Lima belas derajat celcius.
Shella mengunci iPhonenya dan memasukan ke dalam kantong. Enam bulan yang dia lalui disini sudah membuatnya terbiasa mengecek forecast cuaca. Oxford, kota kecil yang telah menjadi tempat tinggalnya kini memasuki peralihan antara musim dingin ke musim semi. Meskipun kadang, prakiraan cuaca tidak selalu sama dengan kenyataan, matahari dikatakan bersinar terang namun kemudian turun hujan.
Seperti saat ini, ketika rintik-rintik mulai berjatuhan dari langit. Tidak sesuai prediksi. Shella melangkahkan kakinya lebih cepat menuju gedung Saint Hilda. Banyak hal yang baginya baru disini, disaat sekeliling universitasnya dulu dipenuhi tempat fotokopi, University of Oxford memiliki Saint Hilda yang memfasilitasi mahasiswanya untuk mencetak tugas secara gratis.
Ruangan kosong ketika Shella memasuki tempat mengeprint, tas dia letakkan dikursi roda disebelahnya, sementara dia mulai menyambungkan flashdisk ke komputer yang disediakan. Tampilannya mungkin mirip dengan warnet, tapi ditambah printer disetiap komputernya.
Sambil menunggu essay yang sedang dicetak, Shella menopang dagunya dengan tangan. So this is her life in Oxford. Bangun pagi, sarapan kalau sempat, pergi ke kampus, kuliah, tutorial, lalu mengeprint tugas yang sudah dia buat sewaktu malam. Rasanya seperti siklus, berulang-ulang begitu saja. Kalaupun ada yang berbeda, hanya materi yang dia pelajari.
Tapi inilah yang dia butuhkan. Sebuah kesibukan.
Sibuk membuat essay setiap malamnya di perpustakaan, sibuk membaca buku sebagai referensi, sibuk dengan persiapan menghadapi ujian. Intinya sibuk. Tak apa lelah, yang penting saat pulang, dia tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan sesuatu dan langsung terlelap.
Entah gelar apa yang akan Shella dapatkan, Master of Business Administration atau apalah itu asal dia bisa membantu Papa sepulang dari sini.
"Hey Shella, you are here."
Bunyi gesekan pintu yang terbuka membuat Shella menoleh. Rupanya Deby juga kesini.
"Do you want to print Mr. Patterson's assignment too?" Debby merupakan teman sekelasnya yang berasal dari Amerika, mereka pun pernah satu kelas satu tutorial. Oxford menerima mahasiswa dari belahan dunia mana saja yang kompeten dan memenuhi prasyaratnya, Debby yang pernah bekerja sebagai bankir di perusahaan bank ternama di Amerika mengundurkan diri ketika memutuskan untuk melanjutkan kuliah masternya disini.
"Yes, i can't believe he really want us to do 10 pages, i didn't slept last night." Debby duduk disebelahnya dan mulai mengeprint.
"Have you lunch?"
Shella menggeleng, "Not yet."
"Let's have one then after this."
Selesai dengan urusan mengeprint itu -yang tentunya tidak bayar- Shella dan Debby keluar dari gedung Saint Hilda, meraih sepedanya masing-masing. Jika dahulu kemana-mana Shella menggunakan mobil, disini dia lebih menggerakan kakinya dengan berjalan kaki dan bersepeda. Oxford merupakan kota pelajar sehingga penguhinya didominasi oleh mahasiswa. Dan sungguh pemandangan yang langka melihat mahasiswa disini mengenakan mobil, yang ada hanya mencampuri udara yang dihirup dengan polusi.
Shella mengayuh sepeda hitamnya. Beginilah hari-harinya, selepas dengan kegiatan di kampus, Shella menyempatkan waktunya untuk hangout dengan teman jika ada yang free. Menurutnya, menjadi pendatang di negara orang bukan berarti kita menutup diri, kita harus terbuka dan menjalin pertemanan dengan orang lain agar tetap bersosialisasi serta membangun jaringan lebih luas.
"Excuse me Ma'am, what would you like to order?" Seorang waitress datang ke meja mereka. Shella dan Debby menyebutkan pesanan, setelahnya waitress itu pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Endline #PCY
FanfictionChanyeol dan Shella sebelumnya tidak pernah bertemu dan saling mengenal. Mereka hanya dipaksa untuk tinggal serumah, bertatap muka setiap hari, dan memberikan keturunan. Dan keduanya tidak sanggup untuk menjalani itu seumur hidup. Sehingga pada suat...