11. Sean

2.3K 115 3
                                    

Sudah hampir 20 menit aku menunggu angkot di halte, tapi belum juga ada yang melintas —ada yang melintas, tapi bukan jurusan ke rumahku.

Aku ingin cepat pulang. Apalagi, di sampingku ada Sean. Lelaki itu terus mengikuti ku sejak di toko buku tadi. Dia meracau untuk mengantarku pulang. Bagaimana bisa aku percaya, padahal aku baru tahu namanya belum genap sejam yang lalu?

“Di, ayo balik, gue anterin aja. Udah mau Maghrib nih.”

“Gak baik anak cewek pulang malem.”

Aku mendengkus pelan, “lo duluan aja, nggak apa kok. Gue nunggu angkot,” kataku. Aku beranjak bangkit, menatap lurus ke depan sana, mencari tanda-tanda kedatangan angkot. Tapi nihil, tidak ada satupun angkot yang melintas.

“Mau nunggu sampe kapan? Mending gue anterin pulang pake motor,” aku tetap bersikap tidak peduli. Meskipun ada perasaan takut dia bersikap seolah kami sudah saling mengenal.

“Gue janji gak akan ngapa-ngapain, suer.”

Aku menatapnya jengkel yang justru menatapku dengan tatapan sok polos sambil mengangkat kedua jarinya.

“Di ayo dong, gue anterin aja, ya?” Ujarnya lagi, wajahnya kelihatan frustasi.

Aku berdecak kesal, “kenapa lo maksa sih?! Udah dibilang, gue gak pergi sama orang asing!” Suaraku meninggi, nyaris membentak. Setelah itu memilih pergi, meninggalkan halte juga Sean yang kini melajukan motornya dengan kecepatan rendah, mengikuti langkah kaki ku.

“Di, maksud gue baik tau, gue cuma gak mau lo pulang telat,”

Aku diam.

“Maaf deh kalo gue maksa, gue gak bermaksud. Udah Maghrib, lo yakin bakal baik-baik aja naik angkot? Lo cewek Di.”

Aku tetap diam.

“Seenggaknya, ka—”

Belum sempat aku mendengarkan perkataan sok akrab dari Sean, angkot jurusan rumahku melintas, membuatku langsung naik. Meninggalkan lelaki aneh itu.

****

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang