Igi

1.9K 360 54
                                    

Bismillahiraahmanirrahim...

**

    “Igi, sini, nak,” panggil seorang wanita paruh baya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


    “Igi, sini, nak,” panggil seorang wanita paruh baya. Tak lama kemudian dari kamar keluar seorang anak laki-laki berusia 13 tahun berjalan menghampirinya dan duduk disampingnya. Wanita itu mengusap kepala anak tersebut dengan perlahan, penuh kasih sayang. “Coba Umi tanya, hafalannya udah sampe juz berapa?” anak laki-laki tersebut kemudian berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab.

    “Juz 15, Umi,” wanita paruh baya yang ia panggil Umi tersebut mengangguk dengan senyuman yang mengembang.

    “Susah gak ngafalin?”

    “Insyaallah enggak, Umi,”

    “Igi ikhlas kan ngapalinnya? Bukan karena Abah sama Umi yang minta?” wanita tersebut kembali bertanya.

    “Enggak, Umi, Igi ikhlas ngapalin, Igi ngapalin emang buat bekal Igi dimasa depan, bukan karena kepaksa, Insyaallah berkah buat Igi juga,” anak laki-laki tersebut tersenyum kepada Uminya.

    “Cita-cita kamu kalo udah gede apa, Igi?”

    Igi tak langsung menjawab, ia merenungkan pekerjaan apa yang sekiranya ingin ia jadikan cita-cita. “Igi pengen kerja di kantoran, jadi pegawai kantoran, jadi manager,”

    “Kenapa Igi mau jadi manager?”

    “Igi mau mimpin temen-temen biar jadi pegawai yang baik, Umi, biar Igi juga bisa banggain Umi sama Abah,” ucapnya dengan senyuman lebar, “Igi juga mau punya istri kayak Umi nanti, yang cantik, sholeh, sabar dan penyayang, jadi anak Igi suatu saat bahagia,”

    “Kamu juga gak mau jadi kayak Abah?” ucap laki-laki paruh baya menggunakan sarung dan peci, ikut duduk disamping Igi, laki-laki yang dipanggil abah tersebut berdeham pelan, “abah kan ganteng, kamu gak mau gede jadi ganteng kayak abah?” keduanya tertawa mendengar lelucon tersebut.

    “Ya mau dong, Abah kan hafalannya bagus, nanti Igi juga mau kayak Abah!” Abah Igi mengusap pelan kepala anak laki-lakinya tersebut.

    “Mau jadi apa kamu di masa depan, yang terpenting jadilah dirimu sendiri, jangan lupa ibadah, jangan ibadah karena takut dengan Allah, jadikan ibadah kamu sebagai kebutuhan,”

    “Tapi Sholat dan mengaji kan wajib, Abah,”

    “Memang, tetapi jangan kamu jadikan kewajiban, maka kamu akan merasakan beban, jadikan sholat dan mengajimu sebagai kebutuhan agar kamu selalu melaksanakannya, karena kamu memang membutuhkannya,” Igi mengangguk paham. “Sama dengan hafalan, jadikan itu kebutuhanmu di akhirat, anggap saja itu bekal kamu,”

    “Iya, Abah,”

    “Abah juga pesan, jaga adikmu, Mora,”

    “Iya, Abah, Igi bakal jaga Mora sama Umi, dua perempuan yang paling Igi sayangi di dunia,” ia tersenyum dengan ucapannya sendiri.

**

    Ada perasaan hangat saat melihat Bima, anak semata wayangnya berjalan kearahnya sembari memegang sebuah mainan karet di tangannya, tiba-tiba saja memori mengenai percakapan antara ia dan kedua orang tuanya muncul dipikirannya. Ia tersenyum, “Abi, kenapa senyum sendiri?”

    “Eh? Hehe, gak apa-apa, tiba-tiba keinget Umi sama Abah,” Yuna, istri dari Bang Umin atau yang biasa dipanggil Igi oleh kedua orang tuanya saat kecil tersebut hanya tersenyum. Ia paham betul bagaimana perasaan suaminya. Walaupun mereka tinggal di kota yang sama, namun kesibukanlah yang membuat suaminya tersebut jarang berkunjung ke rumah kedua orang tuanya.

    “Mau ke rumah Umi sama Abah? Kemarin juga pada telepon pas adek di sekolah, katanya kangen Bima,”

    “Weekend aja ya, kita kesana,” Yuna mengangguk setuju, “Nanti sekalian ke rumah Ibu Bapak juga, lama gak kesana,” Yuna kembali mengangguk dan tersenyum sembari ikut bermain dengan Bima, anaknya. “Dek, tau gak sih, aku tuh bersyukur punya istri kayak kamu. Cantik, baik, sholehah, sayang sama keluarga,”

    “Sama dong? Aku juga bersyukur punya suami kayak kamu, Mas, sayang sama keluarga, gak pernah nuntut apa-apa, bisa bimbing keluarga,” Yuna bersandar pada sofa, “Selama ini aku tuh masih selalu mikir kalo aku bukan istri yang sempurna buat kamu, tapi pas ngeliat kamu sayang banget sama aku sama Bima, semuanya kayak hilang gitu aja, lega banget,”

    “Ya Allah, namanya manusia, pasti gak ada yang sempurna, baik kamu ataupun aku, pasti ada kurangnya. Lain kali jangan mikir gitu ya, Dek,” Umin mengusap lembut punggung tangan Yuna. “Aku mencintai kamu karena Allah, kalau sama Allah aja aku bisa cinta, kenapa sama kamu enggak?”

//

YA ALLAH AKHIRNYA BUAT JUGA CERITA BANG UMEAN.

Side StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang