Pukul 4 sore, aku baru saja tiba di rumah di antar Sean.
"Makasih" kataku setelah turun dari motornya.
Dia pun ikut turun seraya melepaskan helm, "jangan nangis lagi ya, gue janji gak bakal ngusik hidup lo lagi" katanya yang justru membuat dadaku sesak. Seharusnya aku senang kan? Aku tidak lagi harus merasa tertekan.
"Jaga diri, jangan telat makan, kalo pulang malem lesnya, pesen ojeg online sebelum selesai. Jadi bukan lo yang nunggu," katanya lagi.
"Iya," aku merasa suaraku tercekat.
"Pokoknya, jangan sendirian. Gue gak mau denger kabar buruk tentang lo," katanya lagi. Kali ini berhasil membuat sudut mataku berair.
"Gue pulang dulu ya" katanya dengan senyum tipis. Dia hendak kembali memakai helm, tapi lengan ku secara tak sadar menahan lengannya. "Kenapa?"
Entah setan apa yang merasuki tubuhku, tiba-tiba aku melangkah mendekatinya, memeluknya erat.
"Sekali ini aja, izinin gue peluk lo sebentar" kataku melirih. Air mataku merembah di pipi.
Sean terdengar mengembuskan napas, lengannya mengusap-usap kepalaku. Boleh aku minta waktu berhenti saat ini?
Ok. Kalian bebas mengatai aku norak, lebay, atau apapun. Tapi aku benar-benar menyayangi Sean. Sejak kecil, aku tidak pernah merasakan sosok ayah dalam hidupku. Kehadiran Sean lebih dari seorang pacar. Dia ayah, kakak, teman, sahabat, bahkan bisa menjelma menjadi seorang ibu yang cerewet saat khawatir. Aku, lebih dari sekedar menyayangi Sean.
"Belajar lupain gue ya Di, lo berhak bahagia" katanya tercekat.
Air mataku terus mengalir. Dalam hatiku, bukan kalimat itu yang ingin aku dengar.
"Tetep jadi Diana yang sekarang, yang jutek dan galak ke cowok. Kayak ke gue waktu itu," dia terkekeh pelan.
Aku menarik napas dalam, bergerak menjauh darinya.
"Makasih pernah dateng," kataku seraya mengusap jejak air mata.
"Makasih juga pernah izinin gue dateng" katanya seraya mengulurkan tangan.
Aku tersenyum tipis, seraya menjabat uluran tangannya.
Hari ini, semuanya harus berakhir.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden [Proses Revisi]
Ficção AdolescenteWAJIB KASIH VOTE!!! Kesalahan ku hanya satu, di saat aku jatuh cinta, maka aku benar-benar jatuh. Terlalu sulit mengalihkan pandangan pada sesuatu yang terlalu dekat. Aku sibuk mengejar dia yang justru semakin terlihat seperti ilusi. Sampai akhirnya...