Dua tenda sudah di dirikan, di tengah alun-alun Suryakencana. Langit gelap terlihat ditaburi bintang, seolah sedang bersuka-cita.
Sekarang pukul 7 malam, kami memutuskan untuk beristirahat, dan melanjutkan pendakian besok pagi, karena sore tadi, kaki Keyla terkilir, gadis itu kesulitan berjalan.
Aku mengaduk-aduk panci berisi mi instan, sementara mataku berulang kali melirik ke tenda anak perempuan. Sean ada di sana. Duduk bersisian dengan Keyla.
Tentu saja aku sebal melihatnya. Bodoh ya? Sudah tahu sebal, tapi tetap saja aku ingin terus memperhatikan mereka.
Hhh...
Rasanya ingin segera memanggil Sean untuk terus berada di sampingku. Tapi, aku ini siapa?
“Aw!” Aku menarik lengan, saat kulitku berhasil menyentuh panci panas.
“Ya ampun Di, hati-hati dong! Jangan bengong mulu!” Alda menarik tanganku, meniupnya perlahan.
Orang-orang berdatangan kecuali Keyla. Sean berusaha meraih lenganku dari Alda, tapi aku langsung menghindar.
“Sini liat dulu,” kata Sean.
Aku menggeleng pelan, “gak pa-pa kok.”
“Beneran gak pa-pa?” Tanya Aldo.
“Iya.” Aku melenggang pergi, menjauh dari yang lain. Meniup tanganku yang sekarang berwarna kemerahan, masih terasa perih.
“Sini Kakak obatin,” Kak Rifal terduduk di sampingku.
“Gak pa-pa kak, gak sakit kok,” kataku dengan senyum tipis.
Dia tidak menyahuti, justru meraih lenganku lantas menyimpannya di atas kakinya. Lengannya yang bebas bergerak membuka salep.
Tapi, belum sempat salep itu sampai ke permukaan kulitku, Sean langsung mengambil alih. Dia terduduk di antara kami.
“Sama gua aja,” lengannya dengan telaten mengobati luka ku. Sementara Kak Rifal pamit pergi, meninggalkan aku dan Sean berduaan.
Rasa kesal langsung menjalar di sekujur tubuhku, ingin langsung berteriak di depan Sean untuk tidak dekat-dekat lagi dengan gadis menyebalkan itu.
“Kenapa gak hati-hati sih?” Aku tidak menyahuti, memilih membuang pandangan.
“Heh!” Telunjuknya bergerak mendorong keningku.
“Apaan sih!”
“Lo pikir gue gak tau, dari tadi lo merhatiin gue sama Keyla terus?” Ujarnya, masih sibuk mengoleskan salep.
Aku menatapnya jengkel. Kalau tahu, kenapa dilanjutkan?!
Dia mengembuskan napas panjang, mulai bersitatap denganku, “cemburu ya?”
Skak mat. Aku di buat bungkam seribu bahasa.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden [Proses Revisi]
Teen FictionWAJIB KASIH VOTE!!! Kesalahan ku hanya satu, di saat aku jatuh cinta, maka aku benar-benar jatuh. Terlalu sulit mengalihkan pandangan pada sesuatu yang terlalu dekat. Aku sibuk mengejar dia yang justru semakin terlihat seperti ilusi. Sampai akhirnya...