15. Tiba-tiba

1.9K 93 0
                                    

Kaus kuning terang dipadukan dengan celana training panjang. Memakai sepatu kets hitam, tak lupa ada handuk kecil di tengkuknya.

Aku berdecak pelan sambil berkacak pinggang, menatap Sean dari ujung kepala sampai kaki, sementara dia justru tersenyum lebar, kedua tangannya memegang ujung handuk di kanan dan kiri.

“Gue haus, minta minum dong!”

Aku menatapnya sinis, “lo pikir rumah gue jasa sedia minum gratis apa?!”

Dia tertawa renyah, “sensi banget sih Di, jadi makin cantik.”

“Lo kok bisa tau rumah gue sih?!”

Sean menyeringai, “gue kan udah pernah bilang, sampai ketemu di rumah. Jangan nyari tau di mana rumah lo, ulang tahun lo aja gue tau,”

Aku menatapnya tajam, “penguntit ya lo!”

Ibu jari dan telunjuknya bergerak-gerak di dagu, berlagak berpikir, “bukan sih, gue cuma... apa ya? Pokoknya gitu deh.”

“Apaan sih lo! Gak jelas banget!”

Lagi-lagi, dia menyahutinya dengan tertawa. Sumpah! Aku udah naik darah lho ini!

“Diana, gue beneran gak boleh minta minum? Haus serius.”

“Gak ada! Pulang aja sana!”

“Ya ampun, sama calon pacar gitu amat.”

Aku memelotot, “ngomong sekali lagi?!” Titahku sembari menudingkan kepalan tanganku.

Dia menyengir lebar, “marah-marah mulu nih, pengen banget dikejar terus.”

“Apaan...” gumamku pelan. Kali ini, mataku fokus pada motor Gibran yang baru saja berhenti tepat di samping rumahku. Di rumahnya Alda. Mataku menyaksikan Alda turun dari boncengan lelaki itu.

Tidak sadar membuatku menghela napas sesak.

“Miris ya kisah cinta lo? Jatuh cinta sama tetangga, tapi di rebut sama tetangga juga.”

Aku menoleh ke arah Sean, menatapnya tajam, “ngomong apa lo?!”

Bukannya menjawab, Sean justru menatapku lamat-lamat, lantas menolehkan kepalanya, mengikuti setiap gerakan Gibran sampai lelaki itu memarkirkan motornya di halaman rumah. Setelah itu Sean kembali menatapku sambil menggelengkan kepalanya.

“Gak pantes.”

“Apanya?”

“Muka cowok itu, gak pantes jadi pacar lo, pantesan juga gue.”

Aku langsung melotot, melangkah semakin mendekat, memukul bahunya berulang kali, sementara dia hanya tertawa, namun tetap bergerak menjauh.

“Ngomong sembarangan lagi gue gunting mulut lo!”

“Hati gue aja, mau gak?”

Aku semakin gencar memukulinya, tidak sadar jika kami sudah di luar gerbang rumah, Sean bergerak mundur, masih menertawaiku.

“Sampai ketemu lagi, Diana Febiola!” Teriaknya lantang.

What the...?! Dia tahu nama ku dari mana?!!!!!

****

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang