"Di jangan marah."
Entah sudah berapa puluh kali aku dengar Alda bilang begitu. Iya sih, wajar jika Alda tidak enak padaku perihal insiden pulpen di kantin tadi. Tapi aku juga gak seegois itu, tentu saja tidak ada yang bersalah dalam kisah ini, Gibran berhak menunjukan perasaannya ke siapapun, termasuk sahabatku sendiri.
"Buat lo deh pulpennya."
Aku mendengkus jengkel, "gue gak marah Al, lagian itu cuma pulpen kan?"
"Gue takut lo mikir macem-macem tentang gue, padahal gue gak ada apa-apa sama dia. Suer," Alda mengangkat dua jarinya di akhir kalimat.
"Iya, gue tau kok" kataku pelan, mataku masih fokus menatap senar gitar, mengabaikan Alda.
Meskipun sejujurnya, terkadang aku iri pada sahabatku itu. Dia punya wajah cantik, putih, tubuh ideal bak seorang model, rambut hitam legam, lesung pipi, modis, dan terntunya mudah bergaul, hinggal Alda menjadi populer di sekolah, jauh berbeda dengan aku yang mungkin hanya remehan debu. Gibran juga gak bakal tau aku ini hidup di bumi, seandainya aku tidak berteman dengan Alda, dan kebetulan rumah kami bersebrangan.
"Kalo ada apa-apa juga gak pa-pa Al, gue bukan siapa-siapanya juga."
"Di! Lo ngomong apa sih? Gak mungkin lah!" Suara Alda nyaris berteriak, membuatku menoleh menatapnya yang kelihatan kesal.
"Gue gak mungkin jadian sama cowok yang lo taksir Di, gak bakal!" Tegasnya.
Aku tersenyum tipis, "tapi dia suka lo Alda," ia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Tapi sedetik kemudian aku memilih bangkit, berlalu menuju toilet.
~TBC~
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden [Proses Revisi]
Teen FictionWAJIB KASIH VOTE!!! Kesalahan ku hanya satu, di saat aku jatuh cinta, maka aku benar-benar jatuh. Terlalu sulit mengalihkan pandangan pada sesuatu yang terlalu dekat. Aku sibuk mengejar dia yang justru semakin terlihat seperti ilusi. Sampai akhirnya...