22. Mendaki

2K 92 1
                                    

Pukul 7 pagi, aku, Sean, Alda, Gibran, Keyla, Rifal, dan Aldo sudah memiliki tiket masuk Wisata Alam Gunung Pangrango.

Tas besar sudah menggantung di punggung kami semua. Sejujurnya aku sedikit gugup, ini kali pertamaku mendaki, takut bisaku hanya merepotkan selama pendakian.

“Siap?” Tanya Sean.

Kami semuanya mengangguk.

“Kita berdoa dulu,” ucapnya memberi jeda, “berdoa mulai,” lanjutnya lagi. Kami semua menunduk, memanjatkan doa kepada Tuhan semoga diberikan keselamatan selama pendakian.

“Selesai,” kata Sean, “ayo, semangat!” Serunya sembari tertepuk tangan, membuatku tak bisa menahan senyum.

Pendakian di mulai.

Baru sekitar 15 menit menanjak, aku sudah merasa sangat kelelahan. Semuanya sudah berjalan jauh di depanku, kecuali Sean. Dia dengan senang hati berjalan di sampingku, wajahnya tidak kelihatan lelah sama sekali, justru sesekali mentertawakan ku.

“Mau balik lagi gak?” Tanyanya.

Aku hanya mendelik, dan dia kembali tertawa.

“Masih jauh gak?” Tanyaku terengah-engah.

“Enggak kok, bentar lagi sampe.”

Entah mendadak bodoh atau tidak bisa berpikir jernih, aku mengangguk percaya. Tapi sampai dua jam perjalanan, tetap tidak juga sampai.

Kini kami sampai di pos 1, aku menjatuhkan tubuhku, mengatur napas yang tidak beraturan, sembari minum air.

Tatapanku tak sengaja pada Sean dan Keyla yang kini duduk bersisian. Sejak mendaki tadi, gadis itu memang sering kali memanggil Sean untuk menjauh dariku, tapi Sean juga tidak keberatan menghampirinya.

Mereka, sepertinya memang sangat dekat.

Aku melengos, mendadak merasakan sesak, merasakan tidak adanya pasokan oksigen di dalam rongga dadaku.

Alda sibuk dengan Gibran, Rifal dan Aldo sibuk berbincang-bincang, Sean dan Keyla pun sedikit menjauh dari kami semua. Aku sendirian sejak sepuluh menit yang lalu. Menyebalkan bukan?

“Heh, Bubar, kok diem aja sih?” Sean terduduk di sampingku, setelah mendorong pelan bahuku.

“Suka-suka gue dong,” sahutku setelah mendelik sinis.

“Dih, capek ya?” Dia menatap wajahku lekat-lekat. Lengannya bergerak mengusap keringat yang membasahi pelipisku.

Senyum manisnya terbit, “rasa capek lo bakal kebayar setelah sampe puncak nanti, percaya sama gue.”

Kalau sikapnya begini terus, mana bisa aku marah?

****

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang