14. Pengakuan

2.2K 110 4
                                    

“Jujur ke gue Al, gue sahabat lo,” kataku setelah menghela napas panjang.

Sedari tadi, Alda terus menunduk. Aku bahkan merasa frustasi sendiri melihat Alda terus bungkam seribu bahasa.

“Lo takut gue sakit hati? Enggak Al, gue udah gak ada perasaan ke Gibran, dari dulu bahkan.”

Alda mulai mendongak, menatapku tak percaya.

Aku memaksakan diri untuk tersenyum, “gue udah gak suka ke Gibran.”

Air matanya turun, “gue gak tau harus ngapain, gue suka sama Gibran Di,” Alda kembali menunduk, “maaf.”

Aku terdiam. Mendadak merasa hampa, namun di dalam sana, jelas saja ada yang sesang terluka.

“Jauh sebelum lo suka ke Gibran, gue udah suka ke dia Di, tapi gue gak bisa bilang.” Ujarnya di sela isak tangis.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengisi rongga paru-paru dengan oksigen sebanyak mungkin, karena rasanya sesak luar biasa.

Isak tangis Alda semakin kencang, membuatku menariknya ke dalam pelukan.

“Gue takut ngecewain lo Di, gue juga takut sama Kak Syifa kalo gue deket terus sama Gibran. Tapi gue gak bisa bohongin perasaan gue sendiri Di, gue suka Gibran.”

Lenganku terangkat, mengusap sudut mataku yang berair. Kenapa semuanya harus jadi serumit ini?

“Maafin gue Di, maaf.”

“Yugo. Gimana sama dia?” Tanyaku pelan, memahan suaraku yang bergetar.

Alda menggeleng, “gue udah putus sama dia."”

“Jangan tutupin lagi perasaan lo, lo berhak suka sama siapapun.” Kataku susah payah.

“Lo gak akan benci gue kan?”

Aku tersenyum, getir. Mengangguk samar meskipun berat, dan sudut mataku kembali berair. Leher ku terasa berdenyut, ini... luar biasa menyakitkan.

****

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang