20. Panggilan spesial

2.1K 95 0
                                    

“Lo yakin ikut ke Pangrango? Bahaya Di,” kata Alda, kayaknya sudah hampir sepuluh kali dia menanyakan itu padaku, sampai aku bosan sendiri, “kalo tiba-tiba gunungnya meletus gimana?”

Aku melengos sebal, “jadi lo mau ikut apa enggak?”

Dia tampak menimbang-nimbang, “gue mau sih, tapi gak berani ngajak Gibran. Dia lagi fokus ngejar PTN.”

“Minggu depan kan libur semester Al, Gibran juga gak mungkin kan belajar pas liburan?”

“Ya tapi tetep aja gue gak enak,”

Aku berdecak pelan, “coba ajak dulu, siapa tau dia mau ikut.”

Alda mengangguk, “nanti malem gue ke rumahnya.”

Begitu kira-kira hubungan mereka, sangat dekat. Aku tidak cemburu atau marah kok, tidak! Lagipula, sekarang aku punya Sean. HEHEHE!

“Hubungan lo sama Sean gimana? Belum ada kejelasan juga?” kata Alda.

“Lha, kenapa jadi bahas Sean sih?”

Dia tertawa meledek. “Ciyee, makin lengket ya.”

“Apaan deh.”

Satu hal yang berubah dariku, tidak pernah lagi bercerita apapun pada Alda. Aku tidak munafik, tentu saja ada rasa takut kejadian Gibran terulang lagi pada Sean. Demi apapun, aku gak bakal rela!

“Lo beruntung dapetin Sean, dia keliatan banget sayang sama lo Di,” ujar Alda, dan aku tidak menanggapi sama sekali. Tidak berniat membahas lebih jauh masalah Sean kepada Alda.

Ponselku bergetar, ada panggilan masuk, dari Sean. Senyumku mengembang sempurna, lantas bergerak menjauh sembari menerima panggilannya.

[Hai Bubar!] sapanya riang. Bubar itu artinya bukan selesai atau berhamburan. Bubar itu singkatan dari Bundanya Barbara, katanya sih panggilan spesial, iya, Sean seaneh itu memang:(

“Ada apa?”

[Jajan yuk]

“Ayo!”

[Sepuluh menit gue sampe, kalo belum siap, besok traktir gue!]

Tut...tut...tut...

Aku berdecak pelan, Sean memang menyebalkan tapi dia yang sering mengajakku berjalan kaki untuk mencicipi jajanan pinggir jalan.

Hal sederhana itu, justru membuatku merasa bahwa Sean benar-benar istimewa.

****

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang