Aku memejamkan mata beberapa saat, mencoba meredakan rasa nyeri di kepalaku, yang paling terasa sih mataku, sehabis menangis semalam, mataku jadi berat, sulit sekali terbuka.
“Diana! Cepet keluar, udah siang. Alda udah nungguin tuh!” Ibuku berteriak dari luar.
Aku mengembuskan napas panjang, meraih bedak dan mengoleskannya sekali lagi pada wajahku, sebelum akhirnya mempersiapkan diri menemui Alda.
“Minum dulu susu nya.” Ibu bersuara sambil mencuci piring di wastafel.
“Gak usah Bu, takut sakit perut. Diana langsung berangkat aja,” aku mendekati ibu, meraih lengannya untuk di cium punggungnya. “Diana berangkat ya Bu, assalamu'alaikum.”
Langkahku terhenti begitu mendapati Alda menunggu di ruang tamu. Sedetik kemudian mencoba tersenyum seperti biasanya sembari melangkah lebih dulu.
“Ayo berangkat.”
Alda mengikuti lengkahku, sampai kami jalan bersisian, “Diana maafin gue.”
Aku tidak menyahuti, dan Alda justru menahan lenganku, “gue gak ada niat sedikitpun buat jalan sama dia. Jangan diemin gue kayak gini,” ujarnya memelas.
“Gue gak jauhin lo Al,”
“Bohong! Buktinya kemaren gak mau ketemu gue!”
Aku tidak menyahuti, memilih kembali melangkah, kemarin dia memang datang ke rumah beberapa kali, sampai Ibu berulang kali mengetuk kamarku, menyuruh keluar, tapi saat itu aku sedang ingin menangis, dan aku tidak ingin kelihatan lemah.
“Diana plis, jangan kayak gini.”
“Kayak gimana Di? Gue biasa aja kok.” Mataku tak sengaja bertemu dengan mata Gibran, dia sedang memanaskan motornya di halaman rumah, ini pertama kalinya kami saling menatap.
“Dia kayaknya tulus suka sama lo, jangan di sia-siain.”
“Di ih! Lo ngomong apa sih? Gue gak suka sama dia!”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya, lantas melangkah lebih dulu, “ayo berangkat, nanti telat.”
Lagi-lagi, aku menghindar seperti seorang pengecut, terlalu takut melihat kedekatan mereka.
Aku masih butuh waktu untuk berdamai dengan rasaku yang mulai berkarat.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden [Proses Revisi]
Teen FictionWAJIB KASIH VOTE!!! Kesalahan ku hanya satu, di saat aku jatuh cinta, maka aku benar-benar jatuh. Terlalu sulit mengalihkan pandangan pada sesuatu yang terlalu dekat. Aku sibuk mengejar dia yang justru semakin terlihat seperti ilusi. Sampai akhirnya...