Chendiga Adarian
Pernah gak sih sekali dalam hidup kalian selalu dihadapkan dengan masalah yang kalian udah muak banget bahkan kalian gak tau harus ngapain sama masalah yang kalian hadapi? Bingung? Pasti. Tapi gue gak bisa mencari jalan keluarnya sama sekali, dan sialnya gue lagi merasakan itu sekarang.
Entah udah berapa kali mereka adu argumen di luar yang bahkan bisa kedengeran dari dalam kamar. Gue melirik jam di nakas kamar gue. 09.54 PM dan di luar kamar masih berisik banget. Apa gue gak boleh buat sekedar tidur? Kayaknya gue bisa tidur dengan tenang kalo gue mati deh.
"Yaudah kalo memang itu mau kamu, besok aku bakal ajuin permohonan cerai di pengadilan." Ujar suara berat dari luar kamar yang gue yakini adalah bokap gue, dan saat itu juga kepala gue rasanya mau pecah. Gue mengabaikan pesan yang masuk dari ponsel dan fokus mendengar apa yang terjadi di luar.
"Lebih cepat lebih baik. Aku juga udah gak tahan diatur terus!" ucap nyokap gue.
Gue gak habis pikir sama kedua orang tua gue. Apa sih yang ada di kepala mereka sampe seenaknya ngomong cerai? Apa mereka gak mikirin anak-anaknya? Kalo mereka gak mikirin gue, gue masih baik-baik aja. Gue udah bisa cari uang sendiri, tapi Rendi? Dia baru masuk SMA. Dia sama sekali gak pernah tau kalau hubungan orang tuanya udah karam kayak gini. Mereka pikir mereka cuma orang pacaran apa? Yang bisa seenaknya ngomong putus? Gue bener-bener kehabisan kata.
Ini emang bukan pertama kalinya kedua orang tua gue ribut. Keduanya udah mulai gak harmonis sejak nyokap gue memutuskan untuk membuka bisnis butik dengan temannya kuliah. Nyokap gue menjadi desainer disana. Awal kerja bareng temennya, dia juga gak nyangka kalau desain dia ramai peminat dan akhirnya dia diminta join bareng dan menanam modal disana.
Awalnya bokap fine-fine aja karena bokap nganggapnya buat hobi dan pemasukan tambahan, tapi ternyata nyokap gue yang emang dasarnya hardworkers susah banget diatur dan lebih cinta pekerjaannya daripada ngurus rumah. Nyokap kadang jarang pulang dan tidur di rumah temennya karena harus diskusi model baru, dan temennya ini juga desainer yang cukup terkenal di Jakarta dan udah pernah nyelenggarain fashion show.
Ponsel gue berdering tandap panggilan masuk. Dari Jongin. Dengan cepat gue menggeser tombol hijau. "gimana?"
"Udah ayo cabut, gue tau lo suntuk di rumah."
"Gue gak bisa."
"Chanchan udah dijalan jemput lo," Gue mengusap wajah dengan kasar. "gue juga mau otw jemput Sehun."
"Besok gue flight."
"Flight lo sore kan? Masih keburu," ujarnya. "pokoknya si chan udah otw, nanti kalo doi dah sampe pasti telepon lo. Gue mau nyetir dulu." Dia langsung mematikan teleponnya tanpa menunggu argumen gue.
Dengan malas gue mengganti kaos rumah gue dengan kaos hitam dan jaket kulit hitam. Kayaknya gue emang lagi berkabung deh. Setelah mengambil dompet dan ponsel, gue keluar dari kamar dan disambut tatapan heran dari kedua orang tua gue.
"Mau kemana kamu?" tanya bokap gue denga nada sinis yang bukan pertama kali gue denger.
"Keluar."
"Ini udah malem."
"Gak ada yang ngomong pagi juga," Jujur gue udah males dengan pertanyaan sepele kayak gini. "Chanyeol udah di depan." Ucap gue setelah melihat chat Chanyeol yang ngomong dia udah sampe depan rumah.
"Gini nih kalo mamanya gak pernah di rumah! Kelayapan aja, anaknya jadi kurang ajar." Gue masih terdiam memandangi keduanya.
"Terus salahin aja lagi. Padahal gak sadar didikan siapa juga kayak gitu? Keras gak aturan, sekarang anaknya tukang bangkang disalahin."
"Berani ya kamu—"
"Mah, Pah," ucap gue mencoba menengahi mereka. "Aku gak tau apa yang ada di pikiran kalian sampe masalahnya kayak gini. It's up to you kalo nganggep aku anak pembangkang, ngeyelan, gak bisa diatur, terserah kalian. Aku udah gak perduli lagi. Tapi please, pikirin Rendi. Rendi masih SMA, Rendi juga anak mama papa. Dia gak pernah tau kalau orang tuanya ribut sampe mau cerai. Gimana kalo dia sampe tau? Kalau sampe kalian bener-bener cerai, Rendi ikut aku, dia tinggal di apartemen setiap balik asrama. Aku gak mau Rendi kena toxic." Gue langsung pergi dan mengabaikan kedua orang tua gue. Gue bahkan udah bener-bener gak peduli lagi dengan keduanya. Rasanya capek ada diantara orang ribut selama lima tahun.
"Gila gila gila, itu muka apa struk mini market sih? Kucel amat." Ucap Chanyeol ketika gue udah masuk mobilnya.
"Tau deh, suntuk banget gue," gue menyandarkan kepala gue di jendela. Persis orang-orang galau di mobil. Kepala gue rasanya bener-bener berat. "mau keluar aja pake didebatin. Biasanya juga apa? Gue gak balik juga gak pernah dicariin." Chanyeol tertawa kecil.
"Biasalah, namanya juga orang tua. Kalo udah ribut sedikit, hal yang gak pernah disinggung juga disrempet semua."
"Heran deh gue. Apa sih yang ada di pikiran mereka? Udah tua juga kayak anak-anak."
"Justru karena mereka udah tua, makanya kelakuan mereka balik kayak anak-anak. Itu alamiah. Psikologis mereka pengen diperhatiin," Gue cuma bisa menghela napas. "makanya ntar kalo jadi orang tua, jangan gak nalar gitu kelakuannya. Kasian anak lo."
Gue gak lagi menanggapi ucapan Chanyeol, pikiran gue penuh dan buntu saat ini. Ponsel gue berdering, menampilkan nama 'Rendi' di layar ponsel gue. Dengan satu tarikan napas, gue menggeser tombol hijau.
"Hm? Gimana, Ren?"
"Kak Diga lagi dimana?"
"Kak Diga lagi keluar nih, sama temen. Gimana, Ren?"
"Mamah kok aku telepon gak bisa ya kak?" duh, brengsek, rasanya gue mau nangis banget kalau gini.
"Gak tau, Ren. Mungkin lagi sibuk sama kerjaan?" Gak, Ren, Mama sama Papa lagi ribut ngurusin surat cerai. "Coba kamu chat aja, nanti dibales kalau gak sibuk."
"Oh, yaudah, aku cuma mau tanya kabar aja kok, Kak. Hehe." Dia masih bisa ketawa kecil. Ya ampun, Ren, gue yakin kalo lo tau keadaan di rumah, hehe lo gak bakal ada, gue gak bakal bisa denger hehe lo lagi.
"How was your school? Is it fine?"
"It's totally fine! I got a room mate and he is soooo funny, but sometimes he is annoying." Gue tertawa pelan mendengar cerita Rendi "kapan-kapan aku kenalin, Kak kalo pas kesini." Gue mengangguk.
"Boleh, nanti aku traktir ya."
"Beneran?!" gue bisa mendengar suara antusias dari Rendi dari seberang sana. "Yey!"
"Yaudah sana belajar, tidurnya jangan kemaleman ya. Kakak mau ada urusan dulu."
"Sip bos!" dia langsung mematikan teleponnya. Sedangkan gue tanpa sadar sudah menangis.
"Gila ya, gue udah gagal banget gak sih jadi kakak?" tanya gue entah pada siapa, karena gue gak membutuhkan jawaban pula. "Gue gak ngebolehin adek gue tau kalo orang tuanya mau pisah. Dia bakal benci banget kayaknya sama gue kalo sampe tau."
"Bukan lo yang gagal. Tapi orang tua lo. Mereka gagal menjadi orang tua dan menyia-nyiakan lo, kakak yang baik buat adiknya." Kata Chanyeol sembari tetap fokus dengan jalanan. "Everything will be alright. You did a great job, Chen, you did."
;;
AKU MENULIS SEMBARI INGIN MENANGIS. Sial. Huf
KAMU SEDANG MEMBACA
Side Story
FanfictionLet me tell you what the actually happens. I will tell you one by one. So sit here and listen to me.