37. Hujan

1.9K 77 2
                                    

Sudah tiga puluh menit. Gerimis halus berubah jadi hujan deras, dan aku terjebak bersama Sean, berdua.

Sebelum hujan tadi, dia terus membujuk ku untuk pulang bersamanya. Tapi aku gak mau. Kalau pun dia harus datang lagi, boleh aku terima dia sebagai manusia tidak tau diri?

Kami saling diam. Sepertinya dia juga capek ngajak aku bicara sementara aku tidak menyahuti sama sekali.

"Gue pengen bareng lo, tapi gak bisa" katanya tiba-tiba. Aku dengar, tapi gak peduli juga.

"Ada hal yang lo gak ngerti Di,"

"Mika? Tunangan lo itu?" Tanyaku acuh tak acuh.

Dia menoleh ke arahku dengan wajah kaget. "Lo? Kok tau Mika?"

Aku hanya mengangkat bahuku acuh tak acuh.

"Keyla ya?" Dia masih menatapku, sementara aku masih menatap lurus ke depan. "Gue gak bisa ninggalin dia sendirian," dia mengembuskan napas berat.

Terus kalo tau gak bisa ninggalin dia, ngapain lo dateng ke gue?! Rasanya pengen banget ngomong kayak gitu, tapi, udah gak guna juga kan?

"Gue dateng ke elo gak main-main Di," seharusnya aku gak peduli, tapi entah kenapa aku juga penasaran sama ucapannya. "Gue pikir, dia udah sehat. Jadi gue bisa bilang kalo gue gak bisa sama dia lagi," dia mengembuskan napas panjang, "gue pengen sama lo, tapi ternyata kondisi dia justru makin parah" katanya seraya menunduk.

Aku menatapnya sekilas. Entah kenapa dadaku rasanya nyeri.

"Selama gue deket sama lo, gue lupa tanya kabar dia. Selama kita bareng, dia berjuang sendirian,"

Tak sadar sudut mataku berair, "terus salah gue? Terus harus gue yang nanggung semuanya? Terus harus gue yang sakit hati?" Aku memberanikan diri menatapnya dengan air mata mengalir.

Dia diam.

Aku memilih bangkit, berlalu pergi setelah hujan benar-benar berhenti.

*****

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang