58. Jangan pergi, 1

1.6K 69 1
                                    

"Maaf," kata Sean untuk ke sekian kali. Sudah hampir setengah jam aku dan dia duduk berhadapan di sebuah kafe. Sedari tadi, hanya maaf yang dia bilang. Tidak ada penjelasan apapun. Tapi aku tidak memotong sama sekali, membiarkan dia yang terus bicara.

"Gue beneran minta maaf sama lo," katanya lagi, lagi-lagi mengembuskan napas berat.

"Kalo gak ada lagi, gue balik" ucapku dingin, dan hendak bangkit, namun dia menahan lenganku.

"Jangan dulu, belum selesai"

Aku mengembuskan napas jengkel. Jengkel karena aku penasaran setengah mati perihal hari waktunya tak lama lagi. Aku takut, Sean bakal pergi jauh.

"Buat semuanya, gue minta maaf," katanya. Sumpah demi apapun, bukan maaf yang ingin aku dengar, aku ingin penjelasan tentang ucapannya di sekolah tadi. "Gue gak bisa di Jakarta lagi," katanya yang tak sadar membuat mataku terasa panas.

"Kenapa? Mau lari dari masalah?" Tanyaku sarkastis.

"Bukan gitu Di," katanya menyesal.

"Ya terus apa?!"

"Keluarga gue, berantakan" ujarnya. Aku menatap matanya yang terlihat menggelap. Lengannya di atas meja pun mengepal, "bokap gue koruptor. Pengacara yang nanganin bokap itu Om Yuda, bokapnya Fajar," kata Sean berat, terlihat kilatan amarah di matanya, "tapi setelah kasus selesai, bokap divonis penjara 15 tahun, bokapnya Fajar justru nikah sama nyokap gue, ninggalin nyokapnya Fajar." Kata Sean lagi, kali ini menunduk.

Aku terkejut, tapi tak tahu harus merespon apa. Lenganku hanya terulur, menggenggam jemarinya erat.

"Bukan salah lo," kataku pelan.

"Tetep aja Di, gue ngerasa hidup gue berantakan, gak adil. Kenapa cuma gue? Kenapa bukan orang lain?"

"Berarti lo kuat," kataku. Aku tahu yang aku ucapkan hanya omong kosong, kenyataannya, aku gak mungkin sekuat Sean.

"Setiap kali gue napas, gue ngerasa gak pantes. Makanya gue janji buat nikah sama Mika, gue mau jadi orang berguna" kata Sean yang sontak membuat sudut mataku berair.

"Udah, jangan di lanjutin" kataku tercekat. Dadaku sesak mendengarnya, bagaimana pun, Sean masih jadi orang yang paling aku sayang.

"Tapi sekarang, udah gak ada lagi yang harus gue pertahanin di sini, gue harus pergi Di," katanya berat. Aku mencengkeram jemarinya semakin kuat.

"Mau ke mana?"

"Jepang, tinggal sama sepupu" katanya.

Aku menggeleng, dan air mataku pun mengalir. "Jangan"

"Kenapa?"

"Gue gak mau lo pergi lagi," kataku menunduk, lantas menangis. Lalu aku merasakan Sean mengusap-usap kepalaku tanpa mengatakan apapun.

******

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang