Jeffrey Aimar
❌Mentioning mental disorder❌
Awalnya, gue sendiri gak percaya diri sama apa yang gue miliki termasuk suara gue. Semuanya melalui proses panjang. Selama SMA bisa dibilang gue lebih banyak menjadi 'potato with a million dreams'. Gue memiliki banyak keinginan termasuk menjadi seorang penyiar. Keinginan gue menjadi penyiar muncul karena papa selalu mendengarkan radio dan bilang "enak kali ya, Jeff kalo papa bisa denger suara kamu sendiri pas denger radio gini." Yang bisa gue jawab dengan senyuman. Karena gue sadar, gue gabisa ngomong di depan umum.
Gue bukan tipe introvert yang kemana-mana bener-bener mau sendiri, gue punya temen, tapi gak banyak. Gue jarang ngomong. Hal itu yang membuat gue semakin tertutup saat SMA. Gue lebih banyak ngomong saat sendiri. Gue suka bermonolog, bercerita, dan berangan sendiri. Karena gue gak perlu mendengar pendapat orang lain yang menghujat diri gue ketika gue sendiri. Gue bisa lebih tau banyak tentang diri gue sendiri saat gue bermonolog.
Selain agak tertutup, gue juga punya anxiety, bukan yang parah banget sampe gue takut untuk ngapa-ngapain. Beruntungnya anxiety gue belum parah karena gue langsung dibawa ke psikolog, jadi saat masuk dunia perkuliahan, gue udah bisa terbiasa.
Dengan keadaan seperti ini, gue masih berusaha untuk menjadi seorang radio announcer. Keinginan gue jadi penyiar cukup simpel. Biar gue bisa bilang ke papa "Pah, sekarang Jeffrey jadi penyiar loh, papa dengerin radio kampus Jeff ya, soalnya Jeff mau siaran!"
Sepertinya keinginan gue untuk jadi penyiar baru terwujud di tahun kedua gue kuliah. Sebenernya gue mendaftarkan diri buat jadi announcer radio kampus udah dari semester satu alias saat pertama masuk kuliah, tapi gue gak tau kalo ternyata gue bisa segrogi itu waktu seleksi suara. Anxiety gue yang lama gak kambuh seakan kambuh lagi sehinga gue gak bisa membaca teks yang diberikan dengan benar karena gue grogi banget dan cara baca gue jadi sekaku itu.
Hari ini adalah hari pengumuman apakah gue bakal diterima jadi penyiar radio kampus atau enggak. Tangan gue gak bisa berhenti berkeringat rasanya. Jantung gue udah deg-degan. Rasanya mau meledak. Gue mencoba mengingat apakah saat seleksi gue salah membaca naskah atau tidak, apakah gue salah mengucapkan nama atau tidak, apakah sapaan gue buat para listener baik atau tidak. Sampe gue merasa agak pusing. Relax, Jeff. You did well, Jeff, you did well.
Berulang kali gue mengecek ponsel gue, apakah ada SMS dari anggota radio atau tidak, bukannya liat ada notifikasi masuk, yang ada gue makin deg-degan gak karuan.
"Kok mejanya geter ya?" tanya Tendi yang duduk di depan gue.
"Hah?"
"Jeff kaki lo anjir! Kenapa sih lo? Jahit baju?" ternyata tanpa sadar gue menggoyang-goyangkan kaki gue seperti orang menjahit menggunakan mesin jahit. Sama seperti dulu saat gue SMA "lo kenapa?"
"Gue lagi nungguin pengumuman."
"Pengumuman apaan deh? CPNS?"
"Bukan lah." Balas gue cepat "gue daftar radio minggu kemarin. Terus hari ini pengumannya."
"Lagi?"
"Yaiyalah, kan gue belom keterima." Tendi mengangguk "lagian kan ini udah cita-cita gue dari SMA, Ten. Jadi gue harus daftar lagi."
"Hm, iya sih, suara lo juga enak kalo pas presentasi." Ujar Tendi sambil menyendok baksonya. "keterima-keterima. Udah gausah tegang gitu kali, Jeff."
"Gue takut gak keterima lagi, Ten." Kepercayaan diri gue agak runtuh.
"Jangan ngomong gitu bego!" seru Tendi membuat gue sedikit terlonjak "ucapan adalah doa! Pernah denger gak sih lo? Parah sih."
"Iya-iya."
"Apa yang lo pikirin tuh bisa aja jadi kenyataan. Makanya lo gaboleh mikir gitu. Lo harus mikir kalo lo lolos, Jeff." Tendi meneruskan ucapannya "gila, bijak banget gue HAHAHAHA." Ia tiba-tiba tertawa keras hingga beberapa orang yang duduk disekitar kami menoleh ke arah meja kami.
"Iya, Ten udah diliatin." Tepat setelah gue menyelesaikan kalimat gue, ponsel gue menyala tanda ada SMS masuk.
"TEN SUMPAH GUE KETERIMA!" gue langsung berdiri dari kursi dan melonjak senang. Gila, akhirnya cita-cita gue selangkah lebih maju!
"Terus apa katanya?"
"Gue harus ikut rapat perdananya besok." Gue kembali duduk, tapi bibir gue gak bisa berhenti senyum. Duh, rasanya lebih seneng dari tahu gebetan kita juga seneng sama kita. Beneran deh!
"Oh, yaudah ikut gih." Gue cuma bisa ngangguk-angguk sambil liat layar hp. "Jeff, udah, berenti senyum. Kayak orang gila tau gak."
"Ten, lo pernah gak sih punya keinginan terus apa yang lo pengenin kecapaian?"
"Pernah, si Snow White. Dari dulu gue pengen punya mobil. Baru dibeliin ketika gue lulus."
"Seneng kan?"
"Ya iyalah. Yang bener aja."
"Ya gue sama, Ten. Untuk sekian lama akhirnya cita-cita gue tercapai." Ucap gue "ya emang cita-cita kecil sih. Satu dari sekian banyak cita-cita gue, tapi bisa ngewujudin satu dari apa yang lo harapin bukannya membanggakan?" Tendi terdiam "gue harap kedepannya gue bisa ngewujudin cita-cita gue yang lain sih. Gak cuma mentok disini."
Jadi penyiar radio merupakan satu dari sekian ratus cita-cita yang baru bisa gue wujudin. Gue sadar gue gak bisa berhenti disini. Ini baru awal dari langkah yang bisa gue lakuin untuk menghilangkan anxiety yang gue miliki. Walaupun anxiety yang gue rasain bukan yang berlebihan, tapi ada masa dimana kalo gue bener-bener takut akan dunia dan segalanya sehingga gue emang lebih nyaman untuk pergi sendiri atau emang bersama dengan orang yang benar-benar kenal dengan gue. You still need to survive, Jeff!
KAMU SEDANG MEMBACA
Side Story
FanfictionLet me tell you what the actually happens. I will tell you one by one. So sit here and listen to me.