Rahasia Hiolo Kumala Jilid 16-17

2.5K 31 0
                                    

Jilid 16

DARI Seng-sut-pay yang bernama Tang Kwik-siu telah sesumbar sebelum kabur kembali ke negeri asalnya bahwa dalam sepuluh atau seratus tahun mendatang, pihak Seng-sut-pay akan mengirim jago lihaynya untuk minta kembali kitab pusaka perguruannya dan mengetahui pula kalau murid pertama dari Tang Kwik-siu bernama Hong-Liong, maka begitu mendengar Siau Khi-gi mengatakan bahwa susioknya bernama Hong Seng, teringat juga akan perkataan dari tosu setengah baya tadi yang menyinggung soal "ilmu siluman" dan "hiolo darah". Pahamlah pemuda itu siapa gerangan musuh yang sedang dihadapi.

Siau Khi-gi sendiri rada terperanjat sehabis mendengar perkataan itu. Untuk sesaat ia termangu, tapi hanya sebentar, tiba-tiba sorot mata aneh memancar dari matanya lalu tertawa seram. "Hee.... hee.... hee.... Sekarang aku sudah paham, kau tidak she Pek tapi she Hoa, kau dilahirkan oleh Pek Kun-gi!"
Tampaknya Hong Seng adalah seorang manusia kasar yang tidak mengerti menggunakan otak. Ketika didengarnya Siau Khi-gi menyebut 'kau she Hoa', tanpa banyak berbicara lagi dia lantas membentak, "Khi-gi, tangkap orang itu! Tangkap orang itu!"
Hoa In-liong sendiripun diam-diam merasa terperanjat, pikirnya, "Ia dapat menebak aku she-Pek dari ibuku, kecerdikan serta daya kemampuannya untuk berpikir betul-betul bukan sembarangan orang dapat menandangi. Bila ingin menangkan pertarungan ini, agaknya aku harus bersikap lebih berhati-hati"
Sekalipun dalam hati merasa terperanjat, paras mukanya sama sekali tidak berubah. Pemuda itu merasa tak bisa memungkiri lagi setelah pihak lawan berhasil menebak jitu asal usulnya. Kalau tidak, maka tindakannya ini sama artinya seperti tak berani mengakui nenek moyang sendiri.
Sementara itu, Siau Khi-gi telah maju ke depan setelah mendengus dingin katanya, "Bagaimana? Mau menyerah kalah ataukah harus bertarung lebih dahulu sebelum takluk?"
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu tertawa, "Aku tak pernah takut terhadap ilmu silat aliran Mo-kauw. Sebentar lagi aku pasti akan minta petunjuk dari saudara Siau. Tapi sebelum itu, lebih baik kita bereskan dahulu sebuah persoalan. Bila kau tidak bisa mengambil keputusan, biarlah aku bercakap-cakap secara langsung dengan gurumu"
Sekalipun perkataan itu diutarakan dengan blak blakan dan wajah yang cerah, namun dalam pendengaran Siau Khi-gi ibaratnya sebilah pisau yang menusuk ulu hatinya. Saking sakit hatinya ia sampai menggertak gigi dengan muka hijau membesi.
Hong Seng yang ada disampingnya segera menukas, "Tooyaa tidak ingin membicarakan soal apapun jua, Khi-gi Sikat saja bajingan cilik itu!"
Sejak tadi Siau Khi-gi memang berharap bisa mendapat perintah tersebut, tanpa banyak bicara lagi ia membentak keras, lalu melancarkan sebuah pukulan dahsyat kearah Hoa In-liong.
Serangan tersebut dilancarkan dalam keadaan amat gusar, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya pukulan itu. Diantara deruan angin yang mengerikan, bagaikan terbentuknya selapis tembok hawa, secara langsung menerjang kedada pemuda itu.
Hoa In-liong tak tahu serangan itu suatu serangan sungguhan atau tidak. Ia tak berani dengan gerakan keras lawan keras. Dengan suatu langkah yang cekatan dia mengigos kesamping lawannya. Setelah lolos dari sambaran angin pukulan yang maha dahsyat itu, segera bentaknya keras-keras, "Tunggu sebentar! Aku hendak mengucapkan sesuatu kepada kalian...."
Orang Mo-kauw paling tidak menurut aturan dunia persilatan. Dikala anak muda itu sedang mengigos kesamping, terlihatlah seorang imam jubah kuning lainnya menyelinap ke muka. Lengan kanannya segera menyambar ke depan mencengkeram punggung Hoa In-liong, bentaknya dengan seram, "Mau bicara nanti saja bila sudah tertawan, too-ya tak akan menyiksa dirimu"
Serangan yang dilancarkan dari belakang adalah suatu sergapan yang memalukan. Hoa In-liong paling benci menghadapi manusia-manusia macam begini.
Serta merta telapak tangan kirinya diayun ke bawah membacoh pergelangan tangan kirinya. "Bangsat, tak tahu malu!" dia memaki.
Serangan tersebut dilancarkan dengan gerakan "Menyerang sampai mati gerakan pertama". Babatan sisi telapak tangannya itu tak kalah tajamnya dengan pedang atau pisau belati. Andaikata terbacok telak, niscaya pergelangan tangannya akan cacad.
Terkesiap orang baju kuning itu karena kaget, cepat-cepat sikutnya ditekuk ke bawah tubuhnya dengan gerakan cepat mundur tiga langkah kebelakang.
Menggunakan kesempatan itu Hoa In-liong melompat mundur kebelakang dan langsung menyusup kehadapan Hong Seng, dengan wajah penuh kegusaran dan tampang yang buas ia membentak, "Sebetulnya kau pakai aturan tidak?"
Hong Seng mundur selangkah dengan hati keder, keberaniannya agak goyah oleh keangkeran musuhnya. "Kenapa tooya tidak pakai aturan?" dia menyahut.
"Kalau pakai aturan itu lebih bagus lagi, lepaskan dulu tawananmu!" kata Hoa In-liong lebih jauh dengan mata bersinar tajam.
Hong Seng mulai pulih kembali kesadarannya setelah mendengar ucapan itu, dia semakin tertegun. "Kenapa tooya musti melepaskan tawanan?"
"Hmm ! Engkau benar-banar manusia yang tak tahu malu!" bentak Hoa In-liong sambil melangkah setindak kedepan, "Sekalipun Yu Siau-lam adalah sahabat karibku, ia sama sekali tak tahu kemana aku pergi. Sedang kau telah menyekapnya tanpa alasan yang kuat, bahkan menanyakan pula jejakku. Cara semacam ini sudah terhitung suatu tindakan yang tak tahu aturan. Sekarang aku kan sudah berdiri dihadapanmu? Bagaimanapun juga tujuanmu menyekap Yu Siau-lam sudah tercapai, mengapa tidak kau lepaskan juga dirinya? Atau memang kau anggap aku tak bisa melakukan apa-apa terhadap dirimu?".
Pada waktu itu kemarahan telah menyelimuti seluruh benak Hoa In-liong. Perkataannya kian lama kian bertambah kasar, tampangnya juga makin lama semakin keren. Didesak secara begini oleh anak muda itu, kontan Hong Seng merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri. Ia bergidik dan tanpa sadar mundur selangkah lagi ke belakang.
Walaupun demikian, bukan bukan berarti persoalan dapat diselesaikan dengan begitu saja.
Hoa In-liong benar-benar memandang rendah musuhnya yang bernama Hong Seng ini, karena lawannya itu berhasil digertak sampai ketakutan setangah mati, walau cuma hanya dengan kata-kata belaka.
Dalam kesal dan jengkelnya, anak muda itu segera memutar badannya dan siap berlalu dari situ.
Tapi.... baru saja badannya berputar, tiba-tiba terasa ada desiran angin dingin menyergap belakang tubuhnya, menyusul kemudian lima jari tangan yang tajam bagaikan kaitan mengancam iganya.
Ternyata reaksi dari Hoa In-liong cukup cepat, tiba-tiba ia tarik lambungnya ke belakang, telapak tangan kanannya diangkat ke atas. Dengan jari tengah dan telunjuknya ia totok pergelangan tangan musuh yang sedang menyambar tiba itu.
Diantara desingan angin jari yang menderu-deru, terdengar serentetan jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memecahkan kesunyian. Seorang imam berbaju kuning terhuyung mundur kebelakang dengan sebuah lengannya terkulai kebawah.
Ternyata dalam serangannya tersebut, totokan jari tangan dari Hoa In-liong itu berhasil mematahkan pergelangan tangan kanan lawannya.
Baru pertama tali ini Hoa In-liong melukai orang, tak kuasa jantungnya berdebar keras.
Sementara itu Siau Khi-gi menjadi ketakutan setengah mati. Diam diam ia bersyukur. Bersyukur karena bukan dia yang melakukan serangan tersebut. Kalau tidak maka yang terluka sekarang bukan imam baju kuning itu melainkan dirinya.
Mula-mula Hong Seng agak tertegun karena terperanjat, tapi sesaat kemudian dengan wajah menyeringai seram dan sorot mita bertambah buas, ia membentak nyaring, "Khi-gi, siapkan hiolo darah!"
Menyaksikan kebuasan sorot mata Hong Seng, apalagi setelah mendengar ia meneriakkan kata-kata "siapkan hiolo darah," Hoa In-liong merasakan hatinya berdetak keras, segera pikirnya, "Konon anak murid Mo-kauw dari Seng Sut-pai banyak yang memiliki ilmu sesat yang rata-rata amat lihay dan luar biasa, seperti misalnya Hong Seng. Rupanya ia menitik beratkan kepadanya pada "hiolo darah" tersebut. Aku tak boleh berbuat gegabah sehingga kena dipecundangi olehnya"
Walaupun dihati kecilnya ia merasa murung bercampur ngeri namun kewaspadaan sama sekali tidak berkurang. Diawasinya Siau Khi-gi yang ada disampingnya dengan pandangan tajam.
Sekulum senyuman dingin yang seram dan keji tiba-tiba menghiasi wajah Siau Khi-gi. Kemudian ia putar badan dan pelan-pelan berjalan ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. Sikap maupun air mukanya berubah jadi amat serius.
Sementara itu, Hong Seng sendiri jaga berdiri dengan wajah serius. Sepasang matanya tertutup rapat, bibirnya bergetar kemak kemik seperti orang lagi membaca doa. Entah mentera apa yang sedang dibaca oleh imam tersebut?
Tindak tanduknya persis seperti upacara suatu aliran kepercayaan yang serba misterius. Suasana penuh diliputi keangkeran, keajaiban, kemisteriusan, kengerian dan serba baru. Berada dalam keadaan begini, Hoa In-liong merasa detak jantungnya tiba-tiba berdebar lebih keras, sampai-sampai bernafas keras-keras pun tak berani.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Hoa In-liong, dengan cepat ia berpikir, "Eeh.... Tidak benar!. Bukankah kamar tengah adalah kamar yang dipakai oleh mereka untuk menyekap saudara Siau-lam? Jangan-jangan.... Ya Jangan-jangan....""
Dengan cepat ia menengadah, waktu itu Siau Khi-gi sudah melangkah di atas serambi.
Saking kagetnya peluh dingin telah membasahi sekujur badan Hoa In-liong, kakinya lantas dijejakkan ke permukaan tanah sambil menerjang ke depan dengan cepat.
"Tunggu sebentar!" bentaknya lantang.
Menyusul suara bentakan itu, dia lancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah tubuh Siau Khi-gi, sedang serangan yang lain ditujukan ke arah pintu kamar.
Gerakan tubuhnya itu terlampau cepat, dalam keadaan demikian tak sempat bagi Siau Khi-gi untuk menghindarkan diri, ia terjatuh keluar dengan sempoyongan.
Tapi begitu pintu kamar terpentang lebar, suatu kejadian aneh pun segera berlangsung di depan mata.
Kecuali sebuah pembaringan bambu dalam ruangan tersebut, di lantai ada sebuah bantalan untuk bersemedi. Di depan bantalan semedi tadi berdirilah sebuah hiolo setinggi tiga depa dengan lebar beberapa depa dan berwarna merah bercahaya terang. Kecuali itu tidak nampak benda apapun juga.
Hoa In-liong sangat mengkuatirkan keselamatan Yu Siau-lam, menyaksikan kesemuanya itu dia lantas berteriak keras, "Dimana orangnya? Orangnya.... kemana parginya dia?"
Sementara itu Hong Seng telah menyerbu masuk ke dalam ruangan, tapi ketika hiolo itu dillongok sekejap, tiba-tiba ia menjerit setengah kalap. "Oooh barang pusakaku.... kemana larinya Po hoat ku.... oooh.... Poo-hoat ku...."
Rupanya dalam hiolo berwarna merah bercahaya itulah terkumpul beratus-ratus macam makhluk beracun yang paling jahat didunia.
Makhluk beracun serta hiolo darah ini merupakan bahan pokok terpenting bagi orang Mo-kauw untuk melakukan ilmu Hiat-teng-toh-hun-tay-hoat (ilmu hiolo darah pembetot sukma) yang maha dahsyat itu.
Selain kepandaian tersebut, terdapat juga sejenis kepandaian yang disebut Hua-hiat-to (Pekikan pelumer jadi darah). Untuk melatih kepandaian tersebut, seseorang juga tak boleh melupakan kedua jenis barang tersebut.
Sekarang hio!o pusakanya masih berada ditempat, tapi makhluk-makhluk beracunnya justru sudah kempas-kempis melingkar dalam hiolo itu dalam keadaan sekarat. Kematian pun caranya tidak terlalu jauh lagi. Tidaklah heran kalau Hong Seng jadi khekinya bukan kepalang, sampai-sampai perkataanpun terbata-bata.
Sementara semua orang diliputi rasa gugup dan keget, bayangan merah berkelebat lewat disebelah samping, menyusul kemudian Giok-kou-nio-cu Wan Hong-giok munculkan diri ditempai itu.
Begitu Hong-giok munculkan diri, Siau Khi-gi pertama-tama yang menghampiri seraya menyapa, "Adik Hong, sejak pagi tadi kau telah pergi kemana?"
Wan Hong-giok mengangkat kepalanya tidak menjawab, menggubris pun tidak. Dia langsung menuju kepintu kamar dan berdiri bertolak pinggang disana, tiba-tiba serunya dengan suara lirih, "Hong-susiok, kenapa bersedih hati? Apakah lantaran makhluk-makhluk beracunmu itu?"
Waktu itu Hong Seng sedang mendongkol dari kesalnya bukan kepalang, apalagi tidak ada tempat penyaluran, matanya kontan melotot besar. "Hmm.... Gembira bukan karena bencana yang menimpa aku?" Teriaknya, "Lain hari kau tak usah takut kepadaku lagi"
Wan Hong-giok mencibirkan bibirnya. "Huuuh.... konon kau sangat ahli dalam hal makhluk beracun. Kenapa tidak kau periksa dulu dengan lebih seksama sebelum mengamuk macam orang edan ?".
Mula-mula Hong Seng agak tertegun, menyusul kemudian merangkak kesisi hiolo tersebut. Dimana dia bersuara aneh sesaat lamanya, selang kemudian sambil berjingkrak karena kegirangan teriaknya: '"Hong-giok, kau memang hebat, kau....!"
"Tiada sesuatu yang perlu dihebatkan," tukas Wan Hong-giok ketus, "Aku cuma menuruti caramu belaka. Siapa tahu darah manusia yang kuberikan kepada mereka rupanya terlalu banyak sehingga jimat-jimatmu tak tahan lagi. Bukan keuntungan yang didapat justru satu nyawa telah dibuang dengan percuma"
Tak terkirakan rasa kaget dan cemas Hoa In-liong setelah mendengar perkataan itu, serunya dengan gelisah, "Apa kamu bilang?"
Wan Hong-giok melirik sekejap kearah pemuda itu, lalu sahutnya dengan angkuh, "Tidak apa-apa. Orang-orang dari perkumpulan kami sudah terbiasa menggunakan darah sendiri untuk memberi makan kepada makhluk-makhluk beracun. Belum pernah nona saksikan ada orang yang begitu tak becus setelah kehilangan darah. Sobatmu she-Yu itu memang orang tak berguna, baru setengah jam saja ia sudah mampus dengan darah mengering"
"Kau bilang dia sudah mati?" Hoa In-liong merasa kaget bercampur gusar.
"Yaa, sudah mampus!"
Merah membara sepasang mata Hoa In-liong. "Dimana.... Dimana mayatnya? Aku menginginkan mayatnya !" teriaknya keras-keras.
"Mayatnya berada lima ratus langkah disebelah timur kuil ini" jawab Wan Hong-giok dengan dingin, "Aku rasa saat ini sudah habis dimakan anjing liar"
Seketika itu juga Hoa In-liong merasakan darah didalam tubuhnya bergolak keras, mukanya hijau membesi. Ketika mendengar berita duka ini, hampir saja ia kehilangan ketenangannya seperti dihari-hari biasa. Sekujur badannya gemetar keras, giginya saling bergemerutuk keras, teriaknya dengan penuh kebencian, "Kau.... Kau.... Hitung-hitung aku sudah mengenali watakmu yang sebenarnya"
Pemuda itu buru-buru ingin menemukan kembali jenasah dari sahabatnya, ia tak rela membiarkan jenasah temannya terlantar ditengah hutan sebagai umpan anjing, maka sambil menahan rasa sedih dan gusarnya, begitu selesai berkata ia segera lari meluncur kearah timur.
Wan Hong-giok segera mendengus dingin, ia mengejar dari belakangnya seraya membentak. "Masih ingin kabur. ? Lihat senjata rahasia".
Serentetan cahaya kilat mengikuti ayunan telapak tangannya segera menyergap punggung Hoa In-liong....
oooOOOooo
HOA IN-LIONG merasa amat perih batinnya. Apa yang terpikir olehnya pada saat ini adalah secepatnya menemukan diri Yu Siau-lam. Bagaimanakah keadaan sobatnya itu itu apakah masih hidup atau sudah mati, ia tidak berniat untuk memikirkannya lebih jauh.
Sama sekali tak terduga olehnya, Wan Hong-giok yang pernah menaruh hati kepadanya tiba-tiba seperti berubah jadi orang lain. Bukan dia yang mendesak gadis itu lebih jauh, ternyata malahan gadis itulah yang mengejarnya sambil menyerang senjata rahasia. Seakan-akan nona itu amat mendendam kepadanya sehingga hatinya baru puas bisa dapat membinasakan dirinya.
Mendengar bentakan tersebut, dengan hati yang mangkel pemuda itu lantas berpikir, "Bagus sekali! Tempo hari saja cintamu padaku begitu berkobar-kobar, sekarang hatimu sudah jadi busuk, bukan saja sobatku kau celakai, sampai kepadaku pribadi juga tak mau lepas tangan"
Sebelum ingatan tersebut habis melintas dalam benaknya, desingan angin tajam telah menyergap punggungnya.
Dalam keadaan demikian, serta merta Hoa In-liong menjatuhkan diri kebelakang. Begitu senjata rahasia itu menyambar lewat, lengan kanannya segera menyambar kemuka, ujung kakinya menjejak permukaan tanah dan secepat kilat menyambar senjata rahasia yang menyambar lewat diatas punggungnya tadi.
Anak muda itu sungguh merasa amat gusar, dia ingin menangkap senjata rahasia itu untuk disambit kembali kearah nona itu.
Tapi apa yang kemudian terjadi? Ternyata senjata rahasia yang berhasil ditangkapnya itu adalah segumpal kertas kecil.
Meudapatkan gumpalan kertas tersebut, Hoa In-liong semakin tertegun sehingga untuk sesaat lamanya tak mampu berbuat apa-apa.
Pada waktu itutah, tiba-tiba Hong Seng membentak dengan suara yang amat nyaring, "Kenapa cuma berdiri termangu saja? Ayoh dikejar!"
Waktu itu Hoa In-liong akan membuka kertas tersebut untuk diperiksa apa isinya, tapi ketika mendengar bentakan itu, hatinya jadi amat tercek kat, segera pikirnya, "Hong Seng sudah merasakan hal ini, aku.... aku harus cepat-cepat kabur dari sini "
Cepat-cepat gumpalan kertas itu disusupkan ke dalam saku, kemudian ia melompat kedepan dan naik keatas atap rumah.
Baru saja badannya lenyap disudut tembok, tiba-tiba terdengar suara deruan ujung baju tersampok angin menyambar lewat diatas kepalanya dan kabur menuju ketimur.
Hoa In-liong termenung dan berdiam diri sesaat lamanya disana, kemudian ia putar badannya kembali dan balik menuju kearah ruangan semula.
Satelah melalui suatu pemikiran yang cukup panjang, Hoa In-liong dapat mengambil kesimpulan bahwa sikap Wan Hong-giok bukanlah sikap yang sungguh-sungguh, melainkan suatu kesengajaan agar pihak lawan tak curiga. Tujuannya tentu saja agar dia cepat-cepat tinggalkan kuil Cing-siu-koan tersebut.
Menurut analisanya, sikap gadis itu pasti mengandung arti yang mendalam sekali. Mungkin juga Hong Seng sekalian masih memiliki kepandaian lainnya yang sakti dan belum dikeluarkan, maka iapun menggunakan alasan bahwasanya Yu Siau-lam sudah mampus dan mayatnya terlantar ditimur kota untuk mengelabuinya.
Kendatipun anak muda itu mulai mengerti bahwa Yu Siau-lam belum mati, tapi sebelum bertemu dengan orangnya ia belum juga berlega hati. Apalagi menurut anggapannya kendati Hong Seng sekalian memiliki ilmu silat yang lebih sakti, sembilan puluh persen juga mengandalkan keampuhan "hiolo darah" nya. Maka setelah dipikir pulang pergi akhirnya dia memutuskan untuk menggunakan kesempatan yang sangat baik ini untuk memusnahkan" hiolo darah" itu. Asal benda yang mereka andalkan musnah, berarti pertarungan andaikata sampai berlangsung, kedua belah pihak terpaksa harus bertarung dengan andalkan kepandaian sejati.
Cepat nian gerakan tubuhnya, tak lama kemudian ia sudah tiba didepan pintu halaman tersebut.
Pintu kamar sebelah tengah masih terpentang lebar, hiolo darah masih ada dalam kamar, tapi seorang imam jubah kuning dengan mata yang jelalatan berdiri ditengah serambi panjang dengan sikap siap siaga penuh.
Kembali Hoa In-liong memutar otaknya. Ia merasa bahwa kekuatan imam jubah kuning itu minim sekali. Asal diserang musuh pasti dapat ditaklukkan, berarti inilah kesempatan yang terbaik baginya untuk musnahkan" hiolo darah" itu. Sebab kalau sampai Hong Seng sekalian balik lagi kesana, dia harus mengeluarkan tenaga yang lebih besar lagi untuk mengalahkannya.
Sementara pemuda itu sedang mempersiapkan diri untuk membekuk imam jubah kuning itu dengan suatu serangan yang tak tarduga, tiba-tiba ia menyaksikan berkelebat lewatnya sesosok bayangan manusia.

Bara Maharani - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang