Jam tangan? Checked.
Lipstick? Checked.
Rambut? Checked.
Agenda? Checked.
Tas? Dokumen-dokumen? Juga Checked.
Ok, sip. Shella bisa berangkat. Sekali lagi dia mengecek penampilannya pada cermin tinggi yang memperlihatkan seluruh tubuhnya, saatnya pergi.
"Ma, Pa, Shella berangkat dulu!" Buru-buru dia menyalami tangan Mama Papa yang sedang duduk di meja makan.
"Loh? Gak sarapan dulu, Nak?"
"Engga, Ma. Nanti aja di kantor. Aku ada meeting jam 8 ini," Shella mengecek jam tangannya. "Astaga udah jam setengah 8. Dah, Ma! Pa!" Dia mengenakan sepatuk hak hitamnya dan segera mengambil kunci mobil.
Tak terasa, kuliah Shella di University of Oxford telah selesai. Gelar MBA dari universtas bergengsi itu sudah dicantumkan di belakang namanya semenjak 3 bulan lalu. Jangan tanya rasanya gimana, yang jelas dia lega banget. Pressure kuliah di Inggris itu berat jika dibandingkan dengan Indonesia, standar nilai yang tinggi, tiada hari tanpa tugas, orang-orang disekitarnya sangat jenius yang sering bikin ciut, dan jangan lupakan segala pressure itu dia jalani tanpa makanan Indonesia memenuhi perutnya.
"Duh, ini macet banget. Kenapa lagi?" Shella menyempatkan diri mengecek google maps, perjalanannya menuju kantor yang seharusnya 20 menit saja tiba-tiba menjadi 40 menit. Rupanya ada kecelakaan yang terjadi didepan sehingga sepanjang jalan ini berubah menjadi merah di map.
Layar Hp berganti menampilkan deretan kontak telepon, Shella menempelkan Hpnya ke telinga sambil mengetuk-ngetuk setir yang tidak dia gerakan semenjak 2 menit lalu.
"Halo. Pris, sepertinya saya baru bisa nyampe 40 menit lagi. Kabari yang lain ya, meetingnya ditunda jam 9."
"Oke, siap, Bu." Terdengar suara Priska diujung sana. Setelah itu Shella menutup telepon.
Menyandarkan kepalanya ke jok dan melenguh panjang.
Meskipun tidak ada salah apa-apa, ingin rasanya dia mengganti Priska dari posisi sekertarisnya. Setelah pulang ke Indonesia beberapa bulan lalu, Papa langsung mengangkat Shella menjadi CEO perusahaan. Bukan main kagetnya Shella dengan keputusan Papa, niatnya memang membantu Papa di perusahaan, tapi ya enggak tiba-tiba langsung jadi CEO juga saat sebelumnya belum pernah punya pengalaman kerja.
"Pa, Papa gak bercanda kan??? Kasian Pak Putra masa jabatannya turun karna aku gantiin!" Protes Shella pada saat itu.
"Pak Putra sebenarnya sudah lama ingin resign dari CEO, Nak. Dia sudah mendapat offer dari perusahaan lain. Cuma Papa bilang tunggu kamu selesai master."
"But i'm not ready for this???" Inggrisnya masih sering kebawa-bawa setelah pulang dari sana.
"Mengangkat seseorang jadi CEO bukan keputusan gampang, Nak. Gak semudah membalik telapak tangan. Jadi ketika Papa membuat keputusan kamu jadi CEO, itu artinya Papa yakin kamu bisa memimpin perusahaan kita. Emang siapa lagi yang bisa Papa percaya buat jadi CEO selain anak Papa sendiri? You are capable for this, Nak. Kamu pintar, Papa tau kamu bisa."
Aduh, Shella tiba-tiba pusing dan memijit keningnya.
"Kamu gak sendiri, Papa akan bantu kamu, Nak." Papa itu adalah direktur utama sehingga posisinya memang sebagai penentu berbagai keputusan dan memberikan saran, sementara Shella akan lebih bertanggung jawab dalam hal operasionalnya.
Perusahaan yang dibangun dari nol oleh Papa ketika Shella belum lahir ini bergerak di bidang bisnis properti. Dulu Papa adalah CEO nya selama 15 tahun, tapi setelah itu Papa mempercayakannya kepada Pak Putra karna dia ingin beristirahat. Saham perusahaan ini sangat didominasi oleh keluarga Shella sehingga dapat dikatakan perusahaan ini adalah perusahaan keluarga.
![](https://img.wattpad.com/cover/108571618-288-k250803.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Endline #PCY
FanfictionChanyeol dan Shella sebelumnya tidak pernah bertemu dan saling mengenal. Mereka hanya dipaksa untuk tinggal serumah, bertatap muka setiap hari, dan memberikan keturunan. Dan keduanya tidak sanggup untuk menjalani itu seumur hidup. Sehingga pada suat...