empat puluh enam

9K 1.4K 1.1K
                                        

THR lebaran, jadi bonus 2k+ words hari ini hehe....





Hari itu sedang hujan.

Sebuah cafe yang berada di tengah kota menjadi tempat bernaung Chanyeol untuk melepaskan penat. Suara hujan yang tetesannya terlihat sangat deras dari balik kaca transparan rasanya masih kalah dengan gemuruh di hatinya. Chanyeol tidak pernah berada di cafe ini sebelumnya, tapi dia butuh suasana baru, tempat dimana dia melupakan rutinitas sebelumnya ketika setelah pulang kantor akan pulang ke apartemen yang berpenghuni.

Tangan kirinya menopang dagu, sementara tangan kanannya mempermainkan jari-jari diatas meja. Tidak seperti kebanyakan orang disekitarnya, Chanyeol menjadikan orang yang berlalu lalang di tengah hujan sebagai tontonan. Keinginan untuk melihat Hp benar-benar sirna, dia terlalu lelah mengangkat telpon dari Ayah dan Mamah yang hanya berisi omelan. Sesekali dia hanya mengecek Hpnya untuk keperluan pekerjaan, setelah itu, dengan cepat dia mengembalikannya pada mode pesawat.

Shella ditahan di rumah orangtuanya... Papa dan Mamanya marah besar... Ayah sama Mamah ikutan ngomel... Coba sebutkan lagi cobaan untuk Chanyeol akhir-akhir ini?

Kepalanya sungguh pusing, dokter mungkin bisa bilang deretan obat yang dapat dia minum. Tapi Chanyeol sangat tau dirinya, ini adalah masalah psikologis, dan hanya satu obatnya.

Chanyeol menghembuskan napasnya dengan kasar, sebuah proses yang dapat dilakukan dengan sengaja tapi menjadi refleks ketika menghadapi sebuah masalah. Indra pendengarannya terasa lebih tajam ketika mendengar playlist lagu dari speaker cafe yang berubah.

Pagi ke pagi ku terjebak dalam ambisi. Ah, Chanyeol tau ini. Dari alunan musiknya saja sangat khas fourtwnty. Chanyeol bukanlah anak band yang selalu update lagu terbaru, namun dia mengerti perkembangan musik saat ini.

Sembilu yang dulu, biarlah berlalu. Kenapa ya? Dari tadi semenjak dia memutar frekuensi radio di mobil, yang keluar adalah lagu yang mendeskripsikan perasaannya? Atau memang karena ketika sedih, kita bukan menikmati musik, melainkan memahami liriknya?

Ngomong-ngomong, sedih...? Kata itu rasanya tidak cocok diperuntukan untuk Chanyeol. Terkesan terlalu lemah. Sangat tidak cowok. Chanyeol lebih suka dikatakan tidak sedang bahagia dibanding sedih.

Peristiwa yang dialaminya beberapa waktu belakangan ini cukup menjelaskan alasannya. Chanyeol sudah terlalu capek untuk mengingat.

"Channie?" panggilan khas dari seorang bernama Vania membuatnya menoleh dari pemandangan di kaca jendela.

"Sorry telat, klien yang tadi ribet banget. Kamu belum pesan apa-apa?" Vania meletakkan tasnya diatas meja. Aroma parfumnya menyebar ke indra penciuman Chanyeol. Terhitung semenjak 30 menit Chanyeol berada disini, mejanya masih kosong melompong.

"Belum."

Vania menyampirkan rambut setengah pirangnya ke belakang telinga lalu menyentuh jemari Chanyeol, "Kebiasaan. Manja."

Cantik.

Masih seperti dulu. Tidak berubah.

Rasanya kelima indra Chanyeol bekerja keras saat bertemu Vania. Bahkan telinganya yang besar pun semakin fokus untuk mendengar suaranya yang lembut.

"Aku pesen ice-" Belum lagi Chanyeol selesai menyebutkan pesanannya, Vania telah lebih dulu mendatangi counter. Membuat dia tersenyum, Vania masih hapal dengan rasa kopi favoritnya dan begitu paham kemalasannya bangkit dari sofa.

"Iced americano kan?" Vania menaruh diatas meja lengkap dengan sedotan. Lalu dia ikut duduk menghirup mocha latte yang masih panas.

"Makasih ya, Van."

Endline #PCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang