26. Kabar

1.9K 92 0
                                    

Berhari-hari, Sean tak kunjung ada kabar. Lelaki itu seperti menghilang dari peradaban. Terkahir kali membuka aplikasi WhatsApp pun tanggal 4 Januari lalu, sudah lima hari Sean tak buka aplikasi berkirim pesan itu. 

Kalau mau mengatakan aku lebay tidak apa-apa. Karena memang, menghilangnya Sean, membuat hidupku sedikit berantakan. Aku tidak bisa fokus belajar, nafsu makan ku berkurang, keinginan ku hanya satu, berbaring di atas kasur sembari menatap ponsel, menunggu pesan ataupun panggilan dari lelaki itu. Sama seperti saat ini.

Aku tidak tahu di mana rumahnya, bagaimana keluarganya, bagaimana kehidupannya. Sean tidak pernah terbuka padaku, dia lebih sering bertanya semua tentangku. Dan sekarang aku sadar, aku tidak pernah benar-benar mengenal Sean. Lelaki itu seperti orang asing bagiku.

"Jadi gue ini apa buat lo?" Gumamku tanpa sadar. Lenganku memperbesar foto Sean di ponsel. Foto saat mendaki tempo hari, dengan lengan Sean merangkul erat bahuku. "Kalo sayang, lo gak mungkin pergi gak jelas gini, Sean!" Aku mendengus kesal, kesal karena aku terlalu merindukan lelaki itu.

Aku terlonjak kaget melihat sebuah panggilan masuk, dari Sean. Cepat-cepat aku mengangkatnya.

[Hai Di, apa kabar? Maaf ya ngilang seminggu] Sean tertawa di seberang sana.

Air mataku mengalir, bagaimana bisa lelaki bodoh itu bersikap santai sementara aku berhari-hari mengkhawatirkannya?

"Bego!" Umpatku menahan sesak.

[Lo marah ya? Yaudah maaf]

Bukannya menjawab, aku justru menangis. Perasaanku campur aduk tidak karuan, antara senang, sedih, kesal, kecewa, juga rindu.

[Jangan nangis, gue gak bisa peluk lo]

Aku tidak menyahuti, masih terisak, perasaan lega itu menerobos masuk ke rongga dada, terlalu senang sampai bisaku hanya menangis.

Sean terdengar mengembuskan napas, [maaf]

Aku tetap diam. Sean pun akhirnya diam, mendengarkanku menangis hingga bermenit-menit.

****

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang