56. Surat

1.8K 78 5
                                    

Aku menidurkan kepalaku pada lipatan tangan yang ku buat. Tak peduli dengan Kak Fajar yang kini berjongkok di samping mejaku.

"Di, maaf" katanya memelas. Gak tahu kenapa dia tiba-tiba mau menjatuhkan harga dirinya dengan terus merengek meminta maaf. Gak sadar apa dari tadi orang-orang memperhatikan?

Masalahnya, yang sedang berjongkok di sampingku itu Kak Fajar. Lelaki dingin dan cuek yang bahkan lebih sering diam di perpustakaan daripada keliaran di koridor, yang kata Alda udah berapa kali nolak gadis yang nembak dia.

"Di, Kakak tau Kakak salah, tapi serius, kali ini Kakak gak main-main, Kakak suka sama kamu" ujarnya memelas.

Aku bisa melihatnya dari celah tangan. Wajahnya terlihat sangat menyesal.

"Kakak sayang sama kamu," ujarnya setengah berbisik.

Aku memejamkan mataku erat, jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Kenapa Kak Fajar jadi manis gini sih?

"Di, please jangan kayak gini"

Aku menegakkan tubuh, menatapnya jengkel, "apaan sih?!" Kataku ketus. Jujur aku masih sangat kesal perihal ucapan Kak Fajar tiga hari yang lalu.

"Jangan diemin Kakak terus"

"Diemin apa sih? Emangnya kita pernah deket?" Kataku sarkastis. Iya, mungkin aku menyebalkan. Tapi coba bayangkan kalau kalian yang ada di posisiku? Yakin tidak merasa kecewa di permainan oleh dua lelaki sekaligus.

"Di ih," dia kembali merengek. Sumpah ya, suaranya menyebalkan banget, tapi mukanya gemas.

"Balik sana ke kelas!" Usirku galak.

Dia mengembuskan napas berat, bel masuk memang sudah sekitar lima menit lalu berdering, "pulang bareng Kakak ya" katanya.

Aku tidak menjawab. Memilih mengeluarkan mata pelajaran.

"Di, iya gak?"

Aku berdecak jengkel, "apaan sih? Balik sana! Gue gak pergi sama orang asing!" Ucapku masih bertahan dengan nada ketus.

Sebenarnya aku tidak tega melihat wajah memelasnya. Tapi aku hanya ingin memberikan pelajaran bahwa aku bukanlah perempuan bodoh yang bisa seenaknya menjadi bahan permainan lelaki.

Dia meraih buku tulis di atas mejaku berserta penanya. Lantas menuliskan sesuatu di halaman terakhir. Aku penasaran, tapi gengsi. Jadi ya pura-pura gak peduli gitu.

"Kakak ke kelas dulu ya," pamitnya. Sebelum pergi, dia mengusap-usap kepalaku. Membuatku terdiam beberapa saat, merasakan jantungku berdegup kencang luar biasa.

Aku meraih buku tulis ku, melihat tulisan rapi Kak Fajar di halaman terakhir.

Kamu boleh marah, tapi sekali ini aja. Masa belum pacaran aja udah berantem gak asik. Nanti aja kalo udah pacaran, biar punya sensasi cara ngendaliin ego buat terus bareng-bareng.

******

Hidden [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang