Semenjak kejadian malam itu, aku lebih menutup diri. Bahkan tidak masuk sekolah selama hampir seminggu. Kerjaanku hanya mengurung diri seharian di dalam kamar, kalau tidak dipaksa Ibu keluar untuk makan.
Setiap hari, Alda, Sean dan teman-teman ku di sekolah datang silih berganti. Namun tak satupun dari mereka berhasil bertatap muka denganku. Aku merasa malu dan jijik pada diriku sendiri, meskipun tetap merasa bersyukur tidak ada sesuatu buruk yang terjadi padaku. Tapi tetap saja, terasa sangat menjijikkan.
Setiap kali mengingat kejadian itu, maka tanpa diperintah, air mataku akan mengalir.
Pintu kamarku diketuk beberapa kali, membuatku segera menghapus air mata.
“Buka pintunya Di, kamu belum sarapan dari pagi,” teriak Ibu.
“Iya, nanti Diana makan kalo laper.” Setelahnya, aku tidak lagi mengindahkan perkataan-perkataan Ibu. Sampai beberapa menit kemudian, ponselku bergetar. Ada sebuah pesan dari Sean.
Liat ke keluar sekarang.
Aku tidak peduli. Sudah ku bilang, aku belum siap bertemu orang luar untuk sekarang, aku masih trauma.
Bugh.
Aku tersentak, dan tanpa diperintah kakiku berlari keluar balkon. Melihat ke bawah sana, ada Sean yang kini tergeletak, bersama tangga dan sepiring nasi yang sudah berserakan di mana-mana.
“Ya ampun Nak Sean!” Pekik Ibuku.
Aku pun merasa panik, cepat-cepat berlari keluar kamar, menemui Sean yang sepertinya jatuh dari tangga.
“Ngapain sih? Ada-ada aja!” Bentakku kesal.
“Diana! Orang jatuh bukannya di tolongin, dia kayak begini karena kamu tau!” Ibuku malah balas membentak ku. Dia memapah Sean yang sepertinya kesakitan untuk masuk ke dalam rumah.
Aku mendengkus sebal, ikut membantu Ibu memapah Sean. Kami duduk bersisian di ruang tamu, sementara Ibu pergi mengambil kotak P3K.
“Ngapain sih? Nyari penyakit aja, kerasa kan sekarang?!”
Dia tertawa-tawa, “nggak apa, yang penting bisa liat lo marah lagi.” Aku refleks memukul lengannya yang terluka, sampai dia kembali meringis, kesakitan. “Ashhh.”
“Ish maaf, maaf,” aku refleks meniup lukanya, sampai tak sadar jarak kami sangat dekat. Dan tengilnya, dia justru meniup wajahku.
“Sean!”
Dia tertawa, sangat keras sampai hatiku tiba-tiba menghangat.
Kedatangannya hari ini, seperti obat paling ampuh untuk menyembuhkan trauma.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden [Proses Revisi]
Teen FictionWAJIB KASIH VOTE!!! Kesalahan ku hanya satu, di saat aku jatuh cinta, maka aku benar-benar jatuh. Terlalu sulit mengalihkan pandangan pada sesuatu yang terlalu dekat. Aku sibuk mengejar dia yang justru semakin terlihat seperti ilusi. Sampai akhirnya...