuh si anak muda itu.
Hoa In liong tidak habis mengerti dengan tindakan-nya itu, namun ia tak berani bertindak gegabah, sebaliknya pertahanan disekitar tubuhnya malahan diperketat.
Sungguh hebat tenaga dalam yang dimiliki seng To cu, dalam waktu singkat ia sudah mengitari anak muda itu sebanyak dua tiga puluh kali lingkaran, kemudian tubuhnya menerobos keposisi tiong-kiong dan sebuah pukulan segera dilontarkan kedepan.
Hoi In liong memutar pedang antiknya membacok kebawah, tapi dengan cepat ia merasakan sekeliling tubuhnya seakan-akan telah membeku, bacokan pedangnya yang mengarah tubuh lawan pun segera meleset kesamping.
Pertarungan antara jago lihay mana boleh meleset seincipun? Terdengar Seng To cu tertawa terkekeh-kekeh, sebuah pukulan dahsyat segera di lontarkan ke dada lawan.
Sesungguhnya serangan ini sulit sekali untuk di hindari, untungnya Hoa In liong cerdas dan ilmu silatnya sudah mencapai kesempurnaan, apalagi pengalamannya yang cukup selama berkelana dalam dunia persilatan, membuat ia tidak panik dalam menghadapi bahaya maut.
Dalam keadaan kritis, telapak tangan kirinya diayun ke depan menyongsong datangnya ancaman tersebut.
"Plaak.....!" sepasang telapak tanpanrya segera menempel antara yang satu dengan lainnya.
Tujuan Seng To cu yang sebenarnya memang demikian, maka serentak hawa murninya disalurkan keluar dengan dahsyatnya untuk menerjang tubuh Hoa In liong.
Buru-buru si anak muda itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk melakukan perlawanan sementara pedang ditangan kanannya langsung membacok ke bawah.
Seng To Cu bergerak cepat, tangan kirinya segera diayun ke depan untuk mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Hoa In liong.
Telapak tangan kiri Hoa In liong yang digunakan untuk melawan tekanan hawa murni dari Seng To cu hampir telah mempergunakan segenap kekuatan-nya, karena keadaan terdesak terpaksa ia membuang pedangnya dan berganti menotok jalan darah tay-ciu-hiat pada belakang telapak tangan Seng To cu.
Sebelum pedang yang terjatuh mencapai tanah, ke dua orang itu sudah melangsungkan pertarungan sebanyak empat lima jurus dengan menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya.
Harus diketahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki Seng To cu jauh lebih hebat dibandingkan Hoa In liong, hal ini sudah merupakan kenyataan yang terbukti, sudah barang tentu Hoa In liong yang me ngetahui kelemahannya berusaha keras untuk menghindari suatu pertarungan beradu kekuatan, sayang posisi Seng To cu berada diatas angin, sehingga mau tak mau mereka harus menempelkan kembali sepasang telapak tangannya untuk beradu tenaga.
Betapa girangnya Seng To cu karena niatnya tercapai, segenap kekuatan tubuhnya segera dikerahkan keluar dengan maksud untuk membinasakan anak muda itu dalam sekali pukulan, siapa tahu tiba-ti ba ia merasakan hawa murninya tergelincir kearah samping lain hilang lenyap tak berbekas.
Kejadian ini sangat mengejutkan hatinya, ia lantas berpikir:
"Tenaga dalam apaan ini?"
Haruslah diketahui bahwa pertarungan adu tenaga dalam merupakan suatu pertarungan yang paling jujur, orang tak mungkin bisa menggunakan akal muslihat untuk peroleh kemenangan.
Tapi kenyataanya Hoa In liong sanggup mengalihkan kekuatan musuhnya kearah lain, kejadian aneh semacam ini hakekatnya belum pernah terjadi dalam dunia persilatan, tak heran kalau Seng To cu dibikin terperanjat oleh kejadian itu.
Akan tetapi dia bukan manusia sembarangan, begitu hawa murninya dihimpun, kembali Hoa In li ong segera merasakan sepasang telapak tangannya seperti menahan bukit Tay san, sukar baginya untuk melenyapkan Kembali daya kekuatan tersebut
Kendatipun begitu, Seng To cu sendiripun tidak berhasil merobohkan Hoa In liong, ia merasakan betapa anehnya tenaga dalam yang dimiliki si anak muda itu, setiap kali kalah sebagaian maka kekuatannya akan bertambah besar sebagaian, makin sulit pula baginya untuk mendesak anak muda tersebut.
Akan tetapi tenaga dalam memang merupakan urusan terpenting dalam pertarungan ini, tak sampai seperminum teh kemudian, peluh telah membasahi seluruh badan Hoa In liong, pakaian yang di kenakan telah basah kuyup dibuatnya.
Selama pertarungan berlangsung, secara diam-diam Seng To cu memperhatinkan terus paras muka Hoa In liong, ia saksikan sinar matanya memancarkan cahaya berkilat, tampaknya makin bertarung se makin kuat, hal ini segera mengingatkannya akan suatu peristiwa , tiba-tiba timbul perasaan menyesal dalam hatinya.
"Rupanya si hwesia tua itu kehilangan hawa murninya sewaktu ada di Yu hoa-tay karena mewariskan kekuatannya kepada bocah ini, kalau pertarungan adu tenaga ini dilanjutkan niscaya aku akan kehilangan banyak tenaga, dan tindakanku ini sama artinya seperti membantu bocah ini mencapai kesuksesan....."
Keadaan sekarang ibarat menunggang dipunggung harimau, mau berhenti ditengah jalanpun tak mungkin bisa, maka kuputuskan mumpung Hoa In liong belum berhasil meresapi inti kekuatan yang diwariskan Goan-cing taysu kepadanya, ia akan membunuhnya lebih dulu, sebab kalau menunggu sampai inti kekuatannya telah menggabung dengan kekuatannya, menang kalah akan semakin sulit untuk ditentukan.
Karena berpikir demikian, dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya ia segera menyerang dengan hebatnya.
Hoa In liong yang didesak terus menerus betul-betul keteter hebat, akan tetapi ia tetap melawannya dengan gigih, sedikitpun ti ada tanda-tanda hendak menyerah kalah.
Dalam waktu singkat dua jam sudah lewat, kedua orang itu masih juga saling menempel antara yang satu dengan lainnya, air muka Hoa In liong ketika itu sudah berubah menjadi merah padam, peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuhnya sedangkan Seng To cu telah menarik pula wajahnya yang kaku dan tanpa emosi itu.
Pada saat itulah dari bawah tebing sebelah barat merangkak naik seorang gadis berbaju hitam, tubuhnya ramping dan wajahnya cantik, sebilah pedang pendek tergantung di pinggangnya, dia tak lain adalah Si Leng jin......
Ternyata ia menyusul Hoa In liong kesana, tapi berhubung ilmu silatnya selisih jauh bila dibandingkan pemuda itu, maka sampai sekarang ia baru sampai disana.
Dengan sepasang matanya yang jeli dia perhatikan keadaan disekeliling tempat itu, akhirnya dibawah cahaya bintang ia saksikan ada dua orang berdiri saling berhadapan dengan sepasang telapak tangan saling menempel antara satu dengan lainnya, kejadian itu membuatnya tertegun.
Apalagi setelah mengetahui Hoa In liong berada di posisi bawah angin, dalam kagetnya tanpa berpikir panjang ia cabut keluar pedangnya dan menubruk ke depan, pedangnya langsung ditusukkan ke punggung Seng To cu.
Mendadak Hoa In liong membentak keras, Seng To cu mendengus pula dengan dingin, bukan saja pedangnya itu tak berhasil menusuk punggung Seng To cu, bahkan muncul segulung tenaga dahsyat yang menyusup lewat pedangnya menghantam gadis itu.
Si Leng jin menjerit tertahan, kulit tangannya pecah, dan pedang pendeknya mencelat dari pegangan, kemudian dengan sempoyongan badannya mundur sejauh lima enam langkah, lengannya linu dan kaku, hampir saja tak sanggup digerakkan lagi, ditambah telinganya mendengung keras dan rasanya sakit sekali.
Belum habis rasa kaget dan takutnya, telapak tangan kedua orang yang saling menempel itu sudah berpisah dan masing-masing mundur dua langkah.
Seng To cu hanya tergetar sedikit tubuhnya lalu berdiri tegak kembali.
Sebaliknya Hoa In liong dengan wajah pucat pias seperti mayat melirik gadis itu sekejap, tiba-tiba ia muntah darah segar, lalu roboh terjengkang ke atas tanah.
Si Leng jin agak tertegun sejenak, kemudian sambil menangis tersedu-sedu teriaknya:
"Ooh Hoa kongcu!"
Seperti dua buah sungai, air matanya bercucuran dengan derasnya, ia maju menghampirinya lalu berlutut disisi Hoa In liong dan bermaksud membopong tubuhnya.
Waktu itu sebenarnya Seng To cu sedang memejamkan matanya sambil mengatur pernapasan, tiba-tiba ia membuka matanya sambil membentak:
"Jangan dibopong!"
Si Leng jin agak tertegun, lalu sambil berpaling teriaknya:
"Menyingkir kau dari situ!"
Agaknya dia tak tahu kalau Seng To cu adalah seorang gembong iblis yang berilmu tinggi, setelah membentak kembali, ia berpaling dan siap membopong anak muda itu lagi.
Kemarahan Seng To cu langsung berkobar, lengan kanannya segera diangkat siap dihantamkan keatas batok kepala Si Leng jin akan
tetapi ketika dilihatnya wajah sinona begitu mengenaskan ia menjadi tak tega.
Serangan bacokan dirubah menjadi tenaga lembut yang membawa tubuh Si Leng jin mencelat ke samping.
"Kau tahu isi perutnya sekarang telah bergeser dari tempat kedudukannya semula?" demikian ia menegur ketus, "kini hanya tinggal segulung hawa murni yang melindungi jantungnya, bila kau gerak-kan tubuhnya maka ia akan tewas seketika itu juga"
Si Leng jin menjadi tertegun, tiba-tiba ia mendekam ditanah sambil menangis tersedu-sedu.
"Budak ingusan, apa yang kau tangisi?" kata Seng To cu dengan hambar, "berbicara sesungguh nya bocah muda she Hoa itu bisa menjadi begitu adalah gara-gara perbuatanmu"
Mendengar perkataan itu, Si Leng jin segera menghentikan tangisannya dan menengadah memandang ke arah Seng Tocu, wajahnya menampilkan rasa kaget dan tidak habis mengerti.
Melihat gadis itu sudah mengalihkan perhatian kepadanya, Seng To cu berkata kembali:
"Perhatikan baik-baik, selama hidup lohu paling tak ambil perduli terhadap segala kebaikan, kejahatan ataupun segala kedengkian tapi terhadap segala persoalan selamanya aku tak pernah merahasiakan keadaan yang sebenarnya"
Ia memandang sekejap Hoa In liong yang pucat pias dalam keadaan sekarat itu, kemudian melanjutkan.
"Demikian terhadap keadaan sesungguhnya dari pertarungan malam ini, akupun tak ingin merahasiakannya kepada orang lain"
Si Leng-jin membelalakkan sepasang matanya sambil berpikir:
"Menang kalah dari pertarungan ini sudah jelas tertera, kenyataan apa lagi yang hendak dia bicarakan?"
Tiba-tiba teringat kembali dengan perkataan dari Seng To cu yang mengatakan bahwa dialah yang telah mencelakai Hoa In liong, segera hatinya bergetar keras.
Terdengar Seng To cu berkata kembali: "Mula-mula lohu merasa yakin kalau tenaga dalamku amat sempurna dan jauh diatas kekuatan bocah dari keluarga Hoa itu, mala sengaja kupaksa dirinya untuk melangsungkan ada kekuatan tenaga dalam, siapa tahu kenyataannya....
Tiba tiba wajahnya memancarkan sinar keraguan, tanyanya kemudian:
"Hei budak cilik, tahukah kau tenaga dalam yang dipelajarinya itu berasal dari perguruan mana?"
"Tentu saja pelajaran dari keluarganya!" jawab Si Leng jin.
Seng To cu segera gelengkan kepalanya berulang kali.
Meskipun lohu tidak begitu memahami Gin hoat tenaga dalam dari keluarga Hoa, tapi aku yakin tenaga dalam yang dipelajarinya bukan berasal dari aliran keluarga Hoa, sebab tenaga dalamnya sangat kuat bagaikan gelombang yang berlapis-lapis, gelombang yang satu jauh lebih hebat dari gelombang berikutnya, lagipula aliran hawa murninya itu sebentar mengalir secara lurus sebentar mengalir kembali secara terbalik, tenaga dalam aliran keluarga Hoa tidak mempunyai gejala semacam ini.
"Soal ini boleh tak usah kita bicarakan, dengan mengandalkan tenaga dalam yang sangat aneh ini Hoa In liong ternyata sanggup mempertahankan diri dari seranganku, bahkan semakin lama pertarungan berlangsung ternyata tenaga dalam yang dimilikinya semakin dahsyat dan kuat........"
"Aneh sekali!" seru Si Leng jin tanpa terasa.
"Saat itulah lohu baru sadar bahwa ia telah mencapat bimbingan dari seorang jago lihay" kata Seng To cu lebih jauh, "bila ditinjau dari keadaan itu, kemungkinan besar ilmu yang sedang dipelajarinya adalah ilmu sebangsa Tin goan ing tok (bimbingan tenaga dalam untuk menyeberang) yang justru kesempatan semacam itu merupakan kesempatan yang terbaik baginya untuk membaurkan tenaga murni yang didapat dengan tenaga murni yang telah dimiliki dalam tubuhnya........"
"Apakah yang disebut Tin goan ing tok tersebut?" tanya Si Leng jin tiba-tiba.
Seng To cu memandang sekejap kearahnya kemudian menjawab:
"Sebenarnya dalam soal ilmu tenaga dalam, kemajuan hanya bisa dicapai bila seseorang tekun melatihnya, tapi lain ceritanya jika dia mempunyai sebangsa obat yang dapat mengganti tulang merubah otot, selain daripada itu jika ada seorang tokoh sakti yang rela menghadiahkan tenaga dalam hasil latihannya kepada orang lain tentu saja hal inipun bisa terjadi, dan cara yang terakhir inilah yang dinamakan sebagai Tin-goan-ing-tok tersebut.
"Apa susahnya ini?" pikirnya.
Tampaknya Seng To cu dapat menebak suara hatinya, dengan dingin ia berkata:
Cara semacam ini tampaknya saja gampang padahal jauh lebih sulit prosesnya daripada mempergunakan obat mustika, sebab pertama sedikit kesalahan saja akan berakibat fatal, kedua, tokoh sakti semacam ini sukar ditemukan didunia ini, yang lebih penting lagi orang-orang itu biasanya enggan memberikan hasil yang luar biasa kepada muridnya tanpa si murid harus bersusah payah.
Tampaknya Seng To cu merasa bahwa pembicaraannya sudah terlanjur terlampau jauh cepat-cepat katanya kembali:
Berbicara kembali kesoal kami tadi, waktu itu lohu merasa menyesal sekali, aku tahu jika keadaan ini dibiarkan berlangsung terus maka pada akhirnya bocah dari keluarga Hoa itulah yang bakal peroleh kemenangan mutlak.
"Lantas dia.......kenapa dia...."
Seng To cu segera ulapkan tangannya, bukan menjawab dia malah balik bertanya:
Kaukah yang menyergap diriku?
Waktu itu Si Leng jin sudah tidak terlampau merisaukan kesel-amatan diri, mendengar pertanyaan itu dia lantas mendengus dingin.
"Hmm! Sudah tahu pura-pura bertanya lagi!"
Bukannya menjadi gusar, Seng To cu malahan tertawa terbahak-bahak,
"Haaahh......haaahh.......haaahh.........hei budak, tahukah kau ketika lohu dan bocah muda she Hoa itu sedang melangsungkan pertaru ngan adu tenaga, sekeliling tubuh kami telah dilapisi hawa murni pelindung badan? Apabila dari luar ada serangan yang datang maka akan memancarlah tenaga gabungan dari kami berdua, siapakah didunia ini yang sanggup menerima tenaga gabungan dari kami berdua ini? Bukankah kau mencari jalan kematian buat diri sendiri?"
"Tapi aku toh masih hidup segar bugar?"
Seng Tocu segera mendengus dingin.
"Kau masih hidup segar bugar?" katanya. "Kau tahu? Kenapa sampai sekarang kau masih tetap segar bugar?"
Tidak menanti jawaban dari Si Leng-jin, dengan marah ia berkata lebih lanjut:
"Kau tahu? Seseorang yang hampir saja tiada tandingannya dikolong langit, telah hancur lebur dan lenyap tak berbekas, gara-gara perbuatanmu itu?"
Suaranya keras dan tegas, sama sekali berubah dari sikap semulanya yang hambar dan berbau hawa setan itu.
Si Leng jin termenung sebentar, mendadak dengan wajah berubah hebat serunya:
"Jangan, jangan......"
"Betul!" tukas Seng To cu, "gara gara ingin menyelamatkan jiwamu dan lagi diapun tak ingin menangkan aku dengan cara tak adil, akhirnya ia malah berubah menjadi begini rupa"
Dibalik ucapannya itu lamat-lamat kedengaran pula nadanya yang bersedih hati.
Haruslah diketahui, barang siapa telah menjadi seorang ahli dalam suatu kepandaian, tentu akan timbul suatu perasaan sayangnya terhadap genera si penerus yang memiliki bakat bagus.
Selama hidupnya boleh dibilang Seng To-cu ha nya terjun dalam bidang ilmu silat, sudah barang tentu dia menaruh rasa sayang terhadap setiap o-rang yang berbakat bagus dan berilmu tinggi.
Sayangnya Hoa In liong bukan berasal dari Seng sut pay, malahan merupakan musuh tangguh partainya, rasa dengki telah menindas rasa sayangnya. Akan tetapi disaat keadaan Hoa In liong terancam bahaya, rasa dendamnya seketika lenyap tak berbekas, sebagai gantinya timbul rasa sayang dan kasihannya.
OOOOOOOOOOOOOO
47
Dengan tatapan sinar kosong Si Leng jin memandang awan di angkasa, lama sekali ia berdiri termanggu, lalu dengan wajah yang sedih, guman-nya lirih:
"Aku............ akulah yang telah mencelakainya................
tak kusangka.....tak kusangka.....!"
Tiba-tiba sinar matanya membentur dengan pedang antik yang tergeletak ditanah, tanpa berpikir panjang lagi ia menyambar senjata itu dan menggorok keleher sendiri.
Kelihatan-nya pedang itu segera akan melukai tenggorokan si nona dan gadis yang cantik jelita segera akan berpulang kealam baka. ...
Mendadak Seng To cu merampas pedang itu sambil ujarnya dengan suara yang dingin:
"Sampai kini orang she Hoa itu belum mati, buat apa kau buru buru hendak mampus" Si Leng-jin tertegun, mendadak ia menengadahkan kepalanya sambil berkata:
"Apakah kau dapat menyelamatkan jiwanya?"
Seng To cu hanya dapat menyelamatkan jiwanya selama sepuluh hari, bila ingin menolong jiwanya kecuali kau bisa mendapat jin som berusia seribu tahun atau bahan obat mujarab lain seperti Leng ci dan lain sebagainya....."
"Ke mana aku harus mencari Jin som berusia seriba tahun dan Lengci itu?" tanya Si Leng jin lagi dengan wajah penuh pengharapan.
Seng To cu mengerutkan dahinya, lalu menjawab: "Benda-benda yang langka didunia ini hanya bisa ditemukan dan tak mungkin diharapkan tapi bagaimana caranya untuk menemukan benda-benda mustika itu?"
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, katanya kemudian.
"Keluarga Hoa tersohor didunia persilatan sebagai tempat yang dimiliki pelbagai mustika, siapa tahu dirumahnya tersedia bahan obat-obatan seperti itu? Cuma saja sekalipun ada, jaraknya dari sini menuju ke bukit Im tiong san ada tiga empat ribu li, dalam sepuluh hari tak mungkin bisa tiba ditempat tujuan kecuali terbang, apa lagi dirumahnya toh belum tentu ada benda tersebut.........?"
Mendengar ucapan itu tiba-tiba Si Leng jin seperti teringat akan sesuatu, ia teringat dengan botol porselen yang baru saja diserahkan Hoa In liong kepadanya itu, siapa tahu kalau isi botol porselen itu adalah obat mujarab?
Dengan cepat botol itu diambil keluar, tapi baru saja hendak membuka penutupnya, sebagai seorang gadis yang cukup berpengalaman dan mengetahui bahayanya orang persilatan, dengan cepat ia teringat kalau disana masih ada Seng To cu, andaikata isinya betul-betul adalah obat mustika, lalu Seng To cu hendak merampasnya, apa yang bisa dia lakukan?
Seng To cu bukan manusia kemarin sore, dari sikap si nona yang mengeluarkan sebuah botol berbentuk aneh tapi segera membatalkan niatnya untuk membuka penutup botol itu, dengan cepat ia dapat menebak suara hatinya.
Sambil mendengus dingin katanya kemudian:
"Kau anggap Lohu ini manusia macam apa? Tak akan kurampas benda milikmu, baiklah! Memandang Hoa yang sebagai seorang lelaki ksatria, lohu akan memperpanjang umurnya selama sepuluh hari"
Begitu selesai berkata, tanpa menantikan jawaban dari Si Leng jin lagi ia lantas maju ke depan dan secara beruntun melepaskan tujuh belas buah pukulan keatas dada Hoa In liong.
Si Leng jin dapat menyaksikan bahwa dalam setiap pukulannya itu selalu disertakan tenaga yang cukup kuat, tempat yang di incarpun merupakan jalan darah penting, berdebar juga jantungnya menyaksikan kejadian itu, untuk sesaat ia hanya bisa memperhatikannya tanpa berkedip.
Dengan sebuah kebutan ujung bajunya, Seng To cu membalikan tubuh Hoa In liong, kemudian menotok pula beberapa buah jalan darah penting di punggungnya itu, secara beruntun ia lepaskan lima belas buah pukulan, hanya kali ini gerakannya dilakukan lambat sekali.
Pukulannya yang terakhir itu ditujukan pada jalan darah Thian-teng hiat ditubuh Hoa In liong, setelah itu ia baru menghembuskan napas panjang dan membesut keringat yang telah membasahi jidatnya.
Sekarang Si Leng jin baru tahu bahwa Seng To cu telah mengor-bankan banyak sekali tenaga dalamnya untuk memperpanjang usia Hoa In liong selama sepuluh hari, bagaimanapun juga gadis itu tercengang juga oleh tindak tanduk gembong iblis tersebut yang ternyata bersedia berkorban demi musuhnya........
Sementara itu Seng To cu telah memutar balik tubuh Hoa In liong, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah botol porselen berwarna hijau dan mengeluarkan sebutir pil warna hitam yang besarnya seperti gundu.
"Eeh, obat itu terbuat dari bahan apa saja? Kenapa jelek amat warnanya................?" tiba-tiba Si Leng jin menegur.
Suara itu amat lirih, seakan akan sedang bergumam seorang diri.
Seng To cu segera mendengus dingin, sahutnya:
"Jika lohu berniat untuk mencelakainya buat apa musti melakukan banyak perbuatan yang tak ada gunanya?
Ia membungkuk dan membuka mulut Hoa In long lalu masukkan pil berwarna hitam itu ke mulutnya, kemudian sambil membopong tubuh si anak muda itu ia siap berlalu dari sana.
Si Leng in menjerit kaget, sambil melompat bangun teriaknya: "Hei, mau apa kau?"
Seng To cu menghentikan langkah kakinya seraya berpaling, lalu dengan nada tak sabar katanya:
"Hmm......! Dengan mengandalkan sedikit kepandaian yang kau miliki itu dianggapnya bisa membawa turun seorang yang terluka parah dengan selamat? Lohu akan menghantarkannya ke rumah gubuk itu, urusan selanjutnya terserah padamu."
Setelah berhenti sebentar ia menambahkan.
"Dasar pikiran perempuan memang selalu picik tubuhnya cuma curiga melulu.............
Hmm! Brengsek!"
Merah padam selembar wajah Si Leng jin karena jengah, ia segera maju dua langkah seraya berkata:
"Kalau begitu harap locianpwe sudi membawa serta diriku!"
Tanpa mengucapkan sepatah katapun Seng To cu menyambar tubuh Hoa In liong dengan tangan kanan dan menggenggam lengan Si Leng jin dengan tangan kirinya.
Tiba-tiba gadis itu berseru lagi.
"Eeeh....tunggu sebentar!"
Seng To cu mengernyitkan alis matanya seperti tidak sabar, tapi ia toh melepaskan juga genggamannya.
Si Leng jin segera menghampiri pedang milik Hoa In liong dan mengambilnya, lalu mencari pula pedang pendek miliknya sendiri, tapi pedang itu lenyap tak berbekas, tahukah nona itu ada kemungkinan pedangnya sudah terjatuh ke bawah jurang.
Sebagaimana diketahui, pedang pendek itu tajamnya luar biasa, selama ini ia selalu menyayanginya, kini setelah terbukti hilang sedikit banyak nona itu merasa sayang juga, tapi karena lebih menguatirkan keselamatan Hoa In liong, maka buru-buru ia kembali ke tempat semula.
Seng To cu sudah tak sabaran lagi, lengan kanannya segera disambar dan dibawanya turun ke bawah tebing.
Separjang jalan Si Leng jin hanya merasa desingan angin kencang menyambar lewat dari sisi telinganya, pemandangan alam di sekitarnya sukar di perhatikan dan kakinya seakan akan tidak menempel tanah, diam-diam terkejut juga si nona itu oleh kebebatan ilmu silat yang dimiliki Seng To cu
"Bila dilihat dari kepandaian silat yang dimiliki iblis ini tak mungkin kemenangan bisa kuraih bila terjadi pertarungan yang saling berhadapan muka, mumpung sekarang ada kesempatan lebih baik kutusuk punggungnya secara diam-diam dengan begitu dendam sakit hati Hoa kongcu pun bisa terbalas, toh bagaimanapun juga yang bakal celaka juga aku seorang, kenapa tidak beradu jiwa dengannya?"
Berpikir sampai disini dengan hati-hati sekali dia mengangkat pedangnya, karena sudah punya rencana, maka pedang itu tidak dikembalikan kepada Hoa In liong, sebaiknya digenggang ditangan kirinya:
Tiba-tiba ia teringat pula bahwa tindakannya ini pasti akan berakibat tewasnya Hoa In liong pula, sekalipun kini nyawa anak muda tinggal sepuluh hari Saja tapi baginya sepuluh hari itu adalah wak tu-waktu yang berharga sekali, ini semua menyebabkan ragu-ragu untuk melanjutkan rencananya itu.
Belum lagi keputusannya diambil, tiba-tiba mereka sudah berhenti dan Seng To cu telah melepaskan tangannya, ternyata mereka telah tiba di depan rumah gubuk itu. Diam-diam ia menyesal karena telah menyia-nyiakan suatu kesempatan baik.
Tiba tiba terdengar Seng To Cu berkata:
"Hei budak cilik tadi kenapa kau tidak jadi menusuk punggungku?"
"Oh rupanya dia sudah tahu!" pikir Si Long jin.
Ia menjadi sangat mendongkol, dengan gusar serunya:
"Aku hanya merasa bahwa selembar jiwamu itu sekalipun hidup seratus tahun lagi juga tidak menangkan kehidupan Hoa kongcu sendiri, bukan berarti aku jeri kepada ilmu silatmu"
Seng To cu tidak gusar sebaliknya malah tertawa, katanya:
"Budak cilik ternyata kau memang betul-betul sedang mabuk cinta, cuma lohu tidak mengerti, kenapa kau masih memanggil bocah muda itu sebagai Hoa kongcu?"
Walau pun Si Leng jin merasa girang dihati, merah padam juga selembar wajahnya karena jengah, buru-buru ia berseru.
"Kau tak usah ngaco belo tak karuan, aku dengan Hoa kongcu sama sekali tak punya hubungan apa-apa"
"Hmm! Lain dimulut lain dihati" dengus Seng To cu.
Si Leng jin menjadi marah katanya:
Hmmm, Dia adalah putra Thian cu kiam, asal usulnya tersohor dan punya kedudukan terhormat, sebaliknya aku tak lebih cuma seorang gadis yang tak dikenal....."
Teringat dengan asal-usulnya sendiri, rasa sedih segera menyelimuti perasaannya, apalagi teringat keadaan Hoa In liong yang terluka parah, seketika itu juga ia menangis terisak.
"Aku enggan mengetahui apa hubunganmu dengan bocah muda dari keluarga Hoa ini" Seng To cu berkata, "baik-baiklah biarkan dia hidup selama beberapa hari, bila ada pesan-pesan lebih baik dikatakan pula sejak sekarang"
Lalu setelah melirik sekejap wajah Hoa In liong, ia menambahkan:
"Sekarang isi perutnya sudah bergeser, untuk mengharapkan penyembuhan hanya ibarat orang bermimpi. Daripada dikirim balik ke perkampungan Liok-soat-san ceng lebih baik temanilah dia hidup selama beberapa hari disini, lohu akan pergi menghalangi orang-orang yang mungkin akan datang mengacau"
Selesai berkata, ia letakkan tubuh Hoa In liong keatas tanah dan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.
Buru-buru Si Leng jin membopong tubuh Hoa In liong sambil menyumpah:
"Seng To cu setan tua, kau betul-betul menggemaskan! Kau toh mengerti kalau Hoa In liong lagi terluka parah, masa ditengah malam buta yang berkabut tebal kau geletakkan tubuh ke tanah dengan begitu saja?"
Baru habis ia berkata, pandangan matanya menjadi kabur dan tiba-tiba Seng To cu teah muncul kembali dihadapan-nya.
Sesudah memandang sekejap wajah si nona, pelan-pelan katanya.
"Bila dia telah sadar nanti, katakanlah bahwa lohu sangat berharap agar lukanya cepat sembuh, sebab lohu ingin sekali dapat bertarung sekali lagi dengannya"
"Aku pasti akan menyampaikan kepadanya, sekarang kau boleh pergi dari sini!"
Terhadap sikap kasar dari Si Leng jin ini, ternyata Seng To cu tidak merasakan reaksi apa-apa, dia hanya mendengus dingin lalu berkelebat pergi dari situ, sekejap mata kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Tiba-tiba terdengar suara dari Si Nio berkumandang dari samping:
"Nona, bagaimana dengan Hoa kogcu?" Sambil menahan rasa sedih dalam hatinya, Si Leng jin berpaling lalu sahutaya:
"Seandainya ia tewas, maka ia tewas lantaran aku........"
Air matanya kembali bercucuran membasahi pipinya, ia menjadi sesunggukan dan sambil membopong tubuh Hoa In liong masuk ke dalam ruangan.
Diatas wajah Si Nio yang penuh kerutan tampak agak gemetar keras, dia ikut melangkah masuk ke dalam ruangan.
Dengan sangat hati-hati, Si Leng jin membaringkan tubuh Hoa In liong diatas pembaringan, lalu melepaskan sarung pedangnya, menya rungkan pedang dan menggantungkan diatas dinding.
Setelah itu ia melepaskan sepatu dan kaus kaki dari Hoa In liong, dan menutupi badannya dengan selimut.
Si Nio mengira ia sudah selesai bekerja, baru saja akan bersuara mendadak dilihatnya gadis itu berdiri termenung sejenak lalu membetulkan kembali letak bantal, ternyata gerak geriknya amat le mah lembut dan penuh perhatian.
Ketika semuanya telah selesai dan dilihatnya Hoa In liong tidak berbaring dalam keadaan tak enak, ia baru duduk ditepi pembaringan dan memandang wajahnya dengan termangu, lama sekali ia tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Si Nio yang menanti disampingnya, lama kelamaan menjadi tak sabar, ia lantas menegur:
"Nona!"
lima depa disisi Si Leng jin, semestinya siapapun akan mendengar panggilan tersebut, akan tetapi gadis itu tetap tak berkutik, ia sama sekali tak mendengar panggilan dari pelayan setianya ini.
Terpaksa Si Nio harus mempertinggi suara panggilannya:
"Nona..."
Tanpa berpaling Si Leng jin ulapkan tangannya "Sst....jangan berisik!"
Si Nio betul betul dibikin tertegun, agaknya kecuali Hoa In liong ketika itu ia sudah melupakan segala persoalan yang ada didunia ini.
Satu ingatan segera melintas dalam benak pelayan tua itu, tiba-tiba ujarnya!:
"Setelah sadar nanti apa yang dibutuhkan Hoa kongcu? Apakah nona perlu mempersiapkannya?"
Ternyata ucapan itu manjur juga, Si Leng jin segera menjawab:
"Ehhmm....coba periksalah apakah didapur masih ada makanan, kalau ada bawa saja kemari!"
Sekalipun mulutnya menjawab, sepasang matanya yang jeli itu masih mengawasi wajahnya Hoa In liong tanpa berkedip.
Diam-diam Si Nio berpikir:
"Ai...orang she Hoa ini betul-betul penyakit, kalau nona begini terus keadaannya bagaimana jadinya nanti?"
Setelah berpikir sebentar, terpaksa ia menuju kedapur.
Tak lama kemudian ia telah muncul kembali sambil membawa sebuah baki yang berisi dua mangkuk bubur panas serta tiga macam sayur.
Setibanya dibelakang Si Leng jin, perempuan itu berseru:
"Nona, hidangan telah tiba!"
"Nanti saja" jawab si nona, "ia toh masih belum sadar!"
Sekali lagi raut wajah Si Nio yang jelek bergetar keras, katanya setelah merenung sejenak:
"Nona, lebih baik kau makan lebih dulu!"
"Tidak usah!"
Kembali Si Nio menjadi tertegun, akhirnya dia menghela napas panjang ,dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia menarik meja itu ke sisi pembaringan lalu setelah meletakkan baki ke atas meja ia duduk dibangku dan memperhatikan gerak gerik majikannya.
Dalam kebeningan malam yang mencekam diantara tiga orang yang ada dalam ruangan, dua duduk berjaga satu tidur dengan pulasnya, tanpa terasa fajar mulai menyingsing.
Tiba-tiba Hoa In liong menghembuskan napas panjang dan pelan-pelan membuka mulutnya.
Leng jin girang, Si Leng jin menyaksikan kejadian itu, segera serunya.
"Kau telah sadar?"
Diam-diam Hoa In liong mencoba untuk mengatur hawa murni yang dimilikinya sudah tak ada, iapun menemukan isi perutnya sudah tergeser dan jiwanya terancam bahaya maut, diam-diam ia merasa terkejut sekali.
Kendatipun demikian, sambil tertawa hambar ia toh berkata juga:
"Kemana perginya Seng To cu?"
Dengan sikutnya menyangga badan, ia mencoba untuk bangkit dan duduk.
Buru-buru Si Leng jin menahannya sambil berkata "Lukamu sekarang parah sekali lebih baik jangan sembarangan bergerek dan terbaring saja"
Ketika Hoa In liong mencoba menggadakan tenaga, ia segera merasakan kepalanya pusing dan dadanya sesak, ia sadar tak boleh banyak berkutik lagi, maka sambil berpaling kembali katanya seraya tertawa:
"Waahh..... baru pertama kali ini kurasakan keadaan seperti ini, hitung-hitung aku punya jodoh juga dengan keadaan seperti ini"
Si Leng jin yang menjumpai anak muda itu sama sekali tidak memperhatikan mati hidup sendiri, apalagi teringat dengan ucapan Seng To cu yang mengatakan bahwa nyawa Hoa In liong tinggal sepuluh hari lagi, hatinya menjadi sedih sekali bagaikan disayat-sayat dengan pisau, air matanya segera bercucuran membasahi pipinya.
Hoa In liong tersenyum,kembali ujarnya:
"Aku tahu waalaupun keras hati dan gagah, di hari-hari biasa jarang sekali melelehkan air mata, persoalan apakah yang membuat kau bersedih hati......?"
Sekalipun dalam keadaan terluka, ternyata ucapan-nya masih lemah lembut, Si Leng jin benar-benar tak kuat mengendalikan emosinya lagi, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan membenamkan kepalanya ke pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Si Nio bangkit berdiri sambil membuka mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi ia segera membatalkan niatnya, setelah menghela napas sedih, dengan air mata membasahi pipinya diam-diam ia mengundurkan diri dari situ.
Hoa In liong palingkan wajahnya kearah si nona, lalu dengan lembut katanya:
"Persoalan apa yang telah menyedihkan hatimu? Coba ceritakanlah kepadaku"
"Aku benci!" seru Si Leng jin sambil menangis tersedu-sedu.
"Membenci siapa" tanya Hoa In liong sambil menggerutkan dahinya.
"Aku membenci Seng To cu" Hoa In liong segera tertawa, katanya:
"Ia pernah menganiaya diriku, melukai aku pula, kau memang pantas membencinya"
Dengan suara tersendat-sendat Si Leng jin melanjutkan kembali kata-katanya:
"Aku lebih membenci pada diri sendiri!"
"Waah......... ini tidak boleh terjadi, mana ada orang yang membenci diri sendiri? kata pemuda itu sambil tersenyum.
"Akupun membenci dirimu!" sambung gadis itu gemetar.
Hoa In liong mengernyitkan alis matanya, tapi setelah membenarkan letak tubuhnya ia mengangguk.
"Yaa, pastilah aku telah membuat kesalahan kepadamu"
Si Leng jin menengadahkan kepalanya, dengan air mata bercucuran ia berkata:
"Aku membenci dirimu, membenci kepada mu kenapa terlalu memikirkan keselamatan jiwaku? seharusnya kau gunakan kesempatan itu untuk membunuh Seng To cu si iblis tua itu, aku mati juga tidak mengapa, daripada hidup sengsara didunia ini"
Hoa In liong segera tertawa.
"Pepatah kuno mengatakan: Daripada mati secara baik-baik lebih baik hidup agak sengsara, meskipun didunia ini penuh dengan orang jahat, namun tidak mengurangi kecantikannya, meski aku harus mati secara mengenaskan, itupun kulakukan dengan hati yang berat, sebaliknya kau masih muda, mana cantik lagi, kenapa musti mengucapkan kata-kata yang begitu tak sedap didengar?"
Si Leng jin menundukkan kepalanya sambil menangis tersedu-sedu ia tidak berbicara pun tidak berhenti menangis.
Melihat gadis itu tak bisa dihibur diam-diam Hoa In liong berkerut kening, tapi setelah berpikir sebentar ia lantas berkata:
"Coba dongakkan kepalamu!"
Dengan lemah lembut Si Leng jin mendongakkan kepalanya, meski ia tidak habis mengerti dengan maksud tujuan pemuda itu.
Dengan sinar mata yang cerah Hoa In liong mengamati sekejap wajahnya yang basah oleh air mata itu, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh ujarnya:
Sewaktu kau lagi menangis ternyata jauh lebih menarik daripada sewaktu kau lagi tertawa, dulu aku tak punya kesempatan untuk memperhatikannya, sekarang bisa mendapat rejeki besar seperti ini, rasanya lukaku ini pun ada harganya"
Si Leng jin tidak mengira kalau dalam keadaan seperti ini pemuda itu masih punya kegembiraan untuk menggodanya, ia menjadi tersipu-sipu dibuatnya.
Ketika itulah Si Nio muncul sambil membawa sebuah baki penuh dengan bubur yang masih mengepul panas, bubur yang telah dingin tadi diambilnya kembali.
Setelah digoda oleh Hoa In liong barusan, rasa sedih di hati Si Leng jin menjadi jauh berkurang, ketika mencium bau harumnya bubur ia terasa lapar sekali, segera pikirnya:
"Dia pasti merasa lapar sekali!"
Berpikir demikian, iapun membimbing bangun anak muda itu, letak bantalnya dibelikan sehingga pemuda itu dapat setengah berbaring, lalu diambilnya bubur dan secara telaten menyuapi anak muda itu.
Diam-diam Hoa In liong lantas berpikir:
"Padahal ia sendiri sedang lapar, tapi aku yang diurusi lebih dulu"
Maka sambil gelengkan kepalanya dia berkata:
"Lebih baik kau makan duluan, aku belum lapar!"
Si Leng jin mengerutkan dahinya, dengan wajah cemberut ia berseru:
"Kalau kau tidak makan duluan, mana aku tega untuk makan?"
"Sebaliknya kalau kau tidak makan, aku pun merasa tak enak untuk makan lebih dulu" sambung Hoa In liong sambil tertawa.
Tiba-tiba Si Leng jin mengucurkan air mata kembali, katanya dengan sedih:
"Kau bisa menjadi begini, semuanya adalah gara-gara aku........"
"Baik, baiklah aku makan duluan!" buru buru Hoa In liong menukas sambil tertawa.
Ia mencoba untuk mengambil mangkuk sendiri, ternyata lengannya terasa lemas sekali, sewaktu di angkat ternyata lengan itu gemetaran keras.
Si Leng jin teramat sedih melihat kejadian itu, hatinya serasa disayat-sayat dengan pisau, nyaris ia melelehkan air matanya.
Ia tak mengira seorang jago silat yang tak terkalahkan dalam dunia dewasa ini, kini berubah jadi begitu lemah sehingga untuk menggerakkan lengan sendiripun susah sekali.
Akan tetapi lantaran ia kuatir Hoa In liong tak senang hati maka buru-buru ia berpaling ke arah lain sambil diam-diam menyeka air matanya, kemudian sambil tertawa paksa katanya:
"Lebih baik kau jangan mempersoalkan segala tata cara yang tetek bengek, biar kusuapin untukmu!"
Hoa In liong tertawa getir, terpaksa ia biarkan Si Leng jin menyuapi untuknya.
Sambil menyuapi bubur untuk pemuda itu, secara ringkas Si Leng jin menceritakan apa yang telah terjadi setelah pemuda itu tak sadarkan diri, hanya soal usia yang tinggal sepuluh hari ia rubah menjadi harus beristirahat sehingga dapat sembuh seluruhnya.
Tentu saja hal tersebut tak dapat mengelabuhi diri Hoa In liong, cuma ia pun tidak membongkar rahasia itu.
Ketika dua mangkuk bubur sudah habis, ceritapun telah berakhir, sambil menghela napas Hoa In liong lantas berkata:
"Ternyata Seng To cu bersedia mempergunakan ilmu Thian me hu ti sin kang untuk menyembuhkan lukaku, hal ini betul-betul merupakan suatu kejadian yang sangat aneh"
"Thian mo hu ti?" kata Si Leng jin dengan dahi berkerut, "kok kedengarannya berbau hawa setan? Jangan-jangan secara diam-diam ia telah melukai dirimu?"
Hoa In liong segera tertawa.
"Walaupun kedengarannya tak sedap, sesungguhnya ilmu itu adalah cara pengobatan yang paling hebat dari pihak Mo kau, tidak mungkin Seng To cu akan bertindak pengecut seperti itu"
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan.
"Dikemudian hari, akupun harus menolong jiwanya satu kali!"
Mendengar itu Si Leng jin lantas berpikir".
Nyawamu saja tinggal beberapa hari lagi mana mungkin bisa menolong orang lain??
Dengan perasaan yang amat pedih seperti diiris-iris dengan pisau, ia mencoba tertawa paksa, kemudian katanya:
"Sekalipun mampus, iblis tua itu juga rada keenakan, buat apa kau musti menolongnya?"
"Yaa, barang siapa telah berhutang budi, apakah tidak pantas untuk membalas budi itu?" katanya.
Tapi kalau dibiarkan hidup terus, entah berapa banyak orang yang bakal dicelakai oleh iblis tua itu??
"Tidak mungkin, aku tahu bahwa dia adalah seorang yang tinggi hati, tak mungkin ia akan mau turun tangan terhadap orang biasa, asal orang itu bisa ditaklukan, dia pasti akan mengasingkan diri, tak nanti akan mencelakai dunia"
Ketika Si Leng jin menyaksikan pemuda itu sudah menunjukkan tanda-tanda lelah setelah berbicara sekian lama, buru-buru katanya sambil tertawa:
"Bagaimana kalau kau berbaring dulu, aku hendak bersantap"
Dalam keadaan terluka parah, keadaan Hoa In-liong memang lemah sekali, ia merasa agak lelah setelah bercakap-cakap sekian lamanya, maka diapun mengangguk.
Si Leng jin buru-buru memayangnya untuk berbaring kembali.
Tak lama kemudian Hoa In liong sudah pulas dengan nyenyaknya.
Dengan termangu-mangu Si Leng jin mengawasi terus wajah pemuda itu, ia tidak bersantap dan entah apa saja yang dipikirkan, sebentar senyuman dikulum sebentar lagi parasnya berubah dan air mata bercucuran, tapi karena kuatir menyadarkan Hoa In liong dari tidurnya ia tak berani menangis hingga bersuara.
Selama ini Si Nio hanya mengawasi terus dari luar pintu, menyaksikan keadaan tersebut dia segera lari masuk sambil serunya:
"Nona, kalau begini terus keadaanmu, bagaimana jadinya nanti?"
Si Leng jin menghela napas sedih, sahutnya dengan lirih:
"Si Nio, jika ia mati akupun mati!"
Dua patah kata "mati" itu ibaratnya martil berat yang mengetuk hati Si Nio, kontan saja ia menjerit sekeras-kerasnya:
"Mati? Nona, kau sudah gila?"
Si Leng jin berpaling, wajahnya menunjukkan kekerasan hatinya yang telah bulat.
"Tidak, aku tidak gila! Aku waras dan segar bugar"
"Nona tak ada harganya kau berbuat demikian" kembali Si Nio berseru dengan perasaan gelisah.
"Kenapa tak ada harganya?"
"Sebab bocah muda dari keluarga Hoa ini pada hakekatnya adalah seorang kongcu romantis yang suka bermain perempuan..."
"Jangan kau hina dirinya dengan kata-kata yang tak senonoh!" hardik Si Leng jin marah.
Si Nio agak tertegun, lalu serunya lagi:
"Tapi ia memang menebarkan bibit cintanya kepada siapapun, belum tentu dalam hatinya terdapat bayangan nona!"
Perkataan itu diucapkan dengan suara keras dan nyaring. Si Leng jin segera kuatir kalau ucapan itu menyadarkan Hoa In liong dari
tidurnya, ia berpaling sekejap kearahnya, ketika dilihatnya Hoa In liong masih tertidur pulas, hatinya baru merasa lega.
katanya kemudian:
"Pergilah beristirahat, lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan lagi"
Si Nio tertegun dan berdiri melongo, tapi bagaimanapun juga dia adalah pelayan dari keluarga Si, dengan mata kepala sendiri dia saksikan Si Leng jin tumbuh jadi dewasa, karena itu diapun tahu bahwa keputusan yang telah diambil selamanya tak dapat dirubah kembali.
"Semua ini timbul gara-gara karena lelaki hidung bangor itu, lebih baik kubunuh saja Hoa In liong"
Berpikir sampai disitu, hawa nafsu membunuh segera memancar keluar dari sorot matanya, tanpa sadar diapun berpaling dan melotot sekejap kearah sianak muda itu.
Si Leng jin yang menyaksikan keadaan tersebut menjadi gelisah sekali, tiba-tiba dia berkata:
"Bila kau berani berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan bagi Hoa kongcu, seketika itu juga aku akan mati. Seluruh kulit wajah Si Nio yang menyeramkan itu mengejang keras, ia menggertak gigi dan tidak menjawab.
Si Leng jin segera berkata.
"Kau anggap aku cuma bermain-main saja?"
"Nona, apakah kau lupa dengan Joya-cu?" tiba tiba Nio menjerit keras.
Mendengar jeritan itu, Si Leng jin merintih pelan, sepasang tangannya menekan dadanya keras-keras seperti menahan rasa sakit yang luar biasa, kemudian hembuskan nafas panjang katanya dengan sedih:
"Kau boleh keluar lebih dulu, aku.....akan.....kupikirkan kembali. ...akan kupikirkan lagi"
Si Nio amat sedih sekali hingga air matanya bercucuran, tapi ia pun tidak berbicara lagi dan segera keluar dari ruangan itu.
Selama lima hari berikutnya Si Leng jin tak pernah bergeser dari tempatnya semula, ia selalu menjaga ditepi pembaringan, kalau lelah iapun tidur di bawah kaki Hoa In liong, sekalipun anak muda itu berulang kali mencegahnya tapi percuma saja, maka akhirnya diapun tidak banyak bicara lagi.
Selama ini semua kebutuhan makanan dan minuman diurusi oleh Si Nio, untungnya Seng To cu telah menyiapkan bahan makanan yang cukup disitu, sehingga mereka tidak takut kekurangan.
Sepanjang hari Hoa In liong selalu duduk bersila sambil mengatur pernapasan dengan harapan bisa menyembuhkan luka yang dideritanya, sayang tiada perkembangan apapun, hanya secara dipaksakan dapat mencegah keadaannya berubah menjadi makin buruk.
Hari itu ia merasa hawa murninya sudah betul-betul tak terhimpun lagi, bahkan urat-urat pentingnya mulai tersumbat dan ia merasa amat mederita, dalam keadaan demikian pemuda itupun berpikir:
"Tampaknya keadaan lukaku tak bisa disembuhkan lagi dengan mengandalkan kekuatan sendiri, yaa apa boleh buat, terpaksa aku harus mempergunakan obat Yau ti wan tersebut untuk menolong diri"
Berpikir sampai disitu, dia lantas berpaling hendak minta botol berisi Yau ti wan itu dari Si Leng jin akan tetapi ketika dilihatnya gadis itu sedang tidur dengan nyenyaknya, ia menjadi tak tega untuk membangunkannya kembali.
Karena iseng, diam-diam ia amati wajah gadis itu dengan seksama ketika dilihatnya gadis itu jauh lebih kurus dengan mata yang membengkak setelah kelelahan selama beberapa hari ini, dengan perasaan terharu pikirnya:
"Aaai....... selama beberapa hari ini ia terlalu payah dan menderita....... kasihan betul....."
Sementara ia masih melamun, tiba-tiba dilihatnya Si Leng jin mengernyitkan alis matanya lalu mengigau:
"Ayah, cepat kemari........ In liong, Jangan pergi....... tolonglah aku....."
Hoa In liong menjadi tertegun, pikirnya: "Ia mempunyai asal-usul yang amat mengenaskan, saat ini penghidupannya amat sengsara dan penuh penderitaan........ kalau dilihat dari igauannya yang memanggil namaku, terbukti bahwa ia sangat mempercayaiku, bagaimana pun juga aku harus membantu tenaga untuk melepaskan nya dari lautan kesengsaraan....."
Dengan perasaan sayang diapun berbisik lembut:
"Jangan kuatir aku tak akan pergi!"
Tiba tiba Si Leng jin tersentak bangun dari tidurnya dan terduduk dengan termangu, kemudian setelah berhasil menenangkan hatinya, ia baru bertanya dengan suara lirih:
"Barusan apa yang kau katakan?"
"Tempo hari karena ada persoalan pembicaraan kita terhenti ditengah jalan lalu selama beberapa hari ini karena perhatianku tertuju untuk meyembuhkan luka, aku selalu tak sempat menanyakan asal usulmu, mumpung sekarang ada waktu bersediakah kau memberitahukan soal ini kepadaku?"
Si Leng jin menghela napas panjang.
"Aaii.....soal ini lebih baik kita bicarakan lagi sesudah lukamu sembuh nanti"
Hoa In liong manggut-manggut.
"Baiklah, apakah botol porselen yang kutitipkan kepadamu itu masih ada....?"
"Masih" sabut Si Leng jin setelah tertegun sejenak, "mau apa kau?"
Dari sakunya ia mengeluarkan botol itu dan di serahkan kepada Hoa In liong, kemudian katanya lagi:
"Sebenarnya sejak semula obat ini hendak kuberikan kepadamu, tapi berhubung Seng To cu ada disamping dan kaupun tak mampu berkutik maka niatku ini kemudian kubalalkan"
Hoa In liong tertawa hambar:
"Kini apakah lukaku bisa disembuhkan atau tidak, terpaksa kita harus menggantungkan pada kemujaraban obat ini"
"Obat mustika apakah itu? Bagaimana kemanjurannya?" tanya Si Leng jin tercengang.
"Pil ini bernama Yau ti, dibuat oleh Bu seng (malaikat ilmu silat) pada tiga ratus tahun berselang"
"Malaikat ilmu silat?" tanya Si Leng jin sambil membelalakan sepasang matanya lebar-lebar.
"Yaa, malaikat ilmu silat Im locianpwe yang namanya pernah tersohor dalam dunia persilatan pada tiga ratus tahun berselang.....
..." sahut Hoa In liong sambil tertawa.
"Kenapa aku tidak mengetahui tentang lo-cianpwe ini" tukas Si Leng jin tiba-tiba," padahal persoalan sekitar keturunan malaikat ilmu silat tak ada yang lebih jelas dari pada keluargaku"
Mendengar ucapan tersebut, hati Hoa In liong segera tergetak, pikirnya kemudian:
"Aaaa, kalau begitu dia pastilah keturunan dari Tin Hoo yang ada diluar perbatasan, kalau tidak kenapa ia mengucapkan kata-kata ini?"
Jilid IX
Tiba-tiba terdengar Si Leng jin berseru: "Kalau toh kau mempunyai obat mujarab ini kenapa tidak kau makan sejak dulu dulu?" Hoa In liong menghela napas panjang.
"Aaaai..... kau tidak tahu, obat ini sebenarnya hendak kugunakan untuk menolong kawanan jago yang terkena racun ular putih dari Mo kau, bila kugunakan sekarang, hal ini sesungguhnya karena keadaan yang terlalu terpaksa"
"Sekalipun demikian, semestinya kau terangkan dulu kepadaku!" Si Leng jin kembali menegur. Hoa In liong tertawa.
"Seandainya kuterangkan kepadamu, maka kau pasti akan memaksaku untuk minum pil itu, padahal aku lebih suka mengobati luka itu dengan caraku sendiri dari pada membuang obat mustika itu secara percuma"
Kejut dan girang Si Leng jin setelah mengetahui bahwa pemuda itu bakal tertolong jiwanya, dia hanya menggerutu karena pemuda itu tak mau bicara sejak semula, dikerlingnya sekejap dengan cemas.
Kembali Hoa In liong tersenyum katanya: "Dalam obat ini terkandung juga jin som berusia seribu tahun, Hu-leng dan bahan obat lain.....
"Aku tahu obat ini adalah obat mustika yang dibuat Bu seng pada tiga ratus tahun berselang" tukas Si Leng jin cepat, "dengan obat mustika semacam ini, lukamu seratus persen pasti akan sembuh"
Tiba-tiba suatu perasaan masgul muncul dalam hatinya, untuk sesaat ia merasa hubungannya dengan Hoa In liong menjadi terpaut jauh sekali.
Sebagaimana diketahui Si Leng jin adalah seorang gadis yang tinggi hati dan angkuh, pemandang remeh soal hubungan cinta antara muda mudi, tapi perempuan semacam ini bila sekali jatuh cinta maka ukurannya adalah mati dan hidup.
Sudah beberapa kali ia berjumpa dengan Hoa In liong, berjumpa yang berulang membuatnya jatuh hati oleh kegagahan serta kejantanan-nya itu, dengan lagi terlukanya Hoa In liong kali ini adalah gara-gara ulahnya, diam-diam ia telah bersumpah kehendak hatinya, maka ia melupakan ketinggian hatinya dan tanpa ragu-ragu merawat si anak muda itu dengan penuh kesabaran, dalam pembicaraan pun penuh perasaan cinta dalam pemikirannya asal Hoa In liong sudah meninggal maka diapun akan bunuh diri untuk menyusulnya.
Tapi dikala Hoa In liong secara tiba- tiba bisa tak usah mati, meskipun ia merasa gembira tapi sedikit banyak timbul juga perasaan bahwa pada akhirnya mereka bakal berpisah.
Sesungguhnya perasaan itu kan ia sendiri hampir saja tidak merasakannya.
Mendadak Si Leng jin tersentak bangun dari lamunannya, dengan suara rendah ia berkata:
"Biar kuambilkan air untukmu, harap kongcu segera menelan obat itu sehingga kesehatanmu cepat pulih kembali seperti sedia kala"
Selesai berkata, ia lantas bangkit dan menuju ke dapur.
ketika secara tiba-tiba mendengar gadis itu merubah panggilannya menjadi "Kongcu", Hoa In liong agak tertegun, lalu pikirnya:
"Kenapa secara tiba-tiba ia malah bersikap asing padaku? Entah apa sebabnya?"
Sementara ia masin berpikir, Si Leng jin sambil membawa air teh dan sebuah botol masuk ke dalam ruangan, air teh ia letakkan di meja dan penutup botolpun dibuka, bau harum semerbak segera tersiar ke seluruh ruangan membuat orang jadi segar rasanya.
Hoa In liong segera menunjuk ke tepi pembaringan sambil berkata dengan serius:
"Cepat atau lambat menelan pil ini kasiatnya toh sama saja, lebih baik kau duduk dulu, aku ingin bercakap-cakap denganmu"
Mendengar ucapan tersebut dengan kaku Si Leng jin duduk kembali ketepi pembaringan dan menutup botol itu. Lama sekali suasana dalam keheningan, akhirnya Hoa In liong bertanya dengan suara lirih:
"Apakah aku telah membuat kesalahan kepadamu?"
Si Leng jin gelengkan kepalanya dan tidak berbicara.
"Kalau begitu kau merasa tidak puas kepadaku?" kata si anak muda itu lebih lanjut.
Si Leng jin berdiam diri beberapa saat lamanya, kemudian menjawab dengan hambar:
"Bagiku kau adalah segala budi kebaikan, jika aku tidak puas lagi kepadamu, maka aku jauh lebih rendah dari binatang"
"Kalau begitu aku menjadi tidak habis mengerti....."seru Hoa In liong dengan kening berkerut.
"Kau tidak perlu mengerti, tukas si nona.
Tiba-tiba ia letak-kan botol obat itu dimeja, keluar dari ru-angan itu.
Ia merasa hatinya amat gundah dan masgul, kalau bisa ia ingin menangis sepuasnya.
Setelah keluar dari ruangan, gadis itu kabur ke hutan bambu, ketika tiba ditanah lapang, ia menjatuhkan diri, menangislah gadis itu sejadinya.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya ia berhenti menangis, dadanya terasa lebih nyaman dan lega.
Pada saat itulah terdengar Si Nio memanggil dengan lirih:
"Nona!"
Ketika Si Leng jin berpaling maka terlihatlah sendiri entah dari kapan Si Nio telah berdiri dibelakangnya, buru-buru ia menyeka air mata dan bangkit berdiri.
Si Nio menghela napas panjang katanya:
"Kalau memang jiwanya sudah tidak terancam lagi mari kita tinggalkan tempat ini"
"Tidak!" Si Leng jin gelengkan kepalanya berulang kali "sekalipun hendak pergi, kita harus menunggu sampai lukanya betul betul sembuh kembali!"
Si Nio menggerakkan bibirnya seperti hendak menggucapkan sesuatu, tapi belum sempat berbicara Si Leng jin telah berkata lagi.
"Dahulu sifat terlalu mementingkan diri sendiri ku terlalu berat kini aku sudah mulai sadar kembali. Asal masih bisa berjuang dengan kekuatan sendiri, aku orang she Si tidak akan memohon kepada orang!"
Saking emosinya mungkin, perkataan itu diucapkan sampai beberapa kali banyaknya.
Menyaksikan sikap nonanya, terpaksa Si Nio berkata:
"Baiklah segala sesuatunya terserah kepada nona
Setelah berhenti sejenak ia menambahkan:
"Aku lihat orang she Hoa itu lumayan juga, baik kecerdasan maupun ilmu silatnya tak ada yang cacad, walaupun waktunya terlalu binal itupun bukan suatu cacad benar....."
"Bahkan akupun sudah menjadi paham, kenapa kau malah tak habis mengerti?" tukas Si Leng jin.
Setelah tertawa getir ia melanjutkan-nya.
"Benar, aku mencintainya tapi bagaimana sikapnya kepadaku aku tak dapat dan tak ingin mengetahuinya sekarang.....lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan lagi, mari kita pergi?"
"Sekarang, bagaimana pula dengan nona?" tanya Si Nio kebingungan.
Si Leng jin tertawa katanya:
"Biarpun sikapku terlalu tak sopan, sekarang aku hendak minta maaf kepadanya"
Melihat diantara senyumannya terselip kegetiran, Si Nio tertegun, ketika dilihatnya gadis itu sudah maju ke depan, buru buru ia mengikuti dibelakangnya.
Tiba tiba Si Leng jin menghela napas panjang, lalu berkata:
"Si Nio, demi keluargaku kau telah mengorbankan segala-galanya, sebaliknya keluarga kami sama sekali tidak pernah membalas budi kebaikanmu itu.....
"Nona, mengapa kau mengucapkan kata-kata semacam itu?" seru Si Nio dengan cemas, "sekali pun aku harus mati seratus kali demi majikan tua itu pun sudah sepantasnya"
Si Leng jin sedih, ia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan gubuk itu.
Si Nio sambil mengikuti dibelakangnya, diam-diam berpikir:
"Watak nona selalu keras kepala, kesulitan apapun selalu hanya disimpan dihati, kalau dilihat dari mimik wajahnya itu rupanya ia telah mengambil suatu keputusan, semoga saja jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kalau tidak dimana aku musti taruh wa jahku bila bertemu dengan arwah majikan di alam baka nanti?"
Pikir punya pikir akhirnya semua kesalahan ia limpahkan keatas pundak Hoa In liong, diam-diam sumpahnya.
"Sialan betul bajingan muda itu, kalau nona sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku pasti akan beradu jiwa denganmu!"
Selang sesaat kemudian mereka sudah tiba kembali didepan rumah gubuk itu.
Si Leng jin segera menerobos masuk kedalam ruangan, ia jumpai Hoa In liong masih berbaring dipembaringan, obat itu belum di makan dan botolnya masih berada ditempat semula."
Ketika menjumpai gadis itu berjalan masuk ke dalam ruangan, sambil tertawa ia lantas berkata:
"Aku mengira kau tidak akan kembali lagi"
Si Leng jin tertegun, bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan suatu tapi tenggorokannya serasa tersumbat dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba ia menubruk ke dalam rangkulan Hoa In liong dan memeluknya erat-erat.
"Belum pernah ada orang yang begitu memperhatikan diriku ....."bisiknya sambil menangis:
Dengan penuh kasih sayang, Hoa In liong membelai rambutnya, lalu berbisik lembut:
"Aku tahu kau sangat menderita, banyak persoalan yang telah menyiksa dirimu selama ini"
Sambil menangis tersedu-sedu Si Leng-jin berkata:
Ketika aku berusia lima tahun, ibu telah tiada, ayah mempunyai ambisi yang sangat besar untuk membangun suatu kekuasaan besar didunia, ia tak punya cukup waktu untuk berkumpul denganku......."
Diam-diam Hoa In-liong berpikir: "Sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang, ayahnya jauh pula darinya, seorang anak yang tanpa kasih sayang dari orang tuanya memang merupakan suatu kejadian yang tragis"
Terdengar Si Leng jin berkata lagi sambil menangis terisak:
"Ketika aku berusia sepuluh tahun, tiba-tiba muncul Hian beng kaucu Ki ci Sinkun, dalam suatu pembicaraan yang kemudian terjadi merekapun bersahabat dan saling berjanji akan barsama-sama menguasai dunia"
Ketika berbicara sampai disini, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil menambahkan:
"Kau tahu ayahku......"
"Han Seng tek!" tukas Hoa In liong sambil tertawa, "bukankah dia adalah keturunan dari Tin wan ho yang ada hubungan famili dengan Bu seng pada tiga ratus tahun berselang?"
"Jadi kau sudah tahu?" tanya Si Leng jin tercengang.
Hoa In liong kembali tersenyum.
"Gwakong yang memberitahukan kepadaku, dia orang tua adalah bekas ketua Sin ki pang dimasa lalu, katanya juga bahwa ayahmu sudah kena ditangkap orang......"
Setelah berhenti sebentar, kembali ujarnya:
"Menurut pembicaraan tadi, ayahmu dan Kok See piau yang mengaku bernama Sinkun itu mempunyai hubungan yang intim, sesungguhnya apa yang telah terjadi?"
"Aaaai.......hubungan apa? Apalagi kalau bukan mengundang setan masuk rumah"
"Bersediakah kau memberi penjelasan lebih mendalam lagi?"
Si Leng jin manggut-manggut.
"Peristiwa itu terjadi pada dua tahun berselang, entah dengan cara apa ternyata Kok See piau berhasil menyuap seorang pelayanku yang bernama Si Thong pada waktu itu, diam-diam bangsat tersebut telah mencampuri makanan dan minuman ayahku dengan racun pembuyar tenaga yang bekerja lambat, menanti ayahku menyadari akan hal ini keadaan sudah terlambat, maka setelah membunuh penghianat tersebut, beliau menitahkan kepada Si Nio untuk mengajakku melarikan diri"
Sambil menggigit bibir tambahnya kemudian dengan nada penuh kebencian"
"Wajah Si Nio, telah hancur ditangan bajingan anjing she Kok tersebut!"
"Sungguh kejam hati Kok See piau, sungguh busuk perbuatannya" kata Hoa In liong kemudian sambil mengerutkan dahi, "hmmm..., hmmm......aku ingin melihat perbuatan terkutuknya itu dapat bertahan sampai berapa lama?"
"Yaa, dendam berdarah ini bagaimanapun juga harus dituntut balas!" katanya.
Hoa In liong termenung sebentar, lalu katanya kemudian:
Lantas dengan cara apakah kalian melewati penghidupan selama dua tahun belakangan ini?"
Mula-mula kami kabur kebarat lalu ketimur untuk mencari keselamatan, untungnya Kok See piau tidak terlampau memandang serius atas diriku dan Si Nio, selain daripada itu sebagian anak buah Hian
beng kau sekarang adalah anak buah ayahku, sejak ayahku tertangkap, mereka dipaksa untuk menggabungkan diri, sekalipun ada juga di antaranya yang rela berpihak kepada musuh tapi sebagian besar masih setia kepada kami, mereka terpaksa harus menjalankan perintah musuh lantaran ayahku masih berada ditangan mereka, sebab itulah merekapun tak berani memberontak, tapi kemudian......,
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak ia tutup mulut.
"Bagaimaaa selanjutnya?" tanya Hoa In liong.
Agak merah wajah Si Leng-jin karena jengah, katanya.
"Kok See piau mengutus orang untuk menyampaikan pesan kepada kami yang katanya bila kami dapat membunuh salah seorang anak dari Thian-cu-kiam, maka dia akan segera membebaskan ayahku!"
0000O0000
48
Mendengar perkataan itu, Hoa In liong segera berpikir:
"Oooh......... rupanya beginilah duduknya persoalan, tak heran kalau niat mereka untuk membunuh adalah begitu besar dan berkobar-kobar, terutama dalam perjumpaan yang pertama kalinya dulu........"
Berpikir demikian, diapun tertawa tergelak, lalu katanya:
"Kematianku sih urusan kecil cuma benarkah Kok See piu mau menepati janjinya?"
"Hei, orang kan sedang menyesal setengah mati, kenapa kau bicarakan kembali persoalan itu?" bisik Si Leng jin.
Setelah berhenti sejenak, ia berkata lagi: Cuma, aku rasa ia pasti akan menepati janjinya untuk melepaskan diri ayahku"
"Oya? Darimana kau bisa berkata demikian ....?" tanya Hoa In liong sambil tertawa"
"Kepandaian silat yang dimiliki ayahku telah punah sama sekali, hakekatnya beliau tak lebih hanya seorang cacad, jelas bukan merupakan suatu ancaman serius baginya, ditambah pula jika kami berhasil memenuhi syaratnya, itu berarti kami dengan keluarga Hoa telah saling berhadapan sebagai musuh bebuyutan, tentu saja dia tak usah kuatir kalau kami kabur ke pihakmu dengan membocorkan rahasianya, selain dari pada itu, ia berambisi menguasahi dunia persilatan, itu betarti ia harus memupuk kewibawaan baginya sendiri, jika tidak pegang janji, siapa pula yang akan bersedia menjual nyawa baginya?"
"Sungguh cermat sekali jalan pikirnya" pikir Hoa In liong, "agaknya ia tak akan melakukan segala tindakan secara gegabah"
Maka sambil tersenyum ujarnya: "Tenaga dalam ayahmu telah buyar, seandainya kau berhasil menyelamatkan dirinya, apa pula yang hendak kau lakukan?" Sahut Si Leng jin dengan sedih:
"Seandainya Thian mengabulkan permintaanku dan membiarkan kami ayah dan anak bisa berkumpul kembali, Aku Si Leng jin pasti akan mengajak ayahku untuk hidup mengasingkan diri, apa lagi yang bisa kuinginkan? Sekalipun ilmu silat ayahku telah punah, toh jiwanya masih dilindungi Thian, hal ini sudah merupakan suatu keberuntungan ditengah kemalangan.
Diam-diam Hoa In liong merasa kagum sekali atas kebaktian gadis itu terhadap ayahnya, mendadak ia seperti teringat akan suatu persoalan, segera tanyanya:
"Sebenarnya, siapakah pembunuh sebenarnya dari kasus pembunuhan atas keluarga Sumi?" Apa bukan Yu si dan Cia Hoa yang turun tangan, Kok See-piau dan Kiu im kaucu mendalangi dari belakang??
Hoa In liong termenung sejenak kemudian katanya"
"Kok See piau dan Kiu im kaucu memang tak dapat terlepas dari persoalan ini, cuma kemungkinan besar masih ada latar belakang lainnya"
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut dengan suara nyaring:
"Leng jin, tentang persoalanmu sesungguhnya akan menjadi beres asal perkumpulan Hian beng kau berhasil dimusnahkan, cuma hal itu merupakan suatu pekerjaan yang sulit, maka lebih baik janganlah berbuat secara sembrono lebih dulu. Nah, sekarang aku hendak makan obat dulu untuk menyembuhkan lukaku"
Untuk pertama kalinya ini ia memanggil nama Si Leng jin secara langsung, gadis itu segera merasakan hatinya menjadi hangat dan manggut berulang kali, iapun mencabut penutup botol itu dan me ngeluarkan dua butir pil sebesar kelengkeng yang menyiarkan bau harum semerbak, sambil diangsurkan ke hadapan Hoa In liong katanya:
"Pil mustika semacam ini kebanyakan akan hancur begitu kena air liur, percuma mengambil air sebagai pendorong, hayo telanlah obat ini dengan cepat"
Melihat tangan si nona yang halus dan lembut dan hampir sebanding dengan pil Yau ti wan tersebut, Hoa In liong begera berseru memuji:
Walaupun pil mustika itu mujarab tapi jauh lebih menyenangkan tangan yang halus itu, mari biar kurabahnya dulu.
Merah padam wajah Si Leng jin karena jengah, serunya cepat:
"Kalau kau ngaco belo lagi, aku segera akan pergi dari sini dan perduli dengan mati hidupmu"
"Obat itu cukup sebutir saja, tolong kembalikan yang lain kedalam botol!"
"Lukamu begini parah, dua butir pil pun belum tentu sembuh, perduli amat dengan kawanan jago yang sedang keracunan itu? Apa lagi untuk membebaskan pengaruh racun jahat, toh belum tentu musti mempergunakan obat mustika ini" kata si nona manja.
Dengan wajah serius Hoa In liong berseru:
"Leng jin, menjadi orang kita tak boleh terlalu mementingkan diri sendiri, kita jangan melupakan kepentingan umum, nah simpanlah baik-baik obat tersebut"
Melihat keseriusan orang, Si Leng jin tak berani bergurau lagi, dia simpan baik-baik sebutir obat mustika itu dan memberikan yang lain kepada pemuda itu.
Setelah menelan pil Yau ti wan, Hoa In liong pejamkan mata dan mulai duduk bersila sambil mengatur pernafasan.
Si Leng jin duduk menanti di sampingnya, dengan wajah yang terang dan sinar mata yang tajam, ia awasi wajah Hoa In liong lekat-lekat, rasa girang membuat wajahnya berseri, kesedihan dan kemurungan yang dulu menghiasi wajahnya kini tersapu lenyap tak berbekas.
0000O0000
0000O0000 0000O0000
kota Wi Leng sian terletak dipantai selatan Hway-ho, tempat itu merupakan persimpangan lalu lintas penting yang menghubungkan kota Hway-im dengan Si ciu.
Suatu hari, dari selatan pintu kota Wi-leng sian telah muncul seorang kakek dan dua orang gadis muda.
Yang tua bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, mukanya penuh keriput, jenggot sepanjang dada, membawa tasbeh, memakai jubah abu-abu khas kependetaan dan bersepatu rumput, tampaknva dia adalah seorang pendeta tua yang hidup dengan berkeliling.
Sedangkan yang muda adalah dua orang gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, mereka mengiringi ke kiri kanan pendeta tua tersebut.........
Gadis disebelah kiri memakai baju ungu dengan sanggul yang tinggi, gaun panjang dan berwajah lembut.
Sebaliknya gadis yang ada disebelah kanan mempunyai wajah yang luar biasa cantiknya, ia bermata jeli, berhidung mancung, berbibir kecil dan bertubuh ramping, suatu tipe gadis ideal yang sukar dicarikan keduanya didunia ini.
Ternyata ketiga orang itu tak lain adalah Goan cing taysu keturunan dari Malaikat silat beserta buyut perempuannya Coa Wi wi dan murid Pui Che giok, itu kaucu dari Cian li kau yang bernama Cia In.
Seorang pendeta tua melakukan perjalanan bersama-sama dua orang gadis muda hal ini sudah merupakan suatu pemandangan yang amat mencolok, ditambah lagi kecantikan Coa Wi wi dan Cia In menawan hati orang, kehadiran mereka semakin banyak menarik perhatian orang yang bersama-sama mengalihkan pandangannya ke arah rombongan mereka.
Melihat itu, Coa Wi wi mengerutkan dahinya sambil menyumpah.
"Huuuh, sialan!" Kepada Cia In tambahnya: "Betul bukan enci In?"
Cia In hanya tersenyum dan tidak memberi tanggapan.
Melibat rekannya cuma diam saja, Coa Wi wi segera berseru lagi dengan manja:
"Hmm, Makin lama enci In semakin membisu macam patung, seakan akan berubah menjadi orang lain saja, tidak bisa tidak, kau harus menjawab pertanyaanku dengan segera"
Lantaran didesak terus, terpaksa Cia In menyahut setelah tertawa-tawa.
"Kecantikan adik Wi bak bidadari dari kahyangan, tentu saja sepanjang kehadiranmu memancing perhatian mata para lelaki"
"Beeh..........tampaknya enci In lagi menyindir diriku? Kenapa tidak kau katakan kalau lantaran kau?"
Cia In tersenyum.
"Aku jelek dan berwajah tak sedap dilihat, mana berani dibandingkan dengan adik Wi?" katanya.
Coa Wi wi hendak mendebat lagi tapi Goan cing Taysu segera menukas:"
"Anak Wi, jangan kau ganggu terus enci In mu itu!"
"Huuuh, semuanya ini adalah hasil pelajaran dari kongkong" seru Coa Wi wi sambil mencibirkan bibirnya yang kecil, "Kalau tidak, mana mungkin enci In dapat berubah menjadi begini rupa? Kalau lain waktu enci In masih saja disuruh membaca kitab Kim cong ceng atau sebangsa kitab sembayangan lainnya, akan kubakar buku-buku itu sampai habis......!"
"Ngaco belo!" bentak Goan cing taysu sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, "kau tahu perbuatan itu dosa?"
"Aku tak ambil perduli dosa atau tidak, pokoknya aku tak mau kalau sepanjang hari enci In cuma membungkam melulu macam sebuah patung arca saja"
"Andaikata kongkong menerangkan terus isi pelajaran Buddha kepadaku mau apa kau? kata Cia In kemudian.
Coa Wi wi kontan saja melotot, serunya cepat "Aku akan memukul tambur disampingnya dengan keras akan kulihat dengan cara apa dia akan memberi pelajaran kepadamu"
Mendengar perkataan itu, baik Goan cing taysu maupun Cia ln segera tersenyum.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berdandan pelayan menghadang jalan pergi mereka, sambil memberi hormat katanya.
"Rumah makan kami mempunyai hidangan yang lezat, silahkan taysu mampir?"
Goan cing taysu diam diam berpikir:
"Ooh.....rupanya ada warung makan yang menarik pendeta untuk mengunjunginya?"
Pada dasarnya ia memang seorang pendeta yang tidak terikat ketat oleh peraturan, diapun tidak kuatir orang-orang itu main gila kepadanya, ia segera mengangguk.
"Harap tunjukan jalan kepada kami!" Pelayan itu kembali memberi hormat.
"Harap taysu dan nona berdua mengikuti hamba.
Cia In adalah seorang pendekar perempuan yang telah berkecipung dalam dunia persilatan semenjak kecil, sekilas pandang saja setelah mengetahui bahwa urusan agak kurang beres tapi ia tidak berbicara apa-apa.
Sebaliknya Coa Wi wi pada dasarnya memang tak berminat untuk mengurusi hal-hal tersebut maka tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berjalan mengikuti dibelakang kongkongnya.
Tak lama kemudian sampailah mereka didepan sebuah rumah makan yang mentereng sekali, kehadiran mereka diantar langsung oleh ciangkwe keatas loteng.
Setelah ambil tempat duduk, ciangkwe itu lantas bertanya kepada Cia wi wi dan Cia In:
"Tolong tanya apakah nona berdua....."
"Akupun berpantang makan barang berjiwa" tukas Cia In cepat.
Dengan suara rendah Coa Wi wi segera berbisik:
"Hei, sepanjang jalan begini terus makan yang kau pesan padahal usiamu toh masih muda, kenapa musti begitu?"
Cia In pura-pura tidak mendengar, hal mana membuat Coa Wi wi segera mencibirkan bibirnya yang kecil karena mendongkol.
Sementara itu sang ciangkwe telah berpaling kearah Coa Wi wi sambil bertanya:
"Dan nona pesan apa......."
"Sama seperti pesanan mereka!" seru Coa Wi wi sambil ulapkan Tangannya dengan mendongkol:
Ciangkwe pun mengiakan berulang kali dan mundur dari situ.
Tak lama kemudian hidangan telah siap dan mengalir datang dengan cepatnya, semua hidangan itu berbau harum dan tampaknya lezat, tempat sayurpun terbuat dari tembikar dan sendoknya terbuat dari perak.
Menyaksikan kesemuanya itu, dengan dahi berkerut Coa Wi-wi segera berseru:
"Buat apa sebanyak ini? Kami toh cuma bertiga saja"
Untuk menghormati keturunan dari Bu Seng, mana boleh hanya menghidangkan beberapa macam sayur saja" sambung Cia In sambil tertawa.
Kemudian sambil menuding sendok-sendok itu terusnya:
"Coba lihatlah, untuk menghilangkan kecurigaan kami, sengaja mereka memakai sendok yang terbuat dari perak untuk kita"
Coa Wi wi memang seorang gadis yang cerdik, begitu diingatkan diapun menjadi paham kembali dengan duduknya persoalan, dia lantas berbisik dengan lirih:
"Dari pihak Hian beng kau? Ataukah Kiu im kau?"
"Tempat ini dekat dengan Lu Lam, aku rasa lebih besar kemungkinannya dari pihak Hian beng kau" sahut Cia In sambil tersenyum.
"Nah, mereka sudah datang" tiba-tiba Goao cing taysu berkata.
Coa Wi wi pusatkan perhatiannya untuk memeriksa sekeliling tempat itu, kemudian katanya:
"Aaah benar, ada orang sedang bertanya kepada ciangkwe, kita ada dimana, Ciangkwe menjawab kita ada diruang nomor empat, ehm! Dia sudah naik keatas"
Buru-buru Cia In mengerahkan tenaga dalamnya ke telinga untuk ikut mendengarkan pembicaraan tersebut tapi tiada suara apapun yang terdengar, sambil tertawa ia lantas berseru:
"Waah, tampaknya tenaga dalam yang dimiliki orang itu jauh lebih tinggi daripada aku"
"Siapa suruh waktumu kau habiskan diatas kitab sembayangan daripada kemajuan yang kau capai...."
Tiba-tiba tirai disingkap orang dan masuklah seorang kakek berkulit merah dan bertubuh tinggi besar, Coa Wi wi segera menutup mulutnya rapat-rapat.
Kakek bermuka merah itu memandang sekejap ketiga orang itu, kemudian memperhatikan pula wajah Coa Wi wi sekejap, akhirnya sambil menjura kepada Goan cing taysu katanya:
"Hanya hidangan yang tak seberapa untuk menyambut kedatangan taysu, bila ada kesalahan mohon maaf"
Goan cing taysu segera membalas hormat sambil menyahut:
"Terima kasih atas sambutan dari sicu, maaf jika mata lolap........."
Sambil tertawa seram kakek bermuka merah itu menukas:
"Lohu adalah Tang Bong liang, atas kebaikan sinku kini menjawab di bagian bidang administrasi"
"Ooooh rupanya adalah Tong thamcu, maaf kalau lolap kurang hormat"
Setelah berhenti sejenak, ia bertanya lagi: "Dengan maksud apa Tong thiamcu datang kemari?"
"Lohu sedang menjalankan tugas dari sinku untuk menyampaikan surat undangan.
Dari sakunya ia mengeluarkan sepucuk surat undangan merah dan diangsurkan ke depan, katanya lagi:
"Sebenarnya sudah lama surat undangan ini di bagi, tapi berhubung kedudukan taysu berbeda maka sinkun khusus mengutus lohu untuk menyampaikan sendiri, sebab itulah tertunda sampai sekarang"
Melihat pihak lawan datang dengan sikap hormat, Gon cing taysu tak berani berayal, setelah menyambut uudangan tersebut sahutnya sambil tersenyum:
"Aaah, lolap tak lebih hanya manusia dari gunung, sikap atasanmu yang begitu memandang tinggi diriku sungguh membuat lolap merasa malu sendiri"
Undangan itupun dibuka dan terbaca tiga baris kata:
"Ditujukan untuk yang terhormat Gon cing taysu.
Pada hari Toan yang nanti, kami hendak menyelenggarakan upacara peresmian perkumpulan kami di Ou gou penag dalam wilayah Ci mong mengharapkan kedatangan saudara"
Dibawahnya tertulis tanda tangan pengundang nya.
"Murid angkatan kedua dari Bu liang-san, ketua perkumpulan Hian beng kau, Kok See piau"
Diam-diam Goan cing taysu berpikir:
"Sepanjang jalan sudah kudengar kalau Hian beng kaucu adalah Kok See piau bekas murid Bu liang sin kun, padahal Li Bu-liang tewas ditangan Bun Tay kun, dengan dicantumkannya tulisan Bu liang san, jelas Kok See piau bertekad hendak membalaskan dendam bagi kematian gurunya"
sementara ia masih termenung, Tang Bong liang telah berkata lebih lanjut:
"Undangan nona Coa disertakan pada orang tuanya, sedang nona Cia turut dalam perkumpulan Cian li kau, oleh sebab itu undangan nona berdua tidak dihantar secara khusus"
Coa Wi wi menyambut undangan dari tangan Goan cing taysu dan dilihatnya sekejap, kemudian sambil mendongakkan kepalanya ia berkata:
"Oooh, kalau itu sih urusan kecil, cuma ada beberapa persoalan yang membuatku tidak habis mengerti, apakah Tong thamcu bersedia memberi petunjuk?"
Tang Bong-liang segera tertawa terbahak-bahak. "Haahh ..........haaahhh........haaahhh.........harap nona katakan! "
"Konon perkumpulan anda akan diresmikan pada bulan empat tanggal enam, kenapa sekarang dirubah menjadi pada hari Peh-cun?"
"Yaa, karena persiapan yang terlambat terpaksa harus diundur sejauh itu" sahut Tong Bong liang sambil tertawa kering. Coa Wi wi tertawa dingin, kembali katanya:
"Disini dicantumkan Bu liang san dan Kiu ci san, jelas nama-nama itu menunjukkan dua tempat yang berbeda, kenapa bisa kau kaitkan menjadi satu hal ini sungguh membuat orang tak habis mengerti"
Paras muka Tang Bong liang agak berubah setelah mendengar perkataan itu, tapi sebentar kemudian telah pulih kembali menjadi sedia kala, sahutnya:
"Sinkun mula-mula mendapat pelajaran dari Linkong Bu liang sinkun yang berdiam di Bu liang san, selanjutnya memperoleh warisan kitab silat dari Sinkun generasi berselang, karena tak ingin melupakan asal mulanya maka kedua nama itu dicantumkan menjadi satu"
"Pandai juga orang ini berbicara pikir Coa wi wi, "dengan ucapannya tersebut seolah olah Hian Beng kaucu benar-benar adalah se orang manusia berbudi yang tidak lupa dengan asalnya"
Bibirnya lantas bergetar hendak mengucapkan sesuatu lagi tapi Goan cing taysu tak ingin perdebatan itu berlangsung terus, sambil tersenyum katanya kemudian:
"Undangan untuk Hoa tayhiap apakah telah di sampaikan?"
"Perkampungan Liok soat san ceng adalah pusat kekuatan dunia persilatan, tentu saja perkumpulan kami tak akan lupa untuk mengundangnya"
Goan cing taysu kembali berpikir setelah mendengar perkataan itu:
"Kalau Hian beng kaucu tidak yakin dengan ilmu silatnya yang lihay sehingga berani mengundang kehadiran Hoa Thian hong, sudah tentu ia mempunyai rencana busuk lainnya......"
Berpikir sampai disitu, sambil tertawa-tawa katanya kemudian:
"Lolap adalah manusia berwatak orang gunung, tulang belulangku sudah kaku dan enggan untuk kuatirnya aku hanya akan menyia-nyiakan harapan atasan kalian saja"
Ucapan itu jauh diluar dugaan Tang Bong liang, untuk sesaat ia menjadi tertegun.
"Taysu, bila kau tidak pergi sehingga dari pihak Malaikat Silat tak ada wakilnya, hal mana tentu akan mengurangi kesemarakannya upacara peresmian itu" Goan cing taysu tertawa-tawa.
"Selama hidup lolap tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, aku pun tidak mempunyai nama besar, hadir atau tidak sebetulnya tak usah dipersoalkan secara serius"
Diam-diam Tang Bong liang gelisah sekali, biji matanya segera berputar, lalu sambil sengaja tertawa angkuh ujarnya:
Sinkun ada maksud untuk membuka suatu pertemuan ilmu silat dalam upacara peresmian itu, mengingat banyaknya manusia yang mencari nama dalam dunia persilatan, sudah barang tentu mereka yang mencabut nama besar belaka tak akan berani hadir pada waktunya ........
Coa Wi wi mendengus dingin, tiba-tiba selanya:
"Jadi kau ingin menyaksikan kehebatan dari Bu seng? Itu sih gampang, nah sambutlah sebuah pukulan ini."
Telapak tangannya sudah diangkat keatas siap untuk melepaskan sebuah pukulan.
Tang Bong liang merasa terkesiap, segera pikirnya:
"Ditinjau dari beberapa kali pengalaman pertarungan yang berlangsung, agaknya ilmu yang dimiliki dayang ini jauh diatasku, apa lagi dengan demikian akan mengakibatkan terjadinya bentrokan langsung dengan keluarga Coa, aku harus menahan diri...,....."
Berpikir demikian ia tidak menyambut ataupun menghindar, sebaliknya malah mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Sudah barang tentu Coa Wi wi tak dapat turun tangan terhadap orang yang tidak membalas, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia menarik kembali telapak tangan-nya sambil berkata:
"Kalau toh kau berani pandang remeh ilmu silat Bu seng, mengapa tak berari menyambut seranganku ini?"
"Aaah............siapa bilang kalau lohu pandang remeh?" kata Tang Bong liang sambil berhenti tertawa.
"Sudah jelas kau bilang.............." teriak Coa Wi wi dengan gusar.
Mendadak is sadar bahwa dalam perkataan Tang Bong liang tadi meski ada nada memandang remeh, sesungguhnya yang dimaksud adalah mereka-mereka yang tidak menghadiri pertemuan yang akan dise-lenggara kan Hian Beng kau, maka iapun berkata kembali:
"Apanya yang luar biasa dengan upacara peresmian perkumpulan Hian Beng kau? Berani betul mengundang para enghiong dari seluruh kolong langit......?"
Tang Bong liang hanya tertawa-tawa belaka, sinar matanya segera dialihkan ke wajah Goan cing taysun.
Sementara itu Goan cing taysu termenung sebentar, tiba-tiba sepasang matanya dipentangkan dan memancarkan sinar yang amat tajam.
Ketika sinar mata Tang Bong liang saling membentur dengan sepasang mata Goan cing taysu, ia merasakan bahwa ketajaman mata pendeta itu ibaratnya dua bilah pisau yang tajam sekali menusuk ke ulu hatinya, ia merasa amat terkesiap.
"Tajam amat penglihatan hwesio ini" sempurna betul tenaga dalamnya..." demikian ia berpikir.
"Omitohud?" Goan cing berseru memuji keagungan Buddha. "lolap merasa tak berilmu dan tak berani menghadiri pertemuan semacam itu.....
"Jadi taysu bersedia untuk menghadirinya sekarang?" sela Tang Bong liang cepat.
"Tak usah kuatir Tong tham cu, sampai waktunya lolap pasti akan sampai....."
Diam-diam Tang Bong liang merasa girang, katanya kemudian:
"Kalau memang taysu bersedia datang, upacara peresmian perkumpulan kami nanti tentu akan berttambah semarak, para jago yang hadir dalam pertemuan ini pun dapat menyaksikan, kelihayan dari jurus silat malaikat silat.....hal ini akan merupakan suatu atraksi yang menarik"
Sinar matanya dialihkan kembali ke wajah Coa wi wi, kemudian ujarnya sambil tertawa.
"Nona Coa sekalian menempuh perjalanan melewati tempat ini apakah kalian hendak ke kota Si ciu?"
"Buat apa tanya-tanya?" kata Coa wi wi ketus. Tang Bong liang tertawa tergelak.
"Haah.....haaa ....aaah....bi1a kalian bukan pergi mencari Hoa ji-kongcu, tentu saja lohu tak usah banyak bicara tapi kalau memang benar......
Coa wi wi dapat menangkap bahwa dibalik ucapannya masih ada perkataan lain, dengan perasaan tercekat dia lantas berseru:
"Kenapa dia?"
Paras muka Cia In pun berubah hebat, dengan sinar matanya yang jeli ia berpaling pula ke arah orang she Tang itu.
Tang Bong liang kembali tertawa terbahak-bahak "Haaah... hahh.....haaah..
kurang lebih setengah bulan berselang, Tong thian kaucu Thian Ik cu salah seorang pentolan dari tiga maha besar dunia persilatan muncul secara mendadak dikota Si ciu dan mencari Hoa kongcu, pertarungan seru yang berlangsung mendadak terhenti dan merekapun masuk ke dalam gedung sambil bergandeng tangan"
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "kemudian apakah Hoa kongcu dan Thian Ik cu menjadi bersahabat atau bermusuhan terus lo hu kurang lebih tahu"
Meskipun Coi wi wi tidak begitu Jelas dengan manusia yang bernama Tiga pembawa bencana itu, tapi dari namanya bisa diketahui bahwa orang itu adalah seorang manusia jahat yang berhati busuk.
Berbeda dengan Cia In, gurunya Pui Che giok dahulunya adalah dayang Giok teng hujin dan ikut menyusup dalam tubuh Tong thian kau,
dia tahu bagaimanakah kebiasaan dari orang-orang perkumpulan tersebut, hatinya kontan bergetar keras sehingga tanpa sadar serunya?"
Tang Bong liang melirik sekejap kearahnya, lalu menyabut:
"Konon Hoa kongcu dan Thian Ik cu telah berangkat secara rahasia pada malam harinya, kemana mereka pergi hingga kini belum ada kabarnya, itupun berbasil lohu ketahui sewaktu sedang membagi undangan"
Cia In dan Coa wi wi saling berpandangan sekejap, lalu sama sama memperlihatkan wajah yang murung.
Terdengar Tang Bong liang berkata lebih berlanjut:
"Dari sini menuju ke utara, dalam setiap kota besar tentu ada rumah makan yang khusus disediakan perkumpulan kami untuk menerima tamu agung, saudara sekalian boleh makan minum dan menginap secara gratis"
Sampai disitu diapun menjura sambil menambah: "Kini tugas lohu telah selesai, aku ingin mohon diri terlebih dahulu...."
"lolap tak akan mengantar lebih jauh lagi!" Goan cing taysu merangkap tangganya balas memberi hormat.
Tanpa berbicara lagi, Tang Bong liang segera putar badan dan mengundurkan diri dari situ.
Sepeninggal jago dari Hian beng kau itu, Coa Wi wi lantas bertanya:
"Kongkong, menurut pendapatmu mungkinkah jiko telah ketimpa musibah.....?"
Walapun dihati kecilnya merasa murung dan kuatir, senyuman masih tetap mengahiasi ujung bibir Goan cing taysu, sahutnya:
"Jangan lagi kepandaian dan keberesan Liong ji luar biasa, berbicara diri raut wajahnya dapat diketahui bahwa ia bukan manusia yang berumur pendek, harap kau tak usah kuatit"
Mendadak Cia In bangkit sambil berkata:
Aku akan mencoba untuk mencari berita dari kantor cabang perkumpulan kami yang ada dikota ini.
"Ehm, cepatlah pergi dan cepat kembali" katanya.
Buru buru Cia In beranjak dan meninggalkan rumah makan itu, tak lama kemudian ia muncul kembali dengan wajah masih murung
"Enci In, kabar apa yang kau peroleh?" Coa wi wi segera berseru.
Cia In tertawa paksa, sahutnya:
Orang-orang yang berada disini mempunyai jabatan yang terlampau rendah, mereka tidak begitu jelas, rasanya jika ingin tahu keadaan yang sebenarnya kita harus kekota Si ciu.
Goan cing taysu mengangguk.
"Yaa, dari sini sampai Si ciu hanya terpaut dua ratus li, asal berangkat sekarang sore nanti pasti telah sampai!"
Berbicara sampai disitu, mereka bertiga pun tidak banyak bicara lagi, tanpa bersantap mereka turun untuk membayar rekening, tapi ciangkwe tak mau menerima bayaran, karena enggan banyak ribut, Coa Wi wi melemparkan sekeping uang kemeja lalu berlalu dari situ.
Setelah keluar dari pintu kota, mereka tidak ambil perduli lagi apakah jalanan ramai atau tidak, tanpa sangsi lagi mereka bertiga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk melakukan perjalanan.
Goan cing taysu kuatir tenaga dalam Cia In masih ketinggalan jauh, maka ia tarik tangan kanannya dan menyeret gadis itu untuk melakukan perjalanan dengan cepat.
Kepandaian silat yang dimiliki Coa wi wi memang betul-betul amat sempurna, apalagi kepandaian yang dimiliki Goan cing taysu, sore itu mereka telah sampai dikota Si Ciu.
Baru masuk kekota, mereka telah bertemu dengan Cia Sau yan, kontan saja Cia In bertanya:
"Hoa kongcu berada di mana?"
Cia Sau-yan tidak menjawab secara langsung, ia memberi hormat lebih dulu kepada Goan cing taysu, kemudian baru menyapa Coa Wi wi.
"Tak usah banyak adat" katanya.
"Enci Yan, sebenarnya jiko berada di kota Si ciu atau tidak?" dengan tak sabar Coa Wi wi bertanya.
Cia Sau yan memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil tertawa paksa katanya:
"Bila ada persoalan lebih baik kita bicara saja dalam rumah!"
Ia memutar badannya dan berjalan lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian mereka berempat tiba digedung tersebut dan langsung masuk ke ruang dalam.
Waktu itu dua bersaudara Kiong sedang duduk dalam ruang tengah, ketika mendengar suara langkah manusia ia maju menyongsong kedepan pintu, tapi begitu menjumpai Coa Wi wi mereka agak tertegun.
Secara ringkas Cia Siau yan memperkenalkan mereka semua, lalu tak sempat duduk lagi dia berkata:
"Setengah bulan berselang, Hoa In liong dan Thian Ik cu telah berangkat ke bukit Ho san di wan see"
"Mau apa dia kesana?" tanya Coa Wi wi.
"Menurut perkataan Thian Ik cu, katanya ada sekelompok jago dari daratan Tionggoan yang terkena racun jahat ular emas dan tersekap di bukit Ho San, mendengar berita itu Hoa kongcu segera berangkat untuk memberi pertolongan!"
"Apakah waktu itu Somoay juga hadir disana?" tiba-tiba Cia In bertanya.
"Yaa, aku hadir!"
Dengan dahi berkerut dan suara menegur, Cia in segera berseru:
"Sumoay, bukankah dihari-hari biasa suhu selalu memperingatkan kita bahwa Tong thian kau adalah sekawanan manusia licik yang banyak tipu muslihatnya, mengapa kau tidak mencoba untuk menghalanginya? Semuanya ini, kaulah yang salah"
Dengan wajah malu Cia Sau yan menundukkan wajahnya rendah-rendah.
Pergaulan selama beberapa hari ini diantara dua bersaudara Kiong dengan Cia sau yan membuat hubungan mereka bertambah intim, melihat keadaan itu, Kiong Gwat hui segera menyela:
Dalam masalah ini enci Yan tak bisa disalahkan, waktu itu kami dua bersaudara, Siang huan toh mi (sepasang gelang pencabut nyawa) Tiang Ji san dan Hoo Kee sian dari Sin ki pang hadir pula ditempat tersebut, tapi ling dan Ho dua orang cianpwe sama sekali tidak bermaksud untuk menghalangi kepentingan"
"Ooooh..... begitu!" dengan nada minta maaf, coa In berkata kemudian, "kalau begitu akulah yang telah salah menegur, harap sumoay sudi memberi maaf"
Cia Sau yan menghela napas panjang, katanya:
"Siau moay memang bersalah. Cuma siapakah yang bisa mengurusi persoalannya Hoa kongcu? Apalagi menurut pengamatan Siau moay atas
tingkah laku Thian Ik cu, kami benar-benar tidak menemukan sesuatu gejala yang mencurigakan"
"Tapi betapa jahatnya Thian Ik cu itu?" seru Coa Wi wi dengan cemas, "bagaimanakah tingkah lakunya ketika itu?"
"Urusan yang lewat lebih baik tak usah dibicarakan lagi" Kata Cia Sau yan kemudian setelah berpikir sebentar, "biarlah kuceritakan kembali keadaan waktu itu"
Setelah berhenti sebentar, diapun mulai menceritakan bagian ketika Thian Ik cu mendatangi kota Si ciu, menjajal kepandaian Hoa In liong, lalu bagaimana masuk kerumah untuk berunding dan bagaimana berusaha untuk menolong orang.......
Ketika selesai bercerita, dengan sinar mata berkilat ia berkata kembali:
"Kakek nona Coa, Ting Ji san dan Ho Kee sian sekalian telah berangkat untuk memberi pertolongan, tapi sampai sekarang mereka masih belum juga kembali"
"Tentu saja" seru Coa Wi wi, "kalau engkohku sudah mengetahui akan urusan ini, sudah pasti dia tak akan berdiam diri saja"
Cia Sau yan berkata kembali:
"Murid Thian Ik cu dengan suka rela bersedia disekap beberapa lama sampai ada kabar berita tentang gurunya dan Hoa kongcu"
"itu semua cuma urusan kecil" tukas Coa In, "masih ada yang lain?"
Cia Sau yan ragu ragu sejenak, kemudian katanya:
"Menurut laporan Ho Kee sian, Ting ji san locianpwe dan Coa kongcu telah berjumpa dengan Sing To cu, suheng dari Tang kwik Siu ditengah jalan, nyaris jiwa mereka melayang dengannya, terpaksa buru-buru mereka menarik diri"
Mendengar itu, Coa Wi wi lantas berpaling ke arah Goan cing taysu dan berkata dengan cemas:
"Kongkong, apakah Jiko sanggup untuk menandingi Sing To cu?"
Selama ini Goan cing taysu hanya duduk membungkam sambil mendengarkan pembicaraan mereka, ketika mendengar perkataan itu dengan ham bar sahutnya:
Meskipun tak sanggup menandinginya, bukan suatu urusan yang susah baginya jika ingin kabur!"
"Kalau ia tak sudi kabur?" sambung Coa Wi wi dengan perasaan cemas bercampur gelisah. Goan cing taysu segera tertawa. "Liong ji adalah seorang manusia yang tahu diri, tak mungkin ia berani mengajak musuhnya beradu jiwa bila tiada manfaat apapun.
Coa Wi wi merasa sangat tak lega, serunya tiba-tiba:
"Kalau begitu biar ku berangkan kebukit Ho san"
Cia In berpaling sekejap memandang ke arah Goan cing taysu, meskipun tidak mengucapkan apa-apa tapi jelas kalau gadis inipun ingin menyusul ke sana.
Goan cing taysu lantas berkata:
"Dari sini menuju ke bukit Ho-san ada seribu empat lima ratus li, sampai di wilayah Gi mong pun ada seribu li pula, padahal saat peresmian perkumpulan Hian beng kau telah tinggal belasan hari saja, tak sempat lagi......."
Coa Wi wi segera mengerutkan dahinya.
"Wi ji ogah menghadiri peresmian itu, apa sih yang hebat untuk dilihat......?" serunya.
Goan cing taysu gelengkan kepalanya berulang kali sambil berpaling katanya:
"Nona Yan, berapa orang yang mendapat undangan dari pihak Hian Beng kau.....?"
Setelah membungkukkan badan memberi hormat sahut Cia Sau yan:
"Kau orang tua terlalu sungkan, boanpwe mana berani menerimanya"
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih jauh: "Boanpwe rasa setiap orang yang punya nama, baik ia masih berkelana atau telah mengasingkan diri, pihak Hian Beng kau pasti telah menyampaikan undangan kepada mereka, yang tidak mendapat bagian undangan tapi i-ngin melihat keramaianpun sebagian besar sudah berangkat, dewasa ini tak sedikit jumlahnya manusia yang telah meninggalkan kota Si ciu.
"Apakah dari pihak keluarga Hoa telah melakukan suatu tindakan?"
"Bun tay kun belum melakukan tindakan apa-apa, Hoa tayhiap juga belum turun gunung, ketika urusan yang mengirim undangan tersebut tiba ditengah bukit ia telah dihadang oleh kuasanya, jadi belum sampai bertemu langsung dengan Hoa tayhiap.
Setelah menghela napas, lanjutnya.
"Keluarga Hoa selalu dianggap sebagai keluarga pesilatan nomer satu didalam dunia persilatan tapi sikapnya yang sukar diraba ini benar-benar membuat umat persilatan didunia ini menjadi bingung dan tidak habis mengerti"
Kiong Gwat hui yang berada disampingnya tiba-tiba menyela.
"Sewaktu turun gunung, kali ini kami berdua sempat pula mengunjungi perkampungan Liok soat san ceng dan menyambangi Bun Tay kun, Hoa tay hiap dan dua orang Hoa hujin"
"Kalian telah bertemu?" tanya Goan cing taysu sambil tersenyum.
"Ketemu sih sudah ketemu, cuma saja Bun Tay kun sedang memusatkan semua perhatiannya untuk mendidik Suma Jin, putri pendiam Suma tayhiap, mengenai yang lain penghidupan berjalan biasa, hanya Koa toako Koa samet dan dua orang sumoay yang secara diam-diam membicarakan segala sepak terjang dan Hoa jiko, selain itu masih ada pula seorang Coa hujin.....
"Dia adalah ibuku!" kata Coa wi wi dengan mata mendelik, "bagaimana dengan dia orang tua?
"Ibumu dan kedua orang hujin bergaul dengan riang gembira, dan berpesan kepadaku bila datang ke timur maka kami diminta mampir di Kota Kiam leng dan mengajak kau bermain"
"Kenapa cici berdua tidak membicarakannya sejak tadi?" seru Coa wi wi sambil bertepuk tangan kegirangan.
Kiong Gwat hui tertawa, sahutnya.
"Tadi kau buru-buru ingin mengetahui nasib Hoa jiko, kami mana berani untuk mengganggunya
Sementara itu Goan cing taysu sedang berpikir:
Wiji hanya menguatirkan keselamalan jiko nya, ilmu silat In-ji amat cetek, beberapa orang gadis inipun tak bisa menghadapi masalah besar ini dengan sempurna......."
Setelah berpikir sebentar, serunya kemudian:
"Anak Wi!"
Menyaksikan paras muka Goan-cing taysu amat serius, buru buru Coa Wi wi meluruskan tangannya ke bawah sambil bertanya:
"Kongkong ada pesan apa?"
"Upacara pembukaan perkumpulan Hian beng kau mempunyai arti penting bagi keselamatan umat persilatan didunia, karenanya aku harus berangkat untuk melakukan penyelidikan lebih dulu, kau boleh menyusul kemudian.
Setelah berhenti sebentar, kembali ia berkata:
"Sedangkan urusan Liong ji, lebih baik kita pikirkan selesai upacara peresmian itu, mau kebukit Ho san juga tak bisa sekarang, aku harap kau dapat mengingat selalu pesan leluhur kita yang lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Begitu juga dengan anak ini!"
Selesai berkata, ujung bajunya segera dikebaskan dan tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Bagi Goan cing taysu yang sepanjang hidupnya berkelana diluar, kepergiannya tidak meninggalkan kesan apa-apa tapi berbeda dengan Coa wi wi dan Cia In. mereka merasa seperti kehilangan sesuatu, sambil memburu ke tepi jendela, titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Tiba-tiba Kiong Gwat hui berkata:
"Ilmu silat yang kami berdua memiliki amat cetek, jarak dari sini sampai bukit Gi sanpun tidak dekat, bila ingin menghadiri pertemuan tersebut, kita harus melakukan perjalanan mulai sekarang"
Diam diam Co wi wi berpikir:
"Terpaksa persoalan tentang jiko harus ditunda untuk sementara waktu.
Padahal bicara dari kepandaian yang di milikinya, tak mungkin sampai terjadi peristiwa, mungkin juga kita akan berjumpa dalam pertemuan nanti...."
Berpikir demikian ia lantas berkata: "Enci Kiong, bagaimana kalau melakukan perjalanan bersama sama......?"
Kiong Gwat hui memegang tangan Coa Wi wi dan tertawa merdu, serunya:
"Kau benar benar cantik jelita seperti bidadari yang turun dari kahyangan, kami berdua sungguh merasa tak sanggup untuk melakukan perjalanan bersamamu"
"Kau iri hati?" goda Kiong Gwat lan sam bil tertawa.
Kiong Gwat hui ikut tertawa. "Yaa, tentu saja iri sekali!" "Kenapa?" tanya Coa Wi wi sambil tertawa, sekalipun sedang menguatirkan keselamatan Hoa In liong, sempat pula dia untuk bergurau.
Kiong Gwat hui dapat merasakan bahwa dibalik kecantikan gadis itu terkandung juga kepolosan dan kelembutan, sama sekali tidak menaruh rasa iri atau dengki, hal mana membuatnya menghela napas panjang.
Sambil menarik tangan Coa Wi wi, katanya kemudian:
"Terus terang saja aku mengaku, bahwa aku merasa iri sekali ketika untuk pertama kalinya mengetahui akan dirimu, tapi sekarang semua kedengkian itu sudah lenyap tak berbekas"
Mendengar perkataan itu, Coa Wi wi menjadi tertegun, ia tak habis mengerti kenapa gadis itu bisa menaruh perasaan dengki ketika berjumpa untuk pertama kalinya tadi.
"Malam ini kita beristirahat dulu, besok pagi baru melanjutkan kembali perjalanan kita" tiba-tiba Cia In berkata.
0000O0000
0000O0000 0000O0000
Jalan raya yang menuju ke Lu lam selama beberapa hari ini mendadak menjadi ramai, sebagian besar orang yang menempuh perjalanan disana adalah kawanan jago persilatan.
Pengaruh Hian beng kau memang benar-benar besar dan luas, dengan bukit Gi san sebagai pusat seribu li disekitar tempat itu telah tersebar tempat-tempat penyambutan, terutama sekali dikota-kota besar, baik rumah penginapan tersedia, makanan terjamin, yang melayani merekapun rata-rata gadis cantik jelita yang bertubuh indah.
Alunan musik yang indah, tempat yang nyaman, hidangan yang lezat dan pelayan yang memuaskan, sungguh membuat siapapun menjadi kerasan.
Sudah terlalu lama dunia persilatan berada dalam keadaan tenang, banyak yang sudah lama tenangpun berbondong-bondong memunculkan diri, sebagian besar adalah bermaksud untuk melihat keramaian, hanya sebagian kecil saja yang benar-benar menguatirkan ambisi orang yang bermaksud menguasai jagat.
Waktu itu, Coa Wi wi, Cia In dan dua bersaudara Kiongpun sedang melakukun perjalanan ke utara, untuk menghindari tempat-tempat penyambutan yang disediakan pihak Hian beng kau, mereka khusus memilih jalanan yang kecil dan terpencil.
Empat orang gadis itu berencana akan tiba ditempat peresmian itu sehari sebelumnya, maka sepanjang jalan mereka banyak berpesiar dan bersantai-santai.
Senja itu mereka telah tiba diluar kota Gi sun shia, oleh karena empat orang gadis itu tak tahu dimanakah letaknya Ou gou peng, setelah berunding sejenak akhirnya diputuskan kalau malam itu akan mendatangi gedung penerima tamu guna melakukan penyelidikan.
Malam itu keempat gadis itu masuk ke dalam kota dan langsung menuju ke gedung penerima tamu dari Hian beng kau.
Ditengah jalan, mendadak Coa Wi wi berhenti dan berpaling ke arah sebelah kiri.
Melihat gadis itu berhenti, tiga orang lainnya pun ikut berhenti dengan wajah tertegun.
"Apa yangg terjadi?" Kiong Gwat lan segera berbisik lirih.
"Bwe Su yok telah datang!" sahut Coa wi wi sambil menatap terus ke depan"
Cia In dan dua bersaudara Kiong segera berpaling pula ke arah mana yang ditujukan.
Tapi Coa wi wi gelengkan kepalanya sambil berkata:
"Ia sudah keluar dari kota, tidak terlihat lagi"
Cia In termenung sebentar kemudian ujarnya.
"Dibalik ucapan peresmian perkumpulan Hian beng kau kali ini sesungguhnya mereka bermaksud untuk menantang para jago dari kalangan lurus sebagai seorang ketua dari Kiu im Kau, sudah barang tentu Bwe Su yok harusnya berada dimarkas Hian beng kau, daripada berkeliaran ditempat luaran"
"Jadi maksudmu, Bwe Su yok sedang melakukan suatu pekerjaan?" tanya Kiong Gwat hui.
Cia In mengangguk.
"Semestinya memang begitu!" sahutnya,
"Enci In, bagaimana kalau kita ikuti dirinya?" bisik Coa Wi wi mendadak dengan suara lirih, diantara keempat orang itu usia Cia In paling tua dan pengalamannya paling luas oleh sebab itu dalam menghadapi pelbagai persoalan, dia juga yang mengambil keputusan.
Padahal Cia In sudah jemu dengan persoalan tentang dunia persilatan, tapi dalam keadaan demikian mau tak mau dia harus juga membangkitkan semangat untuk menghadapinya.
Diam-diam Cia In berpikir:
"Kedatangan Bwe Su yok ke tempat ini pasti karena urusan penting, seandainya ia memang bermaksud tidak menguntungkan untuk golongan kami, memang ada baiknya jika mencari kesempatan untuk mengacaunya"
Berpikir sampai disitu, diapun lantas mengangguk, sahutnya:
"Bagaimanapun juga kita memang tidak repot, tak ada salahnya untuk melihat-lihat.
Mendengar ucapan tersebut, Coa wi wi segera berangkat lebih dulu untuk membawa jalan dan menuju kearah mana Bwe Su yok melenyapkan diri.
Sesaat kemudian sampailah keempat orang itu ditengah sebuah hutan yang lebat.
Mendadak Coa wi wi berhenti sambil berbisik:
"Sudah sampai!"
"Dimana?" tanya Kiong Gwat hui karena tidak menyaksikan sesosok bayangan manusia pun.
Baru saja akan menjawab, air muka Coa wi wi mendadak berubah, serunya kemudian dengan cemas:
"Cepat menyembunyikan diri!" Meskipun agak keheranan, tiga orang itu tahu bahwa ucapan tersebut pasti ada alasan tertentu, maka masing-masing mencari sebatang pohon dan menyembunyikan diri.
Baru saja selesai bersembunyi, bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu ditempat mereka berada tadi telah muncul dua orang laki-laki bertubuh kekar.
Agak merah wajah Kiong Gwat-hui karena jengah, pikirnya kemudian:
Yaa, pasti ucapanku terlalu keras tadi sehingga mengagetkan penjaga di sana......."
Dengan sepasang mata yang tajam, dua orang laki-laki kekar itu memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian salah seorang diantaranya berkata:
"Lo tan, kentut busukpun tak ada, mungkin kau salah mendengar?"
"Tidak mungkin" jawab laki laki kekar yang bernama lo tan itu dengan suara berat, "dengan jelas kudengar ada suara perempuan yang berkumandang dari sini" Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan: Sudah pasti orangnya bersembunyi, lo Thio, mari kita geledah sekeliling tempat ini!"
Ia mencabut keluar sebatang tombak pendek dan siap melakukan penggeledahan.
"Tunggu sebentar!" seru lo thio tiba-tiba sambil menarik lengan rekannya itu.
"Eeh... kenapa kau musti mengulur waktu terus? dengan gusar lo tan berteriak, "coba kalau sampai urusan menjadi berantakan akan kulihat beberapa butir batok kepala yang kau miliki?"
Lo Thio mendengus dingin.
"Kalau begini cara penggeledahan yang kita lakukan, jika sampai terkena sergapan, siapa yang bakal rugi? Lebih baik kita melepaskan tanda bahaya saja untuk mengundang bala bantuan
"Bajingan cilik!" diam-diam Kiong Gwat hui menyumpah.
Sambil menggigit bibir, ia tetap bersiap sedia untuk menyerempet bahaya dengan menaklukan ke dua orang itu.
Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, tiba-tiba bayangan manusia berkelebat lewat, diam-diam Coa Wi wi menerjang turun ke bawah....
Ilmu silat yang dimiliki kedua orang laki-laki kekar itu memang bukan kepandaian sembarangan apalagi berada dalam keadaan siap siaga namun di bawah sergapan dari Coa wi wi ternyata tak sanggup untuk meloloskan diri.
Terdengar Lo Thio mendengus tertahan dan roboh ke tanah, sedangkan lo Tan menggerakkan tombaknya siap berteriak tapi sebelum sempat melanjutkan gerakannya, ia sudah ditotok jalan darah pingsannya oleh Coa wi wi dan roboh dan tak berkutik diatas tanah.
Setelah dua orang manusia ditaklukan, Kiong Gwat hui baru melompat keluar sambil memuji:
"Siapapun diantara kedua orang ini memiliki ilmu silat jauh diatas kepandaianku, tapi tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun kau berhasil menaklukan mereka, bahkan menjeritpun tak sempat, ini membuktikan bahwa kau memang betul betul hebat"
Cia In tertawa ringan, katanya:
"Dua orang itu masih belum terhitung seberapa, ilmu silat sesungguhnya dari adik Wi belum pernah kau lihat, coba kalau sudah tahu.....tanggung kau akan kagum"
Kiong Gwat hui mengerdipkan sepasang matanya, kemudian berkata:
"Semoga saja pada malam ini bakal ada suatu pertarungan yang seru, sehingga menambah pengalaman"
Setelah menyembunyikan dua orang tawanan-nya, beberapa orang itu melanjutkan kembali perjalanannya untuk menyusup ke depan, tak sampai sepuluh kaki kemudian dengan dahi berkerut dan mengerahkan ilmu menyampaikan suaranya, Coa Wi wi berbisik kepada ketiga orang itu:
"Semakin masuk kedalam, para penjaganya memiliki ilmu silat yang semakin tinggi, bila kita memaksa untuk maju lebih ke depan, niscaya jejak kita bakal ketahuan"
Baik Cia In maupun dua bersaudara Kiong sama-sama tak dapat berbicara dengan menyampaikan suara, merekapun tahu kalau gadis itu menguatirkan keselamatan mereka bertiga.
Maka setelah termenung sebentar, Cia In lantas berbisik ditepi telinganya:
"Bagaimana kalau kau masuk saja seorang diri?"
Coa Wi wi mengangguk tapi menggeleng pula, bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara "disinipun boleh juga, Aku duga Kiu im kau sedang memasang jebakan disini untuk meringkus seseorang, sebentar aku akan tahu siapakah sasarannya itu"
Cian In tahu kalau Coa Wi wi kuatir bila ia dan dua bersaudara Kiong tak sanggup menandingi jago-jago dari Kiu im kau, maka ia sengaja tetap tinggal disini.
Pikirnya kemudian:
"Bila tujuan Kiu im kau memang sedang mencegat seseorang, berada disini pun sama saja dapat menyelidiki jejak mereka, baiklah ditunggu sebentar lagi,......"
Berpikir demikian, diapun mengangguk.
Ke empat orang itupun segera berhenti di sana sambil memasang telinga baik-baik untuk memperhatikan keadaan di sekitar sana.
Kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba Coa Wi wi mendengar ada suara ujung baju yang tersampok angin berkumandang datang dari kejauhan dan makin lama makin mendekati tempat itu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu tinggi sekali, dalam waktu singkat jaraknya tinggal sepuluh kaki saja.
Pada saat itulah tiba tiba terdengar seorang membentak keras.
Jilid X
Ku Ing ing, berhenti! Sinar lampu segera menerangi empat pen juru, menyusul kemudian bayangan manusia yang entah berapa banyak jumlahnya bermunculan disekeliling hutan itu.
Diam-diam terkejut juga Coa Wi wi mendengar seruan tadi, pikirnya:
"Oooh.....rupanya bibi Ku yang sedang mereka hadang!"
Ketika berpaling, tampak olehnya Cia In pun sedang berada dalam keadaan tertegun dengan wajah kaget.
Ia mencoba pula untuk mengawasi sekeliling sana diatas sebatang dahan pohon sepuluh kaki dihadapannya sana, berdirilah seorang tokoh berusia setengah umur yang cantik jelita, tokoh itu membawa sebuah Hud tim bergagang pualam di tangan kirinya.
Meski hanya memakai sebuah jubah pendeta yang berwarna hijau, namun tidak menyembunyikan kecantikan wajahnya yang mempesonakan hati itu.
Dan dia memang bukan lain adalah Giok teng Hujin Ku Ing ing yang kini bernama Tiang heng Tokoh.
Hanya sebentar terkejut, Tiang heng Tokoh segera dapat menenangkan kembali hatinya, dengan sepasang biji matanya yang jeli ia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu....
Disebuah tanah lapang didepan sana, tampaklah Bwe Su yok yang berwajah cantik tapi dingin itu berdiri angker sambil memegang tongkat kepala setannya, dikiri kanannya masing-masing berdiri Lei Kiu it dan seorang kakek berbaju hitam yang bertubuh ceking sekali, sementara sayap kiri dan sayap kanan masing-masing berdiri dua baris anak buahnya.
Diarah kiri dan kanan masing-masing berdiri kawanan jago yang dipimpin Kek Thian tok, Seng Sin san dan Huan Tong untuk menghadang jalan mundur orang, kalau dilihat dari tampang-tampang kawanan jago dari Kiu im kau itu, bisa diketahui bahwa mereka bukan manusia manusia yang berilmu cetek.
Setelah menyaksikan keadaan tersebut, Tiang beng Tokoh baru merasa terkesiap pikirnya.
"Celaka, kalau dilihat dari posisi yang terbentang didepan mata sekarang, rasanya untuk kabur dari sini jauh lebih sulit dari pada mendaki ke langit!"
"Ku Ing-ing!" kedengaran Lei Kui it membentak, "kenapa kau masih belum juga memberi hormat kepada Kiu im kaucu?"
Setelah mengasingkan diri selama belasan tahun, kemampuan Tiang heng Tokoh untuk mengendalikan perasaan sungguh mengagumkan sekali.
la tertawa-tawa, sambil melompat turun dari atas dahan, dan memberi hormat kepada bwe Su yok sapanya.
Bwe Su yok berlagak tidak melihat, ia berdiri angkuh disitu sementara sinar matanya berkilat tajam, tampaknya terjadi pergolakan hebat di dalam hati kecilnya.
00000O0000
49
Ku Ing Ing, apakah kau sudah lupa dengan asalmu?" kakek berjubah hitam yang bertubuh ceking itu kembali membentak dengan suara dingin.
Tiang heng Tokoh mengalihkan sorot matanya ke arah orang itu, lalu tanyanya:
Siapa kau? maaf bila pintoi tidak mengenalinya!"
Lohu adalah Sik Bio Ciao pelinduag hukum dan kaucu angkatan kedua, sekalipun belum pernah berjumpa tentu pernah mendengar bukan?" kata kakek ceking berbaju hitam itu lagi dengan dingin.
Terkesiap juga Tiang heng Tokoh sesudah mendengar nama tersebut, segera pikirnya:
"Ooooh... rupanya dia!"
Ternyata Sik Ban cian si kakek ceking berjubah hitam itu adalah salah satu diantara empat orang pelindung hukum dari Kiu im kaucu angkatan kedua, dimasa itu empat orang pelindung hukum dari Kiu im kaucu ini disebut orang persilatan sebagai Kiu im su-ciat (empat yang luar biasa dari Kiu im kau cu).
Berbicara tentang kesuksesan Kiu im kau dimasa lampau, ada separuh bagian diantaranya adalah berkat perjuangan keempat orang itu, coba kalau keempat orang itu tidak tersekap dibukit Wu san pada lima tahun berselang tak mungkin Kiu im kau bakal di paksa orang untuk kabur ketengah samudra dan hidup terombang ambing tanpa tujuan.
Tiang heng Tokoh menjadi murid Kiu im kau justru disaat Kiu im kau sedang mengalami masa runtuh, diapun kemudian mendapat tugas untuk menyusup ke tubuh Tong thian kau sambil menunggu saat yang baik untuk muncul kembali dalam dunia persilatan.
Karenanya ia belum pernah berjumpa dengan keempat orang itu, tapi pernah mendengar kelihayan mereka berempat.
Maka sambil menghela napas diam-diam berpikir:
"Waah.......rupanya aku bakal mampus hari ini"
Tapi pertapaannya selama ini membuat hatinya setenang air, dengan sikap yang tenang ia memberi hormat kepada Sik Ban-ciau, la lu katanya:
"Rupanya kau adalah cianpwe pinni, maafkanlah bila Tiang heng bersikap kurang hormat kepadamu"
"Hmm, apa kau anggap setelah mengenakan jubah kependetaan maka urusan dimasa lalu bisa diselesaikan dengan begitu saja?"
Tiang heng tokoh tertawa hambar, sahutnya:
Sudah lama pinni bukan anggota Kiu im kau lagi.
"Ku Ing ing, kau berani menghianati su-cou?" bentaknya.
Pinni bernama Tiang heng. Ku Ing Ing sudah mati semenjak dua puluh tahun berselang.
Sekalipun Ku Ing ing belum mati, tapi setelah menjalankan hukuman Im-hwe-lian-hun (api dingin melelehkan sukma) aku sudah bu kan terhitung anak murid Kiu im kau lagi.
Ucapan tersebut membuat Sik Ban-cian tertegun, ia lantas berpaling ke arah Bwe Su-yok.
"Yaa, memang ada kejadian tersebut!" Bwe Su yok segera mengangguk tanda membenarkan.
Kiranya dalam peraturan Kiu im kau ada tercantum bahwa barang siapa telah menjalani hukuman Api dingin melelehkan sukma maka ia sudah bukan termasuk anggota Kiu im kau lagi.
Sebagaimana diketahui, siksaan Api dingin melelehkan sukma adalah siksaan paling kejam didunia ini, belum tentu setiap manusia bisa menahannya, barang siapa t lah menjalaninya selama tujuh hari tujuh malam tubuhnya akan berubah menjadi sesosok mayat kering.
Peraturano itu sebenarnya diujukan untuk anggota perkumpulan yang telah melakukan pelanggaran besar, agar setelah mati pun tak dapat menjadi murid Kiu im kau.
Siapa tahu dikala Giok teng hujin menjalani siksaan di kota Cho ciu, Hoa Thian hong telah datang tepat pada waktunya, karena menguatirkan ilmu silat Hoa Thian-hong yang lihay, terpaksa Kiu im kaucu membatalkan hukuman-nya ditengah jalan, sebab itulah Giok Teng hujin bisa hidup sampai sekarang.
Kenyataan mana segera membuat Sik Ban cian menjadi serba salah, sebab menurut peraturan setelah Giok teng hujin tidak menjadi murid Kiu im kau, maka peraturanpun tidak berlaku lagi baginya, atau dengan perkataan lain diapun tidak berhak lagi untuk menuntutnya.
"Ku lng ing" mendadak Lei Kiu it membentak dengan dingin, "hukuman api dingin melelehkan sukma yang semuanya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam belum kau laksanakan hingga selesai, itu berarti kau masih belum terlepas dari ikatan peraturan perkumpulan kami"
Dengan langkah lebar ia lantas maju kedepan dan melepaskan sebuah pukulan ke arah Ku Ing ing, seraya membentak:
"Akan kulihat sampai dimanakah kemajuan yang berhasil kau capai selama beberapa tahun ini?"
Ku Ing ing tersenyum, hud tim ditangan kanannya menggulung keatas..
Terdengar suara benturan seperti benda retak, hawa pukulan langsung membuyar keempat penjuru dan membuat kobaran api obor menjilat-jilat tiada hentinya.
suasana dalam hutan itupun menjadi mengerikan sekali seperti ada setan-setan yang sedang bergentayangan.
Lei Kiu it mundur selangkah dengan cepat sementara ujung baju Tiang-heng Tokoh berkibar keras terhembus angin.
Kejadian itu segera membuat semua anggota Kiu im kau menjadi terperanjat, dalam bentrokan yang baru terjadi terbukti bahwa kepandaian yang dimilikinya memang hebat.
Padahal sebagai seorang jago dibawah ruangan Yu beng thiam, kepandaian silat yang dimiliknya masih berada di bawah dua istana dan tiga ruangan, tapi kenyataannya dia masih berada diatas kepandaian Lei Kiu it.
Tiba tiba Bwe Su yok menegur dengan dingin:
Lei tiamcu, apakah aku menitahkan kepadamu untuk turun tangan?
Paras muka Lei Kiu it agak bsrubah, buru-buru ia memberi hormat kepada Bwe Su yok sambil menyahut:
Hamba melakukannya karena buru-buru ingin menangkap penghianat tersebut.
"Mundur kau!" tukas Bwe Su yok cepat.
Lei Kiu it agak ragu-ragu sejenak, kemudian setelah sangsi beberapa waktu diapun mengundurkan diri dari sana.
Bwe su yok mendengus dingin, setelah melirik sekejap kearah Sik Ban cian katanya:
"Sik hu hoat, bagaimana menurut pendapatmu??"
Sik Ban cian memberi hormat lalu sahutnya:
Walaupun peraturan dalam perkumpulan kita memang berbunyi demikian, tapi menurut pendapat lohu, Ku Ing ing tak dapat dile paskan dengan begitu saja.
"Kalau peraturan yang telah adapun tidak dipegang teguh, perkumpulan macam apakah perkumpulan kita ini? Dan bagaimana pula bisa merajai dunia persilatan?" tegurnya.
Mendengar itu diam-diam Sik Ban cian berpikir:
Kalau didengar dari perkataannya itu, agaknya dia berniat untuk melindungi Ku Ing ing perempuan rendah itu, hmm! Orang bilang dia ada main dengan bocah muda dari keluarga Hoa, rupanya perkataan tersebut tak bakal keliru lagi.
Berpikir demikian iapun lantas berkata: "Menurut peraturan perkumpulan, orang harus menjalani hukuman api dingin melelehkan sukma sukma tujuh hari tujuh malam, walaupun tidak dicantumkan keterangan lalu tapi artinya sudah jelas, harap kaucu bersedia untuk memahaminya"
Paras muka Bwe Su yok mulai tampak agak sangsi, namun diapun tidak banyak berbicara lagi.
Diam-diam Tiang beng Tokoh berpikir kembali:
"Aaai...." Keadaan telah berkembang menjadi begini, rasanya diapun tak akan mampu untuk membentak diriku lagi, janganlah lantaran persoalan membuat kewibawaannya dibadan anak buahnya merosot, semoga bocah ini dapat membawa perkumpulan Kiu im kau menuju ke jalan yang benar...."
Berpikir demikian, ia merasa enggan untuk menyulitkan Bwe Su yok lagi dalam persoalan ini, ia lebih rela beradu iiwa daripada menyulitkan orang lain.
Maka sesudah berpikir sejenak, katanya sambil tersenyum:
"Kaucu....."
Setajam sembilu Bwe Su yok berpaling, ketika dilihatnya paras muka Tiang heng Tokoh yang semula sedih kini berubah jadi cerah, dengan cepat ia dapat menebak suara hatinya, iapun lantas berpikir:
"Bila membiarkan ia mati dihadapanku, jika sampai diketahui olehnya, niscaya dia akan membenciku setengah mati!"
Walaupun sikapnya yang istimewa dimasa dalam pertemuan yang pertama dengan Tiang beng Tokoh, ia telah menyebutnya sebagai cianpwe dan sikapnya menunjukan penuh kesopanan dan rasa hormat mempunyai penjelasan tertentu, namun kesemuanya ini dia lakukan jelas disebabkan oleh Hoa In liong.
Kalau tidak demikian, mungkin sedari tadi ia telah menuduh Tiang heng Tokoh sebagai seorang penghianat.
Maka dari itu ketika dilihatnya Tiang heng Tokoh ada maksud untuk mengakui kesalahannya di hadapan umum, ia menjadi cemas bercampur gelisah, tiba-tiba bentaknya dengan keras:
"Tutup mulut!"
Kemudian sambil berpaling kearah Sik tan cian, katanya lagi:
"Sik Hu hoat, dalam usaha penghadangan terhadap Ku Ing ing ini, kaulah yang memimpin langsung semua penjagaan disini, apakah cukup rapat dan kuat penjagaan di sekeliling tempat ini?"
Coa wi wi yang mendengar sampai disitu hatinya lantas bergerak, pikirnya:
"Jangan-jangan Bwe Su yok memang bermaksud memancing ke-datanganku ke tempat ini"
Berpikir demikian, iapun melirik sekejap kearah Cia In, ketika empat mata saling bertemu, Cia In segera mengangguk, rupa nya mereka berdua mempunyai pendapat yang sama.
Sik Ban cian agak tertegun setelah mendengar dibalik perkataan Bwe Su yok masih ada perkataan lain, dengan tenaga dalam yang dimilikinya, asal memasang telinga baik baik maka tak sulit baginya untuk menemukan tempat persembunyian dari Cia ln serta dua bersaudara Kiong, maka sorot matanya lantas dialihkan ketempat persembunyian empat orang gadis itu kemudian tertawa panjang.
Sungguh amat sempurna tenaga dalam ysng di miliki Sik Ban cian, gelak tertawanya melengking dan membelah keheningan malam hingga membuat Cia In dan dua bersaudara Kiong yang berada pada jarak agak jauhpun merasakan gendang telinganya menjadi amat sakit, kepalanya pusing tujuh keliling, hampir saja ia tak tahan.
Menyaksikan kejadian itu Coa Wi wi menjadi amat gelisah, kontan saja ia membentak nyaring.
Dalami keadaan cemas dan gelisah bentakan tersebut telah disertai dengan tenaga dalam yang cukup empurna, bahkan saja berhasil mengimbangi gelak tertawa Sik Ban ciao, bahkan menusuk pendengaran lawan.
Bwe su yok maupun Lei Kiu it yang sama sekali tidak bersiap sedia hampir saja merasakan dadanya bergolak keras apalagi murid-murid Kiu im kau lainnya, mereka merasa seperti disambar guntur, tubuhnya sampai bergoyang keras.
Dengan wajah tertegunn Sik Ban ciao tutup mulut tapi sejenak kemudian dengan suara dalam serunya:
"Rupanya ada jago tangguh yang berada disini, bagaimana kalau tampilkan diri sebentar?"
Coa Wi wi tahu bahwa kemungkinan besar ia tak dapat mengundurkan diri dari situ dengan aman pada malam ini, maka dengan suara setengah berbisik katanya:
"Tiga orang saudaraku, jago-jago tangguh dari Kiu im kau telah berkumpul semua disini, kalian bukan tandingannya, maka jika sampai terjadi bentrokan nanti, lebih baik hindari jago-jago tangguh, cari saja para anak buahnya yang agak cetek kepandaian silatnya.
Sebetulnya ucapan semacam ini pantang di utarakan keluar, sekalipun merupakan suatu kenyataan, untung saja ketiga orang gadis itu berhati polos dan tidak menaruh perasaan tak senang atau perasaan lainnya, mendengar perkataan itu serentak mereka manggut manggut.
"Jangan kuatir!" kata Giong Gwat lan sambil tertawa "sebetulaya aku memang cuma ingin berpeluk tangan belaka, ingin kulihat sampai dimanakah kehebatan ilmu silat yang kau miliki itu"
Coa Wi wi tersenyum, diapun berjalan keluar lebih dulu dari tempat persembunyian nya disusul ketiga orang lainnya.
Ketika Tiang heng Tokoh melihat Coa Wi wi dari depan, dengan heran iaberseru.
"Anak Wi, rupanya kau!"
"Bibi Ku" kata Coa Wi wi dcngsn manja, "aku harus berterima kacih kepada pihak Kiu im kau karena berhasil mengurung dirimu disini kali ini aku tak akan biarkan kau kabur dengan begitu saja"
Tiang heng Tokoh tersenyum, sinar matanya pelan-pelan dialihkan kewajah Cia In serta dua bersaudara Kiong, kemudian sambil menggape katanya:
"Anak In, kau dan nona berdua dibelakangku saja"
Dalam sekilas pandangan saja, Sik Pan cian telah mengetahui bahwa kepandaian silat yang dimiliki keempat orang ini amat cetek, tapi setelah mengetahui bahwa orang yang membentak amat dahsyat tadi adalah seorang gadis belia yang cantik jelita, ia menjadi tercengang.
"Aaali.....!" serunya tertahan.
"Budak ini bernama Coa wi wi, keturunan dari Bu seng (malaikat ilmu silat)!" demikian Bwe su yok berkata dingin.
Paras muka Sik Ban cian berubah hebat, serunya dengan suara lantang:
"Wahai budak she Coa, ape hubungan mu dongan Coan cing si keledai tua gundul?"
Tak terkirakan rasa gusar Coa Wi wi mendengar orang itu mengejek kakeknya, biji mata yang jeli berputar-putar, lalu sahutnya dingin:
"Setan tua, apa yang kau ngaco belokan?"
"Budak sialan!" teriak Sik Ban cian penuh kegusaran, selanglah demi selangkah ia maju kedepan.
Coa Wi wi tidak berani bertindak gegabah, diam-diam ia menge rahkan tenaga dalamnya untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, sementara Thian heng Tokoh mempersiapkan senjata Hud timnya untuk melancarkan Serangan.
"Setan tua, lihat toya saktiku!" mendadak seseorang berseru dengan suara lantang.
Belum lagi ucapan tersebut selesai diucapkan, sesosok bayangan hitam dengan membawa desingan angin tajam langsung menerjang kearah Sik Ban cian.
Melihat datangnya ancaman, Sik Ban Cian memutar telapak tangan-nya melancarkan serangan balasan, tiba-tiba ia merasa keadaan tidak betul, bawa murninya segera ditarik kembali lalu dari pukulan merubahnya menjadi cengkeraman, ia cakar punggung bayangan hitam tersebut.
Benar juga ternyata orang itu adalah anggota Kiu im kau yang dilemparkan orang ke arahnya.
"Sik lo ku!, kau memang hebat" suara itu memuji lantang, "untung matamu cukup jeli sehingga nyawa seorang anak buahmu berhasil diselamatkan
Habis sudah kesabaran Sik Ban cian, karena gusarnya ia tertawa terbahak-bahak, lalu menerjang ke atas sebatang pohon besar yang rimbun lebih kurang sepuluh kaki dihadapannya sana, bentaknya penuh kegusaran:
"Kawanan tikus darimana yang telah datang? Hayo cepat meng-gelinding keluar dari tempat persembunyianmu!"
Belum lagi tubuhnya menerjang tiba, sepasang telapak tangannya telah dilontarkan ke depan, gulungan angin pukulan yang maha dahsyat segera menyambar tubuh lawan,
"Blaaaar..........!" getaran keras yang memekik-kan telinga berkumandang memecahkan keheningan, batang pohon yang lima kaki tingginya itu segera terhantam telak sehingga patah menjadi dua dan roboh ketanah.
Diantara daun-daun dan ranting-ranting yang beterbangan diudara, terdengar gelak tertawa panjang yang memekikkan telinga berkumandang memecahkan keheningan, sesosok bayangan hitam melompat keudara lalu berseru sambil tertawa:
Sungguh suatu tenaga pukulan yang amat hebat, cuma sayang hanya bisa dilampiaskan pada batang pohon.
Sik Ban ciat makin marah, teriaknya keras-keras:
"Manusia sialan, jangan kabur kau!"
Dia melompat keudara dan meluncur ke depan melakukan pengejaran..
Semua orang telah dapat melihat bahwa orang yang mengejek Sik Ban cian itu memiliki ilmu silat yang maha hebat, sudah jelas kepergian Sik Ban cian kali ini tak pasti akan berhasil menyusul lawan.
Diam-diam Tang heng Tokoh berpikir: "Walaupun Sik Ban cian berhasil dipancing pergi, tapi ketiga orang Thamcu dari Kin im kau serta Bwe Su yok masih ada di sini, belum tentu anak Wi sanggup menghadapinya, lebih baik mumpung masih ada kesempatan aku kabur saja lebih dulu.
Satelah mengambil keputusan, iapun berbisik:
"Anak Wi, buka jalan! Nona berdua dan anak In ditengah, mari kita berangkat!"
Coa Wi wi mengangguk, ia bersiap-siap untuk berangkat mening-galkan tempat itu.
Mendadak terdengar suara pujian kepada sang Buddha berkumandang diudara, seorang, tauto (hwesio yang memelihara rambut) dengan rambut yang terurai sepundak, berwajah pualam dan berikat kepala perak, dengan memakai jubah pendata warna abu-abu dan membawa sebuah senjata sekop dari perak melayang turun ketengah arena.
"Siapa sebutanmu taysu?" tanyanya.
"Pinceng adalah Cu Im!" jawab si Tauto:
Kemudin sambil berpaling kearah Tiang heng Tokoh, katanya:
"Nona Ku, apakah masih kenal dengan pinceng?"
Tang heng Tokoh tertawa getir.
Budi kebaikan taysu dan suma tayhap yang jauh-jauh datang memberi bantuan tak akan Tiang heng lupakan untuk selamanya, mana mungkin pinceng lupa dengan taysu?!!
Tiba-tiba paras muka Cu Im taysu berubah menjadi amat sedih, dia berkata memuji keagunggan sang Buddha.
"Omintahud!" Kini Suma loce telah berpulang kelangit barat sementara pinceng masih kelayappan dialam semesta. Aai..Kejadian dalam dunia memang berubah dengan cepatnya. Semuanya itu akan menambah kenanggan dan kepedihan dihati orang saja.
Tiba tiba Lei Kiu it berkata dengan dingin.
"Cu Im tauto, tempat ini bukan tempat bagi kalian untuk mengenang kembali kejadian-kejadian dimasa silam, aku pikir bila kau sudah bersiap mencampuri urusan ini, tak berguna banyak bicara lagi, mari kitalangsung saja beradu kekuatan.
Cu Im taysu tertawa-tawa.
"Lei sicu, cukup tajam perkataanmu itu, pinceng kagum sekali, cuma berilah kesempatan lebih dulu kepada pinceng untuk bercakap cakap dengan kaucu kalian"
"Taysu hendak membicarakan soal apa?" tanya Bwe Su yok.
Cu im taysu lantas berpaling, diawasinya sekejap wajah Bwe Su yok, kemudian sambil merangkap tangannya didepan dada ia berkata:
"Bwe kaucu adalah seorang perempuan yang pintar dengan hati yang bijaksana, masa jaya Kiu im kau tak lama lagi pasti akan tiba, pinceng akan menyampaikan selamat lebih dahulu"
Bwe Su yok terpaksa membungkukkan badan membalas hormat.
"Aku tak berani menerima ucapan selamat dari taysu" cepat sahutnya.
Cu im taysu menghela napas panjang, katanya:
"Bwe kaucu, dua puluh tahun berselang nona Ku sudah melaksanakan hukuman im hwe lian nun (api dingin melelehkan sukma) selama sehari dua malam, keadaannya mengerikan sekali......."
"Taysu!" tukas Bwe Su yok, "jika ingin mengucapkan sesuatu, katakan saja berterus terang, aku pikir kau tak perlu berbelok-belok lagi dalam pembicaraan"
"Pinceng hanya ingin berkata bahwa menurut peraturan, semestinya Kiu im kau sudah tidak berhak lagi untuk mencampuri urusan nona Ku, sebab nona Ku telah menjalankan siksaan tersebut"
Bwe So yok tertawa dingin.
"Heeehh.....heeeh....heeeh.....hebat betul taysu, rupanya kau pandai mengupas masalah peraturan dari pertarungan kami.
"Maksud Bwe kaucu....."Cu im Taysu mengernyitkan sepasang alis matanya.
Tidak menanti ia menyelesaikan kata-katanya, dengau dingin Bwe Su yok telah berkata:
"Semua persoalan tentang perkumpulan kami, tak akan mengijinkan orang lain untuk mencampurinya.
Setelah kejadian berkembang jadi dingin, demi menjaga nama baik serta martabat Kiu im kau, terpaksa ia tak dapat mundur dengan begitu saja, padahal hati kecilnya merasa salah, coba kalau tidak terikat oleh budi kebaikan dari gurunya, ia sudah tinggalkan kedudukannya sebagai kaucu dan mengasingkan diri ditempat yang terpencil.
Ketika mendengar perkataan itu, Lei Kiu it sekalian segera merasakan semangatnya berkobar kembali, rasa antipati yang timbul dalam hati merekapun segera tersapu lenyap.
Tiba-riba terdengar suara parau berkumandang memecahkan kesunyian.
"Hei hwesio tua, sekalipun kau berhati baik, sayang sekali si keras kepala enggan menganggukkan kepala, lebih baik simpan saja hati baikmu dan mengangkat senjata."
"Siapa disitu?" bentak Lei Kiu-it.
"Ciu Thian-hau dan gunung Hong-san" jawab orang itu dingin.
Paras muka semua jago dari Kiu im kau segera berubah hebat, sebab keadaan yang terbentang didepan mata mereka sama sekali diluar dugaan siapapun.
kepandaian Giok teng Hujin sudah tidak seperti kepandaian yang dulu, ilmu silat Coa Wi wi tiada tandingannya dan pernah dibuktikan sendiri oleh para jago Kiu im kau, kini Sik Ban cian dipancing orang dan belum kembari, ditambah Ciu Thian-hau dan Cu im taysu telah muncul dipihak lawan, sudah bisa dipastikan Kiu im kau berada dalam keadaan kalah.
Dalam pada itu, Kek Thian tok, $eng Sim san dan Huan Tong yang menyaksikan kepungan mereka tak mungkin mendatangkan hasil, dengan cepat mereka mundur ke samping Bwe Su yok.
"Ciu Thian hau!" bentak Huan Tong dengan gusar "jelek-jelek kau juga punya nama, kenapa tidak segera menampilkan diri? Memangnya malu untuk bertemu orang?"
Ciu Thian hau mendengus dingin.
"Hmm... ..! Hanya kawanan setan gentayangan yang ada disitu, lohu malas untuk bertemu dengan kalian"
Menggunaakan kesempatan ketika Huan tong sedang bertanya jawab dengan Ciu Thian hau, Bwe Su yok berpaling ke arah Kek Thian tok sambil bertanya dengan suara lirih:
"Bagaimana pendapat Kek tongcu?"
"Hamba rasa tiada berharga buat kita untuk beradu kekerasan" bisik Kek Thian tok. "lebih baik kita tunggu saja sampai saat peresmian perkumpulan Hian beng kau, waktu itu sekalian kita turun tangan membasmi kawanan musuh besar kita ini*
"Bagaimana dengan pendapat kalian?" Bwe Su yok berpaling ke arah para jago lainnya.
Seng Sim sam menghela napas, katanya:
"Padahal rencana kita diatur sangat rahasia, entah kenapa mereka dapat mengetahui rahasia ini sehingga pada berdatangan kemari, kalau tahu begini keempat huhoat kita diajak kemari semua dengan kekuatan yang tangguh kita tak usah takut pada mereka lagi, yaa, apa boleh buat, terpaksa kita harus berbuat demikian"
Bwe Su yok tersenyum, tiba-tiba ia maju lim^a langkah kedepan, dengan sorot mata yang tajam ia menatap sekejap wajah Tiang beng Tokob, kemudian katanya
"Ku ....Tiang heng Tokoh jika kita langsungkan pertarungan, yakinkah kau dapat menangkan pertarungan ini?"
Tiang heng Tokok agak tertegun, lalu pikirnya.
"Kek Thian tok merekapun bermaksud lepas tangan, kenapa kau malah tak mau mengundurkan diri?"
Dalam hati berpikir demiktar, diluar hati ujarnya sambil tersenyum:
"Masakah pinto dapat menandinggi kehebatan Kui im kaucu, tentu saja aku yang bakal kalah"
"Coa Wi wi yang berada disisinya lantas berpikir.
"Jika bibi Ku sampai bertarung dengan Bwe Su yok, dan karena tak beruntun sampai kalah, nama baiknya pasti akan ikut ternoda, hal ini sangat tidak berharga baginya"
Berpikir demikian, diapun menampilkan diri, seraya berkata:
"Bwe Su yok mana mungkin bibi Ku mau bertarung dengan seorang boanbwe seperti kau, kalau ingin bertarung, hayo kita saja yang bertarung"
Bwe Su yok pura-pura tidak mendengar, kembali ujarnya:
"Sebelum pertarungan dilangsungkan, sukar untuk menentukan menang kalahnya, tapi berbicara menurut pendapat umum aku lebih banyak berada dipihak yang kalah dari pada menang"
Setelah berhenti sejenak, katanya kembali:
"Dalam pertarungan ini, bila kaudapat menang, sejak hari ini Kiu im kau tak akan mencarimu lagi, tapi jika aku yang menang, maka terpaksa aku harus membawamu pergi"
Tiang heng Tokoh tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya kembali;
"Terhitung lumayan juga ia bisa berpikir sampai kesitu, cuma jelas aku tak boleh kalah, padahal sebagai seorang kaucu tak mungkin akan membiarkan dirinya sampai kalah"........
Berpikir sampai disitu, diapun melirik sekejap kearah Cu im taysu, ia berharap paderi itu bisa membantunya berbicara.
Cu im taysu mengernyitkan, alis matanya, lalu berkata:
"Bwe kaucu!"
Bwe Su yok tertawa angkuh, katanya: "Apakah taysu bermaksud untuk memberi petunjuk kepadaku?" Cu im taysu tertawa.
"Pinceng sudah tua, enggan rasanya aku untuk bermain kekerasan, apalagi melangsungkan pertarungan dengan orang muda"
Setelah berhenti sebentar, ia berkata lebih jauh:
"Menurut pendapat pinceng, mumpung saat peresmian perkumpulan Hian beng kau tinggal beberapa hari, lebih baik kita selesaikan masalah ini dihadapan para enghiong hohan dari kolong langit, bukankah hal ini jauh lebih baik?"
Bwe Su yok termenung dan tidak berbicara padahal memang itulah yang diharapkan, segera pikirnya:
"Dalam peresmian perkumpulan Hian beng kau nanti, seluruh jago dari pelbagai tempat bakal berkumpul semua disitu, keadaan nya pasti kacau balau tak karuan, bila ingin membereskan pertikaian dalam ke adaan seperti ini, jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang gampang.....
Baru saja berpikir sampai disitu, tiba-tiba berkumandang suara pekikan nyaring yang memmbelah udara, Sik Bon cian bagaikan seekor burung raksasa melayang masuk ke dalam gelanggang.
Di bawah cahaya api, tampak wajarnya berubah menjadi hijau membesi, ujung baju sebelah kanannya terpapas kutung sebagian.
Ia melirik sekejap kearah Cu im taysu kemudian sambil tertawa seram bentaknya.
"Cu im, siau pwe darimanakah itu?"
"Haputule!" jawab Cu im taysu dengan kening berkerut.
"Belum pernah kudengar nama orang itu, siapa gurunya?"
"Aku rasa kau pasti telah merasakan pedang mestika itu, pedang emas tersebut merupakan pedang paling tajam dikolong langit, rasa nya tidak sulit bukan bagimu untuk menebak asal perguruannya.
"Lohu tidak menyangka bakal....."tapi sampai ditengah jalan, Sik Ban cian telah mengalihkan pembicaraannya ke soal lain "apakah dia muridnya It kiam kay tionggoan (Pedang sakti yang menyelimuti daratan Tionggoan) Siang Tang lay, si setan tua itu?"
"Huh, sungguh tak tahu malu" ejek Coa Wi wi sambil tertawa dingin, "tak mampu mengalahkan orang, berkaok-kaok juga ditempat ini, kau pamerkan kepada siapa lagakmu itu?"
Kegusaran Sik Ban cian ketika itu sedang mencapai pada puncaknya, mendengar perkataan itu ibaratnya minyak yang bertemu api, kontan saja ii menyeringai seram.
"Budak sialan!" teriaknya menahan geram, Coa wi wi sama sekali tidak menghindar atau pun berkelit, tetapi tangannya segera digetarkan dan langsung menyambut nya tubrukan lawan.
Kedua orang itu asma sama maagandalkan tenaga pukulan dingin yang bersifat lembut, apalagi serangannya sama-sama dilancarkan tanpa menimbulkan sedikit suarapun, maka ketika dua kekuatan saling bertemu........."Blaar!" pancaran hawa sakti menyebar ke empat penjuru.
Cu im taysu yang berada didekat sana segera merasakan tenaga tekanan yang maha kuat menghantam dadanya, dengan hati terkejut ia awasi Coa Wi wi beberapa kejap, kemudian pikirnya:
"Dengan tubuh yang begitu ramping dan lemah lembut ternyata memiliki tenaga dalam sehebat itu, sungguh merupakan suatu kejadian yang sama sekali diluar dugaan"
Dalam pada itu, Sik Ban cian mendengus gusar, lengan kanannya diangkat, siap melancarkan serangan lagi, tapi ia segera berubah ingatan, pelan-pelan dihampirinya Bwe Su yok, lalu bibirnya berke
mak-kemik entah apa yang diucapkan, sebab ia mengirim suaranya dengan ilmu menyampaikan suara.
Mendengar bisikan tersebut paras muka Bwe Su yok berubah hebat, dengan cepat ia menengadah sambil berkata:
Jika taysu memang berpendapat demikian, baiklah persoalan ini kita undur sampai diselengarakannya peresmian perkumpulan Hian beng kau nanti.
Tidak menunggu jawaban dari Cu im taysu lagi, tongkat kepala setannya segera digetarkan lalu mengundurkan diri dari situ.
Sik Ban cian serta Kek Thiann tok sekalian menyusul dibelakangnya, sementara para jago dari Kiu im kau sama-sama memadamkan obor dan mundur ke dalam hutan, sekejap kemudian tak seorangpun yang tertinggal disitu.
Dengan keheranan Coa wi wi lantas berkata:
"Mereka mundur dengan begitu tergesa gesa, jangan-jangan Kiu im kau telah tertimpa suatu musibah?"
Cu im taysu gelengkan kepalanya berulang kali "Entahlah pinceng sendiripun kurang jelas" Kemudian sambil berpaling dengan wajah lembut katanya:
"Nona Coa......"
"Panggil aku anak Wi!" sela Coa wi wi manja. Cu im taysu tersenyum, ujarnya:
"Baiklah, tiga puluh tahun berselang, pinceng pernah bertemu dengan kakekmu dan ayahmu sewaktu berpesiar ke kota Kiui leng, aku memang pantas memanggilmu sebagaia anak Wi!"
"Kenapa kau tak pernah mendengar ibuku membicarakan persoalan ini....?" tanya Coa wi wi sambil membelalakkan matanya yang jeli.
Cu im taysu tertawa.
"Waktu itu usia ayahmu maupun aku masih amat muda, ketika kakekmu mengetahui bahwa pinceng adalah orang persilatan, beliau enggan bersahabat lebih akrab denganku, Cuma saja lantaran ayahmu begitu dimerahasiakan dirinya, maka hingga kini pinceng baru tahu bahwa keluargamu adalah keturunan dari Bu seng,.
Coa wi-wi menggerakkan bibirnya hendak menjelaskan pesan dari Kakek moyangnya yang melarang anak keturunan-nya berkelana dalam dunia persilatan.
Tapi ia sebelum ia sempat berbicara, tiba-tiba terdengar Tiang-heng Tokoh bertanya.
"Kenapa Ciu tayhiap masin belum juga munculkan diri?"
Cu im taysu memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menghela nafas panjang, sahutnya:
"Karena kematian suma lote, ia telah bersumpah tak akan berjumpa dengan sahabat-sahabat lamanya sebelum pembunuh itu berhasil ditemukan dan lehernya digorok untuk membalas dendam"
Thiang heng Tokoh lantas berpaling ke arah hutan, kemudian serunya:
"Ciu tayhiap bisa begitu setia kawan, hal ini sungguh membuat Thiang heng merasa kagum, cuma saja tindakan semacam ini apakah tidak terlalu........"
"Percuma banyak bicara, mungkin ia sudah pergi meninggalkan tempat ini" sela Cu im taysu dari samping.
"Cu pekya malahan merasa tak senang hati lantaran Ciu pekya enggan turun gunung!" sela Coa W i wi dengan manja.
Sementara itu Thian heng Tokoh sedang berpikir.
"Jika tidak pergi meninggalkan tempat ini, aku akan sulit untuk kabur setelah direcoki budak tersebut."
Selama banyak tahun belakangan ini, dia selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari pertemuan dengan sanak keluarga, maka ketika kemunculan Ciu Thian-hau justru mencocoki selera hatinya, maka sambil tersenyum katanya:
"Kalian bicaralah pelan-pelan disini, karena masih ada sedikit urusan, pinto harus mohon diri lebih dulu"
Lalu sambil berpaling kearah Cia In, katanya lagi:
"Anak In, guruku telah berangkat ke utara lebih dulu untuk menyelidiki gerak-gerik dari tiga perkumpulan besar, sepanjang ja-lan, ia meninggalkan tanda rahasia, pergi susullah dia, kalau bisa bergabung saja dengan gurumu!
Cu im taysu bukan orang bodoh, segera dia pun berpikir:
"Setelah kepergiannya, sudah pasti jejaknya akan semakin rahasia, selanjutnya kemana aku harus pergi untuk mencarinya?"
Berpikir demikian, buru-buru ia berkata:
"Nona ku, harap tunggu sebentar, Haputule dari See ih ingin bercakap-cakap dengan mu"
"Lain kali saja!" jawab Thiang heng Tokoh.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan:
"Pinto bernama Thiang heng, jika taysu masih juga memanggil nama ku dulu, maaf jika pinto tak akan menggubris lagi."
Haputule dan Hoa Thian Hong berhubungan lebih akrab dari saudara sendiri, sudah tentu ia lebih-lebih tak ingin berjumpa de ngannya, belum lagi kata-katanya selesai dia ucapkan, senjata Hud timnya telah dikebaskan siap meninggalkan tempat itu.
"Omintohud!" Cu im taysu berseru memuji keagunggan sang Buddha, senjata sekopnya langsung dilintangkan di depan dada, sepasang kakinya menjejak ketanah dan melayang turun bersamaan waktunya dihadapan Thiang heng Tokoh, sehingga jalan perginya segara terha-
dang.
Melihat itu, Thiang heng Tokoh mengerutkan dahinya, lalu berseru dengan nada yang tenang.
"Apakah taysu melarang pinto pergi dari sini?"
"Ah, mana pinceng, berani?" buru-buru Cu im taysu menjawab.
"Kalau begitu, minggirlah dari situ!"
Pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Cu im taysu, untuk sesaat ia tak berhasil menemukan cara yang baik untuk menahan Thiang heng Tokoh disitu......
Tiba tiba Cia In berseru lantang.
"Oh supek! Bukankah kau telah berjanji dengan pihak Kiu im kau untuk menyelesaikan pertikaian ini pada saat peresmian perkumpulan Hian beng kau....? Jika kau orang tua pergi, bukankah Cu im taysu yang membuat perjanjian ini akan kehilangan kepercayannya?"
"Perkotaan sutit memang benar" cepat-cepat Cu im taysu berseru dengan gembira, "harap nona Ku jangan menyusahkan pinceng.
Ia masih tetap memanggil Tiang heng Tokoh dengan sebutan "nona Ku" maksudnya dia hendak menginggatkan Giok teng hujin Ku lng ing bahwa hubungannya dengan keluarga Hoa sesungguhnya erat sekali.
Diam-diam Thiang heng Tokoh merasa marah sekali, segera serunya.
"Budak sialan, kau berani barsekongkol dengan mereka untuk menghadapi aku?"
Cia In segera bertekuk lutut dan menjatuhkan diri berlutut dihadapan supeknya lalu sambil menengadah katanya dengan suara gemetar.
"Ooh supek, kenapa kau orang tua musti bersusah payah berbuat demikian?
Keponakan murid rela dijauhi hukuman mati ajsal kau orang tua bersedia untuk bertemu dengan Hoa tayahiap!"
Dua bersaudara Kiong saling berpandangan sejejap, kemudian bersama-sama memberi hormat kepada Tiang heng Tokoh.
Kata Kiong Gwat hui.
"Kiong Gwat hui dan Gwat lan dari perguruan MHa san memberi hormat buat cianpwe"
"Tidak berani" jawab Thiang heng Tokoh sambil tersenyum, "baik baikkah kakekmu?"
"Dia orang tua ada dalam keadaan baik-baik dan boleh dibilang sehat walafiat"
Berbicara sempai disini, ia lantas mengedipkan matanya memberi tanda kepada Gwat lan untuk berbicara.
Semenjak tadi Kiong Gwat lan telah berniat untuk berbicara, melibat itu buru-buru ia menyambung.
"Ku locianpwe, kejadianmu dimasa lalu yang penuh kegembiraan maupun kesedihan telah banyak kami dengar, hanya sayang boanpwe sekalian tak sempat menjumpaimu, sungguh beruntung malam ini kami bisa berjumpa muka...."
"Tak usah mengumpak" tukas Thiang heng Tokoh sambil tertawa, apa yang kau ucapkan katakan saja terus terang!"
Maaf cianpwe, apakah kau tidak merasa terlalu manja sekali?"
Kiong Gwat lan dengan wajah serius.
"Aaah, kalian anak kecil cuma tahu satu tak tahu dua, apa yang hendak kalian bicarakan?" dengan gusar Thiang heng Tokoh berseru.
Aku tak ambil perduli soal satu atau dua, seru Coa Wi wi dengan capat, Pokoknya kau musti berjumpa dengan empek Hoa, kalau tidak tinggalkan alamatmu, aku pikir empek Hoa pasti akan berkunjung kesitu untuk minta maaf"
Melihat gelagat tak baik, Tiang beng Tokoh segera berpikir:
Wah, mereka pada mengerubuti aku seorang, kalau begini terus caranya, tidak memakai sedikit akal jelas aku tak bakal bisa loloskan diri dari sini.
Berpikir demikian, diapun berkata:
"In jin, hayo bangun! Supek tak akan menyalahkan kamu lagi"
Cia In menyembah beberapa kaki kemudian baru bangkit berdiri, wajahnya kelihatan sedih, ia seperti mau mengucapkan sesuatu namun maksud tersebut kemudian diurungkan.
Diam-diam Thiang heng Tokoh menghela napas panjang sambil berpaling ke arah Cu im taysu, katanya:
"Taysu, persoalan antara Kiu im kau dengan pinto biarlah diselesaikan saja pada ucapacara peresmian Hian beng kau nanti, kalau toh demikian untuk sementara waktu, bagaimana kalau jangan kita bicarakan lagi?"
"Apakah sampai waktunya, nona Ku pasti akan tiba?" Cu im taysu masih kelihatan sangsi.
"Yaa, sampai waktunya Ku Ing ing pasti akan datang!"
Begitu selesai berkata, ia lantas melejit ke udara dan melayang pergi dari situ.
Cu im tsysu masih juga agak sangsi tapi terbayang bahwa orang persilatan selalu memegang janji yang telah diucapkan, apalagi Tiang beng Tokoh pun telah berjanji akan datang, maka dia tidak menghalangi lagi jalan perginya.
Sebab bagaimanapun juga cukup mengerti, apa bila ia sampai mengucapkan kata-kata yang bernada tak percaya akibatnya bisa terjalin perselisihan paham, karena itulah ia selalu tak berani mengucapkan kata-kata yang bermaksud menghalangi niatnya.
Setelah berjalan sejauh beberapa li, mendadak Tiang hen tokoh merasa gelagat tak benar, tiba-tiba ia berpaling kebelakang, maka tampaklah Coa Wi wi dengan senyuman dikulum sedang mengikuti di belakangnya, jelas ia sudah cukup lama membuntuti disana.
Ketika Coa Wi wi menjumpai jejaknya ketahuan, kontan saja ia tertawa cekikikan.
"Bibi Ku, aku ingin mengikutimu! Tiang heng Tokoh segera terhenti, serunya:
Budak cilik,, kau berani tak pacaya dengan perkataanku?
Coa Wi wi tertawa cekikikan, serunya:
"Hei, apa yang kau katakan?"
"Aku bilang..." mendadak ia terbungkam.
Kembali Coa Wi wi tertawa.
Biar aku saja yang mengatakannya untuk bibi Ku, waktu itu Bibi ku berkata bahwa Ku Ing ing pasti akan datang, padahal bibi Ku pernah berkata bahwa kau sudah bukan Giok teng hujin Ku Ing ing lagi, kalau memang demlkian, itu berarti sudah tiada hubungannya la- gi dengan Tiang heng Tokoh, sampai waktunya asal kau mengirim orang yang mengabarkan bahwa Giok teng hujin sudah tiada lagi, otomatis Thiang heng Tokoh tak perlu memenuhi janji tersebut. Yaa, taysu itu terlampau jujur, tentu saja ia tak dapat menangkap rencanamu itu"
Padahal memang begitulah rencana Tiang heng Tokoh, setelah rahasianya ketahuan, ia pun tak sanggup tertawa lagi.
"Anak Wi, kau memang pintar, tapi setiap orang mempunyai jalan pemikiran yang berbeda, buat apa kau memaksa terus......"
"Maka dari itu, aku sudah bertekad untuk mengikuti terus bibi Ku!" sambungnya.
Tiang hieng Tokoh agak tertegun, tiba-tiba wajahnya berubah mem besi, kemudian serunya:
Bila kau mengejar diriku lari, hati-hati kalau kuanggap dirimu sebagai musuh besarku.
Sepasang mala Coa wi wi berubah menjadi merah, katanya:
"Pukullah aku, pokoknya aku tak akan pergi!"
Karena gadis itu sudah tersengguh hendak menangis, buru-buru Tiang heng Tokoh mengendorkan sikap kerasnya, sambil tertawa ia berkata:
"Ah, ucapan bibi Ku memang kelewat berat, anak Wi. Kenapa musti kau msukkan kedalam hati"
"Kalau bibi Ku mengijinkan aku mengikutimu" kata Coi Wi wi lagi sambil lertawa.
Tingkah polahnya yang tak menentu itu sungguh membuat Tiang heng Tokoh kehabisan akal, apa lagi Coa wi wi pada dasarnya memang polos dan lembut ibarat bidadari dari kahyangan, siapapun yang bertemu dengan nya lantas akan merasa cocok dan senang sekali untuk bergaul dengannya.
Betulkah, dengan perasaan apa boleh buat, Tiang heng Tokoh berkata sambil tertawa:
"Siapa yang berani melarangku?"
Tiba-tiba terdengar suara Haputule berseru!
"Setelah ada nona Coa yang mengiringi perjalanan, siate akan mohon diri sampai disini saja"
Sesosok bayangan hitam menerjang keluar dari balik hutan, lalu seperti seekor burung elang meluncur ke arah barat laut.
Tiang heng tokoh agak tertegun, kemudian serunya dengan lantang:
"Bagus sekal", hei Haputule! Kau berani bermain gila dengan pinto"
"Harap nona Ku suka memaafkan kesalahanku ini" jawaban dari Haputule datang dari kejauhan, "siaute......"
Mungkin lantaran sudah amat jauh, suara selanjutnya tak dapat terdengari lagi dengan jelas.
Melihat itu, Tiang heng Tokoh pun bergumam:
"Tampaknya ilmu silat yang di miliki sudah berhasil menyusul kehebatan gurunya ketika mengetarkan daratan Tionggoan tempo hari"
Lalu sambil berpaling ke arah Coa Wi wi, katanya lagi sambil tertawa.
"Hei, budak cilik bukankah semenjak tadi kau sudah tahu kalau ia sedang menguntil di belakang ku?"
Coa Wi wi tertawa cekikikkan.
"Masa kau tak bisa menangkap nada ucapannya? Muugkin sudah banyak waktu ia menguntil dibelakangmu, hanya saja kau tidak merasakan hal itu, kalau tidak kenapa Cu im taysu dan Ciu tayhiap, bisa berdatangan kemari secara kebetulan"
Thiang heng tokoh gelengkan kepalanya sambil tertawa getir, katanya kemudian:
"Hayo kita berangkat!"
oooOooo
oooOooo oooOooo
Upacara perkumpulan Hian beng kau di selenggarakan ditebung Ui gou peng diatas bukit Gi san.
Nama Ui gou peng tersebut tak akan di kenal orang lain, sekalipun bertanya pada orang sedesa pun, rupanya nama tersebut diberikan sendiri oleh orang-orang Hian beng kau.
Menurut keterangan dari orang-orang Hian beng kau, letaknya berada disebelah selatan bukit Gi san, ditengah lekukan bukit yang bersusun dan menghadap ke arah bukit Mong-san, jaraknya kira-kira seratus li dari kota Gi sui shin.
Kira-kira mendekati akhir bulan empat, semua rumah penginapan yang berada dikota-kota sekitar bukit Gi mong san, seperti kota Gi sui shia, Leng hou shia, An khu shia, Mong im shia, hampir boleh dibilang penuh oleh tamu.
Setelah mengalami masa tenang selama banyak waktu dengan keluarga Hoa saja yang paling menonjol dalam dunia persilatan, sebagai besar umat persilatan merasa gembira sekali menyambut ter-jadinya peristiwa besar ini, berbondong-bondong mereka berdatang dari segala penjuru tempat untuk ikut meramaikan suasana.
Ketika bulan lima tanggal satu, orang sudah mulai mendaki bukit, sepanjang jalan tentu saja orang-orang Hian beng kau sibuk menyiapian tempat penginapan dan hidangan untuk menjamu tamu-tamunya itu.
Hari ini adalah bulan lima tanggal empat, sebagian besar tamu sudah naik gunung ketika mendekati senja, kembali ada sekelompok orang yang berdatangan.
Setelah menembusi sebuah jalan usus kambing yang dihimpit dua buah bukit karang menjulang ke langit, didepan sana adalah sebuah tempat terbuka yarg dikelilingi bukit dengan bentuk seperti kerbau, itulah sebabnya tempat itu dinamakan Ui gou peng.
Dikeliling puncak bukit terdapat sebuah tanah lapang yang bertumbuh pohon siang, kicauan burung berbunyi memeriahkan suasana, keadaan terasa nyaman sekali.
Didepan sana terbentang sebuah jalan batu yang lebar, dihadapannya berdiri sebuah tugu kumala putih yang bertulisan "Kun leng thian he" (Aku merajai kolong langit) empat huruf besar yang terbuat dan emas.
Tertimpa sinar senja, huruf-huruf itu memantulkan sinar emas yang amat menyilaukan mata.
Tiba-tiba salah seorang kakek berjubah hijau mendengus dingin, kemudian gumamnya:
"Hmm, takabur amat!"
"Tam tayhiap, persoalan apa yang membuatmu merasa kurang puas?" seseorang menegur mendadak."
Ketika semua orang alihkan sinar matanya, tampaklah seorang kakek berjenggot cabang tiga dengan sinar mata yang tajam dan mengenakan jubah hitam berdiri disisi jalan.
Kakek berbaju hijau itu tampak agak terkejut, lalu pikirnya:
Padahal aku sudah banyak tahun tak pernah muncul dalam dunia persilatan, tapi orang itu dapat segera menyebut namaku, Hian beng kau benar-benar bukan suatu perkumpulan yang boleh dianggap remeh.
Ternyata kakek berbaju hijau itu shi Tam bernama Si bin berasal dari perguruan Thian tay-pay dan terhitung kakak seperguruan dari Kanglam Sin-ih Yu Siang-tek, ilmu silatnya jauh melebihi adik seperguruannya.
Kalau Kanglam Sin-ih (tabib sakti dan Kanglam) lebih menitik beratkan perhatian-nya untuk memperdalam ilmu pertabiban-nya sehingga dalam ilmu silat ia ketinggalan jauh, maka Tam Si-bin menetap terus di Thian tay sambil berlatih ilmu dengan tekun.
Ketika Kanglam Sin-ih Yu Siang-tek diculik orang, seluruh partai Thian tay-pay menjadi gempar, sebagai orang yang berilmu paling tinggi dalam partai Thian tay, sudah barang tentu ia tak dapat berpeluk tangan belaka, maka di pimpinnya beberapa orang murid untuk turun gunung.
Kebetulan mereka menjumpai perayaan tersebut, maka kesempatan baik ini pun segera dimanfaatkan, mereka bermaksud menyelidiki markas besar Hian beng kau, sebab dengan kedudukannya sekarang, jelas sulit akan dikenali orang lain.
Siapa tahu, baru saja sampai di tengah jalan, indentitasnya sudah diketahui orang.
Dengan perasaan bergetar keras, dia pun bertanya:
"Siapa kau?"
"Aku bernama Cua Heng, menjabat kedudukan seorang Thamcu dari ruangan Tee it tham!"
Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Tam Si bin, sebera ia menjura, lalu katanya:
"Oooh........rupanya kau adalah It pit kon hua (pit sakti penggaet sukma) diri wilayah tian liong yang termasbur karena ke
tujuh puluh dua jurus ilmu Poan koan pit Kui seng tiam goan, maaf maaf!"
Pit sakti pengaet sukma Cui Heng segera menjura, katanya pula:
"Mana, mana, cukup memandang ilmu Kui goan sinkang dari Tam heng yang sudah beratus tahun lenyap dari peredaran dunia bisa disimpulkan bahwa partai Thian tay bakal merajai kembali dunia persilatan" .
Semakin terkesiap Tam Si bin setelah mendengar perkataan itu, pikirnya:
"Aku sudah tiga puluh tahun lamanya mengundurkan diri dari dunia persilatan untuk melatih ilmu sakti tersebut, bahkan anak muridku pun tak, kenapa Hian beng kau sudah bisa menyelidiki persoalan ini begitu jelasnya?"
Terdengar Cui Heng berkata lagi:
"Saudara Tam, bolehkah aku tahu, apakah pelayanan dari perkumpulan kami sepanjang jalan kurang sempurna sehingga tak berkenan dihatimu, harap saudara Tam katakan padaku dengan terus terang, siaute pasti akan menghukum berat mereka yang bersalah"
Tam Si bin segera tertewa terbahak-bahak.
"Haaahh.....haaahh....haahh....pelayanan dari perkumpulan kalian cukup baik dan menyenangkan, masa siaute tidak merasa puas"
"Kalau begitu tolong tanya karena persoalan apakah saudara Tam tak senang hati?"
"Sialan betul orang ini" maki Tam Si bin dalam bati, "sudah tahupun pura-pura tidak mengerti, sialan!"
Maka sambil menuding huruf "Kun leng thian he" yang tercantum diatas tugu, ia tertawa terbabak-bahak, kemudian katanya:
"Siaute memang bodoh sekali, apakah Cui thamcu bersedia menjelaskan arti daripada ke empat huruf tersebut?"
0000000O0000000
50
Ciu Heng memutar sekejap matanya, lalu tertawa-tawa.
"Oooh, jadi saudara Tam tak senang hati karena persoalan itu" katanya.
Jika sekarang saudara Tam masih tak paham, maka selesai upacara nanti kau akan mengerti dengan sendirinya.
Sudah jelas arti lain dari perkataan itu adalah, sejak kini perkumpulan Hian beng kau bakal menguasahi seluruh kolong langit!
Tam Si bin tertawa dingin, tiba-tiba sambil menjura ia berkata!:
"Dalam penemuan nanti siaute ingin mo hon petunjuk dari saudara Cui!"
"Siaute pasti akan melayaninya!" jawabnya.
Setelah memberi hormat, ia lantas putar badan dan berjalan menelusuri jalan kecil itu, sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata sambil tertawa:
"Tam cianpwe, kionghi! kionghi! Rupanya ilmu sakti partaimu telah berhasil di kembangkan kembali!"
Ketika Tam si bin berpaling, maka tampaklah seorang laki-laki setengah umur yang berwajah bersih dan berdandan seorang sastrawan, dengan tangan kirinya membawa sebuah kipas yang terbuat dari baja, sedang berjalan menghampirinya.
Ia merasa teramat asing dengan orang itu, maka setelah ter-menung subentar, katanya sambil tertawa:
Lote ini adalah...... ..
"Tam locianpwe, masih ingatkah kau dengan Yau Tiang li dari partai Tian cong?" sapanya.
Tam Si bin baru teringat kembali, segera pikirnya:
"Ooohhhh.............. rupanya dia!"
"Tiba-tiba paras mukanya menjadi dingin.
"Oh, ternyata adalah Yau lote, konon pada sepuluh tahun berselang kau telah menjadi seorang ketua dari suatu perguruan, ke jadian ini patut diberi selamat"
Lalu satelah memberi hormat, ia menambahkan.
Disini banyak orang dan tidak leluasa untuk berbicara, maaf"
Tak mau banyak berhubungan dengan orang ini ,maka dengan membawa anak buah, segera melanjutkan kembali perjalanan menuju ke depan.
Bila sewaktu Tam Si bin berbicara dengan Coi Heng tadi, sebagian besar jago pada ikut berhenti dan menonton keramaian, maka setelah berbisik-bisik sejenak, merekapun melanjutkan kembali perjalanan menuju ke dalam lembah, suasana pulih kembali dalam keheningan.
Kiranya partai Cian cong terhitung pula aliran kaum pemdekar, tiga puluh tahun berselang ketika mereka kekurangan orang berbakat, tiba-tiba diumumkan bahwa perguruan menutup pintu dan tak mengadakan hubungan lagi dengan dunia persilatan, walaupun ketika itu hawa jahat menyelimuti angkasa, kejahatan merajalela bahkan pertemuan be sar Pak beng hwe maupun Kian-ciau tay-hwee, tidak hadir pula. Karenanya Tam Si bin memandang sinis orang tersebut.
Tiba tiba Yau tiong in berteriak kembali:
"Tam locianpwe, harap tunggu sebentar, silaukan kau dengarkan dulu perkataan dari aku Yau tiong in"
Tam Si bin pura-pura tidak mendengar dan meneruskan perjalanannya menuju ke depan.
Melihat itu, Yau Tiong in mengerutkan dahinya, kemudian berseru dengan lantang:
"Tam locianpwe, masakah sepatah katapun tak kau ijinkan kami Tiam cong pay memberi penjelasan?"
Setelah berkata demikian, tentu saja Tam Si bin tak bisa berpura-pura lagi, ia putar badan dan berkata dengan hambar:
"Apa lagi yang hendak kau katakan?" Yau Tiong in maju tiga langkah kedepan, ia saksikan hanya terpaut sedikit waktu saja mereka berdua telah tertinggal sejauh beberapa kaki dari rombongan lainnya.
Maka sambil maju menghampiri Tam Si bin dengan serius dia berkata:
"Ketidakhadiran kami dalam penemuan Pak beng hwe, maupun Kiau ciau tay hwe bukau disebabkan karena takut mati, tapi sesungguhnya guru kami......"
Agaknya ia merasa sukar nntuk meneruskan perkataan itu tapi setelah berheeti sejenak, ia pun melanjutkan:
"Sesungguhnya guru kami telah dikalahkan oleh Bu liang Sinkun, oleh sebab itu partai kami harus menepati janji dengan menutup diri selama puluhan tahun lamanya"
Berkenyit sepasang alis mata Tam Si bin setelah mendengar perkataan itu, cepat dia berseru.
"Oooh, kiranya begitu! Cuma pegang janjipun harus dibedakan atas urusan yang serius dan urunan yang tidak serius, jika persoalan su- dah menyangkut mati hidupnya dunia persilatan, tidak betul kalau
partai Kalian hanya berpeluk tangan belaka, untung ada Hoa tayhiap dan ibunya coba kalau tidak demikian, entah bagaimanakah keadaan dunia persilatan dewasa ini....."
"Perkataan locianpwe memang benar!" tukas Yau Tiong in sambil tertawa getir, "sebenarnya suhu pun hendak berbuat demikian, beliau rela mengingkari janji dan ditertawakan orang, dari pada tidak turut serta dalam usaha melenyapkan hawa sesat dari dunia persi-latan......"
Sesudah menghembuskan napas panjang, ia melanjutkan:
"Cuma saja, pada waktu itulah tiba-tiba kami temukan bahwa kecuali sebagian kecil anggota perguruan, hampir seluruhnya telah terkena racun jahat yang membuat kami kehilangan tenaga dan tak mampu bertarung lagi dengan orang lain"
Setelah mendengar sampai disini, dengan nada minta maaf buru buru Tam Si bin berseru:
"Oooh, selama ini lohu tak tahu duduk perkara yang sesungguhnya, jika telah melakukan kesalahan, harap Lote sudi memaafkan!"
"Partai kami tak pernah mengungkapkan persoalan yang sesungguhnya, tak heran kalau menimbulkan kesalah pahaman semua orang!"
Agaknya ia merasa amat murung dan sedih, setelah menghela napas panjang katanya lebih jauh:
"Akhirnya suhu kami nanti dengan membawa duka nestapa, sebelum meninggal beliau berpesan agar kami balaskan dendam sakit hati ini, tiga puluh tahun kemudian partai kami dapat muncul kembali dalam dunia persilatan, sesungguhnya dendam sakit hati ini hendak kami tuntut balas, tapi Bu Liang loji sudah keburu mampus ditangan Bun Tay-kun, partai kami tiada kesempatan lagi untuk membalas dendam, tak tahunya murid dari setan tua itu, Kok See-piau berani menyebar undangan untuk mendirikan perkumpulan disini, maka kehadiran partai kami kali ini pasti akan membalas dendam sakit hati itu dihadapan para enghiong hohan"
"Semoga saja usahamu itu berhasil!" kata Tam Si-bun sambil menghela napas panjang.
Sesudah berhenti sebentar, ia menambahkan.
"Sudah tahukah kalian, siapa yang melepaskan racun keji itu sehingga membuat sengsara semua partai?"
Yau Tiong-in menggeretakan giginya kencang-kencang menahan luapan emosi, katanya:
"Sudah bisa dipastikan tak akan terlepas dari Bu-liang si bajingan tua itu!".
Diam-diam Tam Si bin lantas berpikir: Dendam sakit hati sedalam ini sudah pasti akan dituntun balas oleh semua kekuatan dari Thiam cong pay, itu berarti pertumpahan darah pasti akan menghiasi seluruh pertemuan ini"
Setelah berpikir sebentar, ia merasa tidak baik jika berhenti terlalu lama disitu, maka sambil berjalan kedepan, ia bertanya lagi:
Berapa banyak jago yang telah kau bawa kali ini?.
Angkatan mudanya tidak dihitung, dari angkatanku saja ada sembilan orang, ditambah lagi dengan kedua orang susiokku!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Tam Si bin, serunya dengan cepat:
"Asal Thiam cong siang kiam (sepasang pedang dari Thian cong) maka kekuatan kita untuk menumpas hawa sesatpun akan bertambah tangguh!"
Rupanya cianpwe terlalu tinggi menilai Hian beng kau!"
Tampak Si bin menghela napas panjang.
Aaaai... pada mulanya lohu pun berpendapat demikian, sebagai se orang angkatan muda seberapa besar yang bisa dimiliki Kok See Piau dengan ilmu silatnya, tapi sekarang hatiku betul-betul amat murung. Ternyata kehebatan Kok See piau jauh melebihi Kiu ci sin-kan dimasa lalu, bahkan lebih sulit dihadapi kami kalau Hoa tayhip hadir, aaai......! andaikata ada Hoa jikongcu, paling tidak keadaanpun rada mendingan, sayangnya iapun tidak diketahui kemana perginya!"
Kiu Tiong in segera menunjukkan rasa tidak puasnya, ia berkata:
"Ilmu silat Hoa tayhiap tiada keduanya dikolong langit, hal mana sudah jelas diketahui setiap orang tapi Hoa ji kongcu masih muda, apakah locianpwe tidak menilai dirinya terlalu tinggi?"
Tam Si bin tersenyum.
"Tidak, sama sekali tidak, kecerdasan Hoa ji kongcu tiada duanya didunia ini berbicara soal ilmu silat, secara diam-diam lohu pun pernah menjajalnya ketika hendak menghormati secawan arak kepadanya......."
"Sekalipun Hoa ji kongcu berasal dari keluarga persilatan yang termashur, masakah ia sanggup menandingi kehebatan cianpwe?" tukas Yau Tiong in tidak percaya
Tim Si bin gelengkan kepalanya berulang kali sambil tertawa:
Sekalipun sepintas lalu orang mengira kekuatan kita seimbang, padahal lohu tahu bahwa tenaga dalam yang dimiliki Hoa ji kongcu jauh diatas kemampuanku"
Yau Tiong in menjadi tertegun, segera pikirnya:
"Telaga dalamnya ini tergantung dari hasil latihan, usia Hoa yang paling banter berusia dua puluh tahunan, masa dia dapat menandingi mu, sudah tentu kau ingin mempopulerkan namanya saja......."
Sementara itu mereka berdua telah tiba di ujung jalan berbatu itu, setelah melewati dinding tinggi, mereka pun menjadi tertegun.
Kiranya setelan melewati dinding tinggi maka semua pemandangan dalam lembah dapat terlihat dengan jelas.
Kiranya dihadapanya terbentang sebuah lapangan yang amat luas dengan ubin putih yang amat indah sebagai alasnya.
Sebuah bangunan istana yang bersusun-susun tertera nyata nun jauh didepan, pada pintu istana terukir empat buah huruf besar terbuat dari emas berbunyi "Kiu ci-piat-kiong"
Tempat ditengah tanah lapang, dibangun se-uah panggung tiga tingkat yang sangat besar, sebuah permadani berwarna merah darah menghiasi permukanan lantai dari pintu istana hingga bawah panggung tersebut, sementara dikiri kanannya masing-masing berdiri sebuah barak besar, sekalipun dibangun dengan tergesa-gesa namun tidak berkurang keindahanya.
Pada saat itu baik panggung upacara maupun barak besar tak nampak seorang menusia pun, ditengah tanah lapang yang luaspun hanya ada belasan orang jago Hian beng kau yang berlalu lalang sehingga suasana terasa begitu lenggang.
Diam-diam kedua orang itu merasa terperanjat, mereka tidak mengira kalau Hian beng kau bisa membangun istana seindah ini ditengah bukit yang gersang, cukup melibat arsitek bangunan, bisa diketahui betapa besar biaya dan tenaga yang telah mereka hamburkan.
Tam Si bin mencoba untuk memeriksa keadaan disekeliling tempat Itu, tiba-tiba ia menemukan bahwa dalam tebing Ui gou beng tersebut
hampir boleh dibilang tiada jalan tembus lain kecuali jalan usus kambing tersebut, sekeliling lembah hanya ada dinding-dinding bukit yang terjal dan menjulang keudara.
Dengan hati terkesiap diam-diam dia pun berpikir:
Seandainya terjadi pertarungan nanti, asal pihak Hian beng kau menutup mulut lembah, sekalipun kita punya sayap juga tak mungkin bisa kabur dari sini dengan selamat.
Sementara mereka berdua masih mengamati keadaan, mendadak muncul dua orang bocah berbaju hijau yang menghampiri mereka.
Melihat langkah kaki kedua orang bocah berbaju hijau yang ringan itu, Tam Si bin menjadi tertegun, kemudian pikirnya:
Jilid XI
Hanya dua orang bocah cilikpun memiliki ilmu silat yang tidak lemah, hal ini menunjukan kalau Hian beng kau memang benar-benar penuh dengan jago lihay" Terdengar Yau Tiong in berkata dengan hambar:
"Aku belum lelah, kalian boleh pergi dulu karena kami ingin berhenti sebentar disini."
Bocah yang ada disebelah kanan itu berkata:
"Kalau memang begitu biar hamba menunggu perintah disini!"
"Aku tidak menghendaki pelayan orang, lebih baik kalian segera berlalu dari sini!"
Dua orang bocah berbaju hijau itu segera berpaling ke arah Tam Si bin, kemudian serunya berbareng:
Loya-cu.............,..........."'
Sambil mengelus jenggotnya Tam Si bin tertawa, katanya:
"Lohu adalah tulang orang miskin, tidak terbiasa mendapat pelayanan orang lain, jadi kalian lebih baik pergi saja dari sini!"
Tapi setiap enghiong yang turut serta dalam pertemuan besar ini........
"Orang lain adalah orang lain, kami adalah kami, hayo cepat pergi!" bentaknya.
Kedua orang bocah berbaju hijau itu segera menunjukkan wajah serba salah, mereka saling berpandangan sekejap, namun tetap berdiri ditempat semula.
"Kenapa?" teriak Yau Tiong in lagi semakin gusar, "jadi kalian hendak mengawasi gerak-gerik kami?"
"Persoalan apa sih yang telah menimbulkan rasa tak senang dihati Yau Ciang bun?"
Mendengar seruan tersebut, Tam Si bin dan Yau Tiong in segera berpaling, tapi dengan cepat mereka tercengang dengan wajah terte gun.
Ternyata dihadapan mereka telah berdiri seorang gadis cantik jelita berbaju putih, kecantikan gadis itu jarang sekali dijumpai dikolong langit, tapi bukan hal itu yang membuat mereka berdua terkejut, melainkan wajah gadis itu persis sekali dengan wajah ke dua orang putri Pek Siau thian, bekas ketua dari Sin ki pang dimasa lalu.
Dengan cepat Tam Si bin menjura kepada gadis itu, kemudian sapanya:
"Nona memakai marga Bong? Ataukah marga Pek?"
Gadis cantik itu tertawa cekikikan.
"Hei, apa yang terjadi? Heran benar, setiap kali bertemu orang, selalu pertanyaan itu yang diajukan kepadaku!"
Setelah berhenti sebentar, katanya:
"Aku bernama Kok Gi -pek!"
Baik Tam Si bin maupun Yau Tiong in menjadi tertegun, dalam hati pikirnya:
Heran, jika dilihat dari raut wajahnya, ia mirip sekali dengan wajah Pek si hujin, kenapa bisa bukan putri dari Bong Pay dan Pek Soh gi??
Walaupun heran, Tam Si-bin berkata juga: "Kalau begitu nona adalah!.......... .
Tidak menunggu ia menyelesaikan kata-katanya, dengan cepat Kok Gi pek menukas.
"Hian beng kaucu adalah guruku!"
Diam-diam Tang Si bin dan Yau Tiong in merasa sayang dihati, gadis secantik bidadari ternyata adalah murid si gembong iblis, yaa......ibaratnya sekuntum bunga tumbuh diatas kotoran kerbau.
Dalam pada itu Kok Gi pek telah berpaling ke arah dua orang bocah berbaju hijau itu, kemudian tegurnya dengan dingin:
"Apakah kalian yang telah menggusarkan Yau tayhiap?"
Bocah berbaju hijau yang ada disebelah kiri itu menjadi gelagapan, serunya tergagap:
"Adalah.......adalah Yau tayhiap sendiri."
"Hmm! Setiap enghiong yang menghadiri pertemuan ini adalah manusia-manusia yang berjiwa besar" tukas Kok Gi pek ketus, bila bukan kalian yang tak tahu sopan, masa dapat memancing ketidak senangan Yau tay hiap? Kenapa tidak cepat mengaku salah?"
Sungguh tak terlukiskan perasaan Yau Tiong in setelah mendengar perkataan itu, ia tertawa serak, lalu katanya:
"Nona telah salah menegur, persoalan ini sama sekali tiada hubungannya dengan mereka berdua"
Kok Gi pek mengerling sekejap dengan sepasang biji matanya yang jeli, kemudian sambil tersenyum ia berkata:
"Aaah, kenapa Yau tayhiap berkata demikian? Kalau begini jadinya malah kami yang merasa tak enak sendiri!"
Lalu sambil menarik muka, katanya kepada dua orang bocah tersebut:
"Kaucu toh telah berpesan jangan menyalahi tamu agung yang menghadiri pertemuan ini? Sekarang kalian telah melakukan kesalahan, hayo sana menghadap toa kongcu untuk menerima hukuman"
Sekujur tubuh bocah-bocah berbaju hijau itu gemetar keras, agaknya mereka merasa ketakutan setengah mati, namun tidak berani pula banyak bicara maka setelah memberi hormat, sahutnya: "Terima perintah!"
Ketika memutar tubuhnya hendak pergi, tak tahan lagi titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Yau Tiong in yang menyaksikan kejadian itu menjadi tak tega, segera bentaknya: "Tunggu sebentar."
Dua orang bocah berbaju hijau itu segera berhenti, kemudian berpaling kearah Kok Gi pek.
Kalau memang Yau tayhiap ada perintah, tetua saja kalian harus berhenti" ujar Kok Gi pek.
Lalu sambil berpaling kearah Yau Tiong in, ujarnya sambil tertawa:
"Apakah Yau tayhiap merasa cara tersebut kurang dapat melampiaskan rasa gusarmu, sehingga ingin menghukum sendiri mereka berdua?"
"Tolong tanya, apakah kedua orang saudara cilik ini harus melaksanakan hukumannya" tanya Yau Tiong in dengan suara dalam:
Kok Gi pek segera tertawa hambar.
Aneh benar pertanyaan dari Yau tayhiap, memangnya perintah dari perkumpulan Hian beng kau kami hanya permainan belaka"
Merah padam selembar wajah Yau Tiong in karena jengah, kembali ia bertanya:
Entah hukuman apakah yang hendak dilaksanakannya?"
"Jika masuk ke ruang hukaman, berarti mereka harus mampus tapi jika mendapat pengampunan maka keputusan berada ditangan suheng kami, itupun paling enteng harus potong lengan"
Bergidik hati Tam Si bin dan Yau Tiong in setelah mendengar perkataan itu, kekejaman serta keketatan peraturan Hian beng kau boleh dibilang jarang ditemui didunia ini, sebab hanya dibilang melakukan kesalahan kecil pun hukumannya potong lengan, malah Kok Gi pek mengucapkannya dengan begitu santai seolah-olah hukuman tersebut sudah merupakan suatu kejadian yang umum, hal mana cukup menggetarkan hati siapapun yang mendengar.
Yau Tiong in segera memberi hormat, lalu katanya:
"Aku orang she Yau ingin memohonkan pengampunan bagi mereka!"
"Waaah, jika Yau tayhiap berkata demikian, hal ini malah justru akan menyusahkan kami!" kata Kok Gi pek sambil mengerutkan dahinya.
Sebagai seorang jagoan dari golongan kaum pendekar, sudah barang tentu Yau Tiong in merasa tak tega mengorbankan jiwa dua orang bocah cilik yang tak berdosa karena persoalannya, karena terpaksa maka diapun berkata:
"Nona Kok dalam persoalan ini akulah yang sebetulnya tidak benar karena hatiku sedang gundah dan murung maka semua kemarahan telah kulampiaskan pada dua orang saudara cilik ini, sesungguhnya mereka tak bersalah, tentu saja tak pantas dijatuhi hukuman, bila ingin menyalahkan seharusnya akulah yang pantas disalahkan"
Kok Gi pek berseru tertahan, lalu sambil pura-pura tercengang, serunya kembali:
"Aaah, hal ini sama sekali tak masuk diakal" masa ada jago dari golongan lurus yang melampiaskan hawa amarahnya kepada orang lain"
Merah padam wajah Yau Tiong in karena malu, diam-diam sumpahnya dalam hati:
"Budak sialan, tajam benar lidahmu!"
Dalam pada itu Kok Gi pek telah ulapkan tangannya sambil berkata:
"Kalau memang kalian menjemukan dan bodoh sekali sehingga tidak berkenan dihati Yau tayhiap, kenapa tidak cepat pergi dari sini? Berdiri melulu disitu hanya membikin jemu orang saja"
Bocah berbaju hijau itu segera memberi hormat seperti memperoleh pengampunan, buru-buru mereka kabur meninggalkan tempat itu.
Kok Gi pek mengerling sekejap ke arah dua orang tamunya, lalu berkata kembali:
"Para bocah pelayan itu memang bodoh dan tak tahu aturan, tentu saja sulit buat mereka untuk melayani orang pintar entah bagaimana kalau aku saja yang mengantar saudara berdua kembali ke tempat istirahat para tamu agung?"
Mana berani merepotkan nona?" seru Tam Si bin
"Ah, tidak menjadi soal"
Tidak banyak berbicara lagi ia putar badan dan berlalu lebih dulu dari situ.
Terpaksa Tam Si bin dan Yau Tiong in mengikuti pula di belakangnya.
Kok Gi pek membawa dua orang itu berjalan melewati sisi lapangan dan berbelok ke sebuah jalan tembus.
Dalam perjalanan, tiba-tiba Kok Gi pek berkata sambil tertawa:
"Yau tayhiap, apakah kau anggap perkumpulan kami terlampau miskin sehingga tak mampu menjamu tamu banyak?"
Pertanyaan tersebut segera membuat Yau Tiong in menjadi tertegun, katanya.
"Maaf aku tidak paham dengan apa yang nona maksudkan?"
Kok Gi pek tertawa cekikikan.
"Aaah, masa Yau tayhiap tidak mengerti?"
Tam Si bin ikut tertawa tergelak, timbrungnya
"Lebih baik nona jangan bermain teka-teki, apalah salahnya jika berbicara saja terus terang!"
Kok Gi pek tersenyum manis, katanya kemudian:
"Yan tayhiap, susiokmu Tiang cong siang kiam, masa yang satu tinggal diruang kedua, yang lain tinggal di ruang ketiga, sementara suheng dan murid-muridmu malah menempati ruangan ke empat sampai ruang sembilan bukan saja tidak memakai nama asli, pun tidak menye-butkan asal perguruan asal mana, sungguh menyulitkan perkumpulan kami ataukah Yau tayhiap merasa malu karena membawa anggota perguruan yang terlalu besar jumlahnya, sehingga daripada ditolak masuk maka kalian gunakan taktik tersebut?"
Setelah berhenti sejenak, sambil tertawa ia melanjutkan:
"Harap Yau ciangbun legakan hati sekalipun dari perguruan kalian ada seribu orang yang datang, perkumpulan kami masih sanggup untuk menjamunya apalagi cuma lima puluh orang"
Ucapan tersebut kontan saja membuat paras muka Yau Tiong In berubah menjadi pucat sebentar merah sebentar, sungguh tak terlukiskan rasa kaget dan terkesiapnya.
Ternyata partai Tiam cong memang telah mengatur rencana untuk membalas dendam dengan mempergunakan kesempatan itu, maka segenap ke kuuatan mereka telah dikerahkan datang.
Akan tetapi karena kuatir kekuatan tersebut ketahuan Hian beng kau, maka kecuali Yau Tiong in seorang, yang lain segera menyaru dan menyusup masuk dengan cara menyebarkan diri, rencana mereka bila upacara peresmian nanti diselenggarakan , maka mereka akan lancarkan serangan secara mendadak....
Siapa tahu jejak mereka justru telah diketahui oleh pihak Hian beng kau, malahan jumlahnya tak kurang seorangpun, ucapan dari Kok Gi pek tersebut semakin menunjukkan bahwa gerak-gerik mereka memang selalu diawasi.
Tam Si bin yang menyaksikan kejadian itu segera kuatir kalau ia tak tahan diri, buru-buru menarik ujung bajunya lalu tertawa terbahak bahak.
"Haaahn.....haaah h...haaahhh............berita yang kalian peroleh sungguh amat tajam, sungguh mengagumkan!"
Kok Gi pek mengerdipkan biji matanya yang jeli, lalu katanya:
"Tan cianpwe terlalu memuji partai kami.. ....
Sambil tertawa Tam Si bin segera menukas:
Tiga orang suteku dan delapan orang keponakan muridku datang kemari secara berombongan, mungkin merekapun tidak menyebutkan nama yang sebenarnya, harap kalian suka memaafkan.
Mendengar perkataan itu, diam-diam Kok Gi pek berpikir:
Jago kawakan memang biasanya lebih cerdik dan cekatan.........
Maka ujarnya sambil tersenyum:
Ah, ucapan Tam cianpwe terlalu serius. Para jago dengan tidak mengecilkan partai kami sebagai partai sesat telah sudi berkunjung kemari, hal ini sudah amat mengharukan hati kami, orang lain sedang berbuat bagaimana lantas bagaimana, tentu perkumpulan kami tak berani banyak bicara, pertama jangan kuatir kalau pelayanan kami kurang baik, kedua kuatir jika ada kawanan manusia rendah yang memanfaatkan kesempatan ini untuk memancing diair keruh maka mau tak mau terpaksa kami harus bersiap lebih waspada"
Meskipun perkataan itu mengandung sindiran, namun kedua orang jago tersebut tak mampu menanggapi walaupun hanya sepatah kata pun.
Sementara itu Kok Gik pek telah berkata lagi setelah berhenti sejenak:
"Seandainya kali ini Jin tianglo dan Tiangsun tianglo dari perkumpulan kami tidak berhasil mengenali jago-jago lihay dari partai kalian berdua jika hal ini sampai tersiar dalam dunia persilatan, bukankah orang lain akan mentertawakan kami orang orang Hian beng kau sebagai manusia yang punya mata tak berbiji"
Tam Si bin segera tertawa terbahak bahak.
Haahh......haahh.....haaahh......aku pikir Jin tianglo serta Tiangsun tianglo kalian pastilah jago-jago lihay dari dunia pesilatan.
"Tiangsun tianglo sudah lama mengasingkan diri dari keramaian dunia" kata Kok Gi pek hambar, "dia merupakan keturunan langsung dari seng jiu lu pan (Lu Pan bertangan malaikat) yang telah membangun istana Kiu ci kiong dari coucu kami tempo hari, kali ini keturunannya kembali berkerjasama dengan perkumpulan kami untuk membangun istana kedua........."
"Apakah dia adalah Tiangsun Poh?" tanya Tam Si bin dengan perasaan bergetar keras.
"Betul!" Kok Gi pek manggut-manggut.
Setelah berhenti sejenak, ia berkata lebih jauh:
"Sedangkan Jin tianglo, dia lebih termashur lagi, tentunya kalian berdua belum lupa bukan dengan Cong tausu dari perkumpulan Hong im hwee yang tersohor pada dua puluh tahun berselang?"
"Jin Hian maksudmu?" seru Yau Tiong in kaget.
Kok Gi pek tertawa hambar.
"Yaa, itulah Jin tianglo"
Sementara pembicaraan berlangsung sampai disitu, mereka bertiga telah tiba disebuah bangunan rumah yang dikelilingi pagar tembok tinggi.
Bangunan rumah disana bersusun-susun dengan serambi yang saling berhubungan, ada pohon yang rindang, kolam air yang jernih, gunung-gunungan yang indah dan taman bunga dengan aneka tumbuhan yang berbau harum, sungguh tempat itu merupakan sebuah pemandangan yang sangat indah.......
Sepanjang serambi ruangan kecuali para jago dari empat penjuru yang datang menghadiri upacara, terlihat pula banyak gadis cantik yang berjalan hilir mudik.
Sambil menghentikan langkahnya Kok Gi pek lantas bertanya:
Kalian berdua ingin tinggal bersama orang-orang separtai, ataukah ingin tinggal secara terpisah?"
Tam Si bin dan Yau Tiong in saling berpandangan sekejap lalu diam-diam tertawa getir.
Baru saja mereka masuk ke wilayah Ui gou peng, sekalipun tahu kalau rekan-rekan seperguruannya telah masuk kedalam lembah tapi hingga kini belum mengadakan kontak, merekapun enggan menanyakan persoalan ini kepada pihak Hian beng kau, maka untuk sesaat menjadi bingung tidak memberi jawaban.
Kok Gi pek segera tertawa cekikian, tiba-tiba ia bertepuk tangan pelan, segera muncul dua orang gadis cantik menghampirinya, setelah memberi hormat tanyanya:
"Ada urusan apa nona?"
Sambil menuding kedua orang itu, Kok Gi pek berkata:
"Persiapkan segera baik-baik tempat menginap dua orang tayhiap ini, jangan tertindak kurang sopan!"
Dua orang pelayan cantik itu segera mengiakan, setibanya dihadapan Tam Si bin dan Yau Tiong in mereka memberi hormat kemudian ujarnya bersama:
"Menjumpai ya koan berdua!"
Sambil menuding dua orang pelayan cantik itu Kok Gi pek kembali berkata:
"Yang disebelah kiri bernama Kim Kwi khusus melayani Tam loy cu, Sedangkan yang di kanan Cui Huan anggap saja untuk Yau tayhiap"
Setelah berhenti sebentar ia melanjutkan:
"Mulai sekarang, dua orang pelayan ini menjadi milik kalian berdua kecuali makan, hidup kalian berdua, mati hidup kedua orang pelayan inipun berada ditangan kalian, perkumpulan kami tidak akan berhak untuk menanyakan lagi, jika kalian memang setuju, selesai upacara nanti kedua orang pelayan itu boleh kalian bawa pergi"
Kontan saja Yau Tiong in mencaci maki:
"Hmm! Tidak bermaksud baik, rupanya kau hendak menjebak orang"
Kok Gi pek tertawa cekikikan.
"Arak itu tidak memabukkan adalah orang yang mabuk dengan sendirinya, emas tulen tak kuatir dibakar dengan api, hanya jago-jago tulen yang tidak kuatir perpengaruh oleh arak, perempuan, har ta dan kedudukan. Apakah Yau tayhiap kuatir imannya kurang tebal dan tidak tahan godaan......
Sepasang alis mata Yau Tiong in langsung berkenyit, serunya dengan angkuh:
"Ako orang she Yau mana takut....."
Tiba-tiba Tam Si bin mendeham pelan, kemudian dengan kening berkerut katanya:
"Lohu adalah orang dari gunung yang terbiasa hidup bebas, jika dilayani orang malah rasanya kurang leluasa, nona Kok, biarlah maksud baikmu itu kuterima dalam hati saja"
Ketika mendengar perkataan itu, paras muka dua orang pelayan cantik itu segera berubah hebat.
Kok Gi pek tersenyum, katanya:
"Tam cianpwe, kau harus tahu, seandainya suhengku atau para thamcu yang melayani kedatangan kalian sekarang, maka dua orang pelayan ini mungkin sudah tergeletak tak bernyawa lagi!"
Yau Tiong in mendengus marah, serunya.
"Aku orang she Yau merasa kagum sekali dengan ketatnya peraturan Hian beng kau, cuma.......hmm, apakah kalian tidak merasa kebangatan dengan tindakan semacam itu?"
"Yaa, kalau tidak begini, mana mungkin perkumpulan kami bisa menegakan disiplin dan memperketat peraturan?"
Tam Si bin benar benar tak dapat mengendalikan perasaannya lagi. dengan dingin ia berseru.
"Perbuatan perkumpulan kalian memang luar biasa sekali, waah, dengan cara kalian yang kejam dan tidak kenal perasaan begini rasanya memang tidak sulit bila ingin menguasahi seluruh jagad.
Kok Gi pek tidak membantah atau mendebat perkataan itu, pelan- pelan dia berjalan kehadapan dua orang pelayan itu, lalu setelah menghela nafas sedih ujarnya:
Kalian baik-baiklah bertugas, seperti yang diketahui, peraturan dari perkumpulan kita sangat ketat, jika sampai melanggar peraturan
tersebut, bahkan akupun tak akan sanggup menyelamatkan jiwa kalian.
Agak merah sepasang mata dua orang pelayan itu, mereka tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Dengan suara lirih Cui Huan lanias berkata:
Terima kasih banyak atas kebaikan nona.
Kok Gi pek menghela nafas panjang, dia berpaling kearah lain dan berkata lagi dengan dingin:
Soal penyambut tamu agung sesungguhnya bukan urusanku, aku sampai berbuat demikian tak lebih karena ingin mengurangi jumlah kematian yang tak berguna, toh aku hanya bisa berbicara disini saja, untuk selanjutnya terserah pada kalian sendiri!"
Sambil putar badan ia bersiap meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba ia berhenti.
Tam Si bin dan Yau Tiong in yang menyaksikan kejadian tersebut ikut berpaling.
Tampaklah dari tikungan jalan sebelah depan sana muncul tiga orang manusia, paling depan adalah seorang kakek berjenggot putih berwajah merah sedang dibelakangnya mengikuti seorang laki dan seorang perempuan yang jalan bersanding.
Kedua orang itu mirip suami istri, yang pria beralis tebal bermata besar dan bertubuh tegap, ia tampak gagah perkasa sedang yang perempuan berwajah cantik dan bersikap anggun, kedua-duanya ti dak membawa senjata.
Dalam sekilas pandangan saja Kok Gi pek telah mengetahui siapakah kedua orang itu, ditatapnya perempuan cantik setengah umur itu sekejap, lalu pikirnya:
"Yaa, tak salah lagi aku memang mirip sekali dengannya......"
Entah mengapa tiba-tiba muncul suatu perasaan aneh dalam hatinya, kalau bisa ia ingin sekali menubruk kedalam pangkuan perempuan cantik setengah umur itu.
Ketika sepasang suami istri itu berjumpa dengan Kok Gi pek, merekapun kelihatan agak tertegun, empat buah mata sama-sama menatap wajahnya tanpa berkedip.
Setelah tertegun beberapa saat lamanya, tiba-tiba perempuan cantik berusia setengah umur itu berjalan menghampiri Kok Gi pek kemudian sapanya:
"Nona, bolehkah aku tahu siapa namamu?"
Keangkuhan Kok Gi pek sama sekali lenyap tak berbekas, dengan amat sopan ia memberi hormat, lalu sahutnya.
"Boanpwe Kok Gi pek!"
Mendengar perkataan itu, sang nyonya cantik itu tertawa kepada laki-laki kekar itu, ujarnya:
"Toako, sudah kau dengar? Aku tebak yang di maksudkan pastilah moay moay"
Laki-laki kekar mendengus rendah, sikap sinis menghiasi wajahnya.
"Nona berasal darimana?" kembali nyonya cantik itu bertanya lagi.
Kok Gi pek tidak menjawab, sebaliknya mala bertanya:
"Apakah cianpwa adalah Cu sim siancu (Dewi berhati bajik)?"
Nyonya cantik setengah umur itu tersenyum.
"Aaah, itu cuma sanjungan dari sahabat-sahabat persilatan, Pek Soh gi mana pantas menerima julukan tersebut?"
Ternyata sepasang suami istri ini bukan lain adalah Bong Pay serta Pek Soh gi.
Walaupun Pek Soh gi adalah putri Pek Siau thian, tapi sejak kecil dia ikut dengan ibunya Koa Hong bwe meninggalkan perkumpulan Sin ki pang dan tinggal dibukit Hoan keng san.
Sepanjang tahun dia makan makanan berpantang seperti ibunya dan tak pernah meninggalkan rumah barang selangkah pun, oleh sebab itu bukan saja tidak ternoda oleh kebiasaan orang-orang persilatan, kelembutan dan kehalusan budinya masih suci bersih, hingga siapapun yang berjumpa dengannya tentu menaruh simpati kepadanya.
Kemudian setelah menikah dengan Pek lek kun (pukulan geledek) Bong Pay, untuk menebus dosa ayahnya dan lebih-lebih atas dorongan suaminya untuk banyak beramal, kelembutan dan kebaikan hatinya merebut simpati banyak orang, sekalipun ada musuh yang berniat ja hat, hawa sesatnya segera terpunahkan setelah berjumpa dengannya, sebab itulah orang persilatan menghadiahkan julukan "Cu sim Siancu kepada-nya,
Bong pay adalah murid Pek sian (Dewa geledek) dari Bu lim siang sian (sepasang dewa dari dunia persilatan) didalam pertemuan Pak beng-bwe, Pek lek sian menemui ajalnya dengan menanggung dendam, waktu itu ia masih muda dan hidup gelandangan dalam dunia persilatan, tapi untung dengan ketekunannya berlatih dan memperoleh bimbingan dari supeknya Siau yau sian (dewa yang suka keluyuran) Cu Thong serta Hoa Thian hong, akhirnya ia berhasil juga mengangkat dirinya menjadi seorang pendekar besar yang menggemparkan dunia persilatan.
Semenjak kawin dengan Pek Soh gi yang lemah lembut, ia banyak sekali berbudi sosial dan menolong orang apa lagi didampingi istrinya yang lemah lembut, hal mana membuat kewelasan hatinya bukan aja bertambah tebal, bahkan sifat berangasannya dimasa lalupun sudah banyak berubah.
Coba kalau bukan demikian, setelah mendengar perkataan dari Pek Soh gi tadi, niscaya ia sudah memaki Kok See piau dengan beberapa patah kata yang tajam.
Sejak ia masuk kedalam keluarga Pek, sebenarnya kursi kebesaran sebagai seorang pangcu dari perkumpulan besar itu menjadi miliknya, tapi ia adalah seorang yang tak suka kebesaran dan kedudukan, malah perjuangannya terhitung paling besar ketika membubarkan Sin ki pang, atas perbuatannya itu banyak jago dari kalangan lurus yang kagum dan memuji dirinya.
Dengan pandangan kagum Kok Gi pek memperhatikan wajah Pek Soh gi lekat-lekat, meski usianya telah mencapai empat puluh tahunan, ternyata kelembutan dan kecantikannya masih tertera jelas.
Makin dilihat, gadis itu merasa semakin simpati, sehingga akhirnya ia berkata:
"Aaah mana kecantikan cianpwe bagaikan bidadari, kelembutan hatinya bagaikan Buddha julukan Cu sim Siancu memang paling pantas untuk diri cianpwe"
"Soal itu tak usah dibicarakan lagi nona, apakah kau bersedia memberi tahukan kepadaku berasal dari mana?"
"Boanpwe berasal dari Cing-ciu!"
"Aaah......!" Pek Soh-gi berseru tertahan,
wajahnya segera diliputi oleh rasa kecewa yang mendalam sekali.
"Soh gi, belum tentu dalam dunia ini terdapat kejadian yang begini kebetulan, sudahlah, lupakan saja!"
Tapi Pek soh gi segera gelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku tidak terlalu percaya!" katanya.
Tiba-tiba satu ingatan menggerakkan hati Kok Gi pek, diam-diam pikirnya:
"Kalau diresapi maksud dari ucapannya itu, apa dia telah menganggapku sebagai putrinya..."
Sementara ia masih melamun, Pek soh gi telah bertanya lagi:
"Nona, apakah ayah ibumu masih sehat semua?"
Kok Gi pek menggerakkan bibirnya hendak menjawab, tapi sebelum mengucapkan sesuatu, kakek berwajah merah berambut putih yang bukan lain adalah Toan bok Seeliang, Tamcu dari markas besar Hian beng kau telah manyela sambil mendehem ringan.
"Bong hujin, orang tua nona Kok tentu saja masih sehat wal'afiaat......"
Sebenarnya Bong Pay terhitung masuk anggota keluarga Pek, tapi berhubung Pek Soh gi amat menghargai suaminya, dalam setiap persoalan Bong Pay yang mengatasi dan untuk meneruskan tali keturunan keluarga Bong, maka keturunannya semua memakai nama marga Bong, dan persoalan ini telah dirunding sebelumnya secara baik baik.
Pek Soh gi sama sekali tidak memperdulikan jawaban kakek itu, kembali ia mengulangi pertanyaannya:
"Apakah ayah ibumu masih hidup?"
Kok Gi pek manggut manggut
"Terima kasih atas perhatian cianpwe hingga kini orang tuaku masih segar bugar"
Pek Soh gi amat kecewa, pikirnya:
Betul-betul aneh sekali, masa kolong langit bisa terdapat seorang anak yang bukan keturunannya tapi mempunyai type wajah yang begitu mirip? Hal ini betul-betul mustahil!"
Dengan perasaan tergerak, ia bertanya lagi:
"Bolehkah kami suami isteri berdua bertemu dengan orang tuamu?"
Tiba-tiba Toan See liang menyela kembali: Bong hujin, ada pepatah mengatakan, jika tidak sepaham maka tak akan sekomplot, buat apa kalian musti berjumpa muka?"
Pek Soh gi kembali pura-pura tidak mendengar.
"Aku pikir she Kok tersebut bukan nama warga nona yang sebetulnya, bolehkah aku tahu nona sebenarnya she apa? Kenapa me ngikuti she gurumu?
Percayalah bahwa aku bermaksud baik, maka akupun minta agar kau jangan berbohong"
Bong hujin!" tegur Toan bok See liang dengan kening berkerut, "cara menyelidiki urusan pribadi nona Kok dari perkumpulan kami sudah merupakan perbuatan yang melanggar pantangan besar"
Sehabis berkata ia lantas melangkah pergi dari situ.
Bong Pay mengernyitkan alis matanya yang tebal, tiba-tiba ia rentangkan tangannya untuk menghadang jalan pergi kakek itu kemudian sambil tertawa ujarnya:
"Toan bok thamcu, terimalah salam hormat dari Bong Pay!"
Rentangan tangan itu memang kelihatan-nya sederhana dan tiada sesuatu yang aneh, padahal justru mengandung suatu kekuatan besar yang setiap saat siap dilontarkan bilamana Toan bok See liang nekad untuk menyerbu ke depan, maka serangan yang dahsyat dan mematikan itu segera akan meluncur keluar.
Sebagai seorang jago kawakan tentu saja Toan bok See liang cukup mengetahui kelihaiyan dari serangan tersebut, dengan wajah berubah ia segera berhenti, katanya dengan gusar:
"Bong tayhiap, kalian suami istri berdua datang kemari sebagai tamu, kenapa sikap kalian begitu kelewat batas?"
"Istriku toh cuma mengajukan beberapa buah pertanyaan saja kepada nona ini, apakah perbuatan semacam ini termasuk kebangetan"
Paras muka Toan bok See liang segera berubah menjadi hijau membesi, katanya kemudian:
"Baik, baik, apakah Bong tay hiap bermaksud untuk bertarung sekarang juga?"
"Oh, aku orang she Bong sebagai tamu pasti akan mengiringi keinginan tuan ramah!"
Kok Gi pek yang melihat gelagat tak enak, dengan alis berkenyit segera menegur:
"Empek Toan bok, kenapa sih kau ini"
Toan bok See liang berkerut kening, tiba-tiba sambil tertawa tergelak katanya:
"Ternyata Bong tayhiap suami istri sangat memperhatikan murid sinkun perkumpulan kami, peristiwa ini betul-betul merupakan ke jadian yang baik, lohu merasa amat gembira"
Pek Soh Gi tersenyum ia bertanya lagi:
"Bagaimana pendapat nona?"
Pek Soh ikut tertawa.
"Cianpwe suami istri adalah jago-jago kenamaan dalam dunia persilatan, bila ada waktu, dengan senang hati orang tua kami pasti bersedia untuk bertemu dengan kalian"
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan:
"Aku mengikuti nama marga dari guruku, ini dikarenakan guruku telah mendapat persetujuan dari ayahku, semenjak kecil sudah demikian"
Dengan kecewa Pek Soh gi menghela napas panjang, setelah fakta berbicara demikian terpaksa ia harus urungkan niatnya sampai disitu.
Dengan penuh kasih sayang Bong Pay membelai bahu istrinya dan menghibur dengan kata-kata yang manis.
Tapi Pek Soh gi gelengkan kepalanya berulang kali, dengan mata berkaca- kaca, tiba-tiba ia berseru:
"Ooh toako jika dia adalah putri kami, betapa senangnya aku!"
Kok Gi pek merasakan hatinya bergetar keras, kalau bisa dia ingin menubruk ke dalam pangkuan Pek Soh gi dan menghibur hatinya,
Perasaan semacam itu memang aneh sekali, bahkan ia sendiripun agak tercengang oleh perasaan demikian, sambil mengendalikan diri iapun berpiir:
"Kalau diingat kembali, sebetulnya mereka dengan aku masih terhitung musuh besar tapi heran, kenapa kau bisa mempunyai perasaan semacam itu.
Berpikir sampai disitu, ia lantas bungkukkan badan memberi hormat seraya ujarnya:
"Boanpwe ingin mohon diri lebih dulu, semoga saja dikemudian hari bisa banyak peroleh petunjuk dari cianpwe berdua"
Diam-diam Toan bok See liang menghembuskan napas panjang, cepat ia berkata pula sambil tertawa.
"Saat upacara peresmian sudah makin dekat, tamu yang datang makin banyak, maaf jika lohu muski mohon diri lebih dulu karena masih banyak tugas yang harus ku selesaikan"
Setelah memberi hormat kepada Bong Pay suami istri, menyusul dibelakang Kok Gi pek diapun berlalu dari situ.
Bong Pay segera menjura, Pek Soh gi membalas hormat pula dengan memaksakan diri katanya.
"Nona Kok, semoga saja dalam waktu singkat kita bisa berjumpa kembali......"
"Semoga saja demikian, Boanpwe pun berharap bisa bertemu lagi"
Ketika sampai diujung jalan saja, gadis itu tak tahan telah berpaling kembali ketika dilihatnya Bong pay suami istri menghantar kepergiannya, tiba-tiba iapun merasa agak berat hati untuk berpisah dengan mereka, setelah tertegun sejenak akhirnya ia baru beranjak dan pergi dari situ.
Menanti bayangan tubuh gadis itu sudah lenyap tak berbekas, Pek Sob gi baru berkata dengan sedih.
"Toako, bila Siau yu masih hidup, saat ini dia pun sudah dewasa seperti dia!"
Bong Pay menghela napas panjang.
"Aaai.....tapi ia punya orang tua, sedang jenasah Siau yu pun hingga kini telah...."
Tapi melihat kesedian yang melimuti wajab istrinya, tiba-tiba ia berganti pembicaraan, katanya dengan lembut.
"Dalam dunia yang begini lebar, segala kemukjijatan bisa terjadi dimana-mana, wajah yang mirip bukannya suatu hal yang tak mungkin terjadi tapi bila Kok See piau sengaja mencarinya, diapun belum tentu bisa menemukan"
Kiranya sejak kawin dengan Bang pay, pek Soh gi telah melahirkan dua orang putra dan seorang putri.
Putra sulungnya Cong beng tahun ini telah berusia dua puluh tahun, ia merupakan anak yang dipersiapkan untuk meneruskan generasi keluarga pek.  

Bara Maharani - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang