20. Aku, Kau, dan Dia (a)

1.5K 82 15
                                    

Bisakah kau berhenti tersenyum seperti itu padaku? Kau hanya menambah rasa bersalah di dalam diriku

—•°•—
.
.
.

Val duduk sembari menatap ke arah luar jendela. Dia baru saja tiba di sini--ruang kelas--yang hanya ada dia. Sudah lima hari sejak perjalanan darmawisata, selama itu pula dia tidak masuk sekolah. Bukan tanpa alasan, tetapi dia disibukkan dengan kegiatan promosi film di luar negeri. Sebenarnya dia masih sangat lelah. Namun, dengan terpaksa dia harus datang secepat ini. Alasanya hanya satu.

Dia ingin meluruskan masalah yang telah terjadi.

Walaupun itu belum tentu berujung sesuai ekspektasi. Sebelum berangkat, dia sudah mengirim pesan kepada Ragi, bahwa ada hal penting yang ingin ia bicarakan.

Baru saja dia hendak mengecek ponsel, sebuah suara langkah membuat ia spontan menoleh.


"Ragi?" ucapnya dengan mata yang memperhatikan pergerakan si pemilik nama.

Ragi tersenyum lembut. "Sudah lama gue gak lihat lo."

Ekspresinya tidak seperti yang Val bayangkan. Dia sempat berpikir kalau suasana di antara mereka akan terasa canggung.

Val hanya tertawa kecil.

"Lo emangnya ke mana, sih, sampai lo absen selama itu?" Setelah meletakkan ransel, dia mendaratkan bokong di kursi yang ada di hadapan Val.

"Gue habis dari luar negeri, nemani nyokap gue."

Lagi dan lagi.

Dia harus berbohong. Di dalam hati, Val berulang kali mengucapkan maaf.

"Kali ini lo gak bohong, 'kan?"

Dumb!

Seketika Val merasa tertohok--tepat pada sasaran. Ragi berhasil menembakkan anak panah yang sangat panas, tepat di hatinya. Entah kalimat itu sebenarnya sebuah gurauan atau sindiran.

Namun, bukan Val namanya, jika tidak bisa menyembunyikan perasaan itu. "Gue serius. Gak bohong," ucapnya dengan wajah meyakinkan.

Melihat ekpresi Ragi, dapat dia pastikan bahwa dia percaya dengan kebohongan itu. Katakanlah Val sedang melakukan akting.

Ragi tersenyum penuh syukur. "Syukurlah."

Kini dia beralih berdeham. "Jadi, lo mau ngomong apa?"

Sontak Val merapatkan bibir--berusaha meyakinkan diri. "Ini masalah waktu itu. Hmm ... gue minta maaf," lirihnya sedikit menunduk. Dia tidak memiliki keberanian untuk menatap lawan bicara.

Seketika Ragi mengernyit bingung, "Maaf untuk apa?"

Terdengar hembusan napas panjang dari perempuan itu. "Karena gue gak bisa bicara jujur sama lo waktu itu."

Ragi tersenyum.

"Iya, gak apa-apa kok. Gue percaya, pasti ada alasan lain yang buat lo berbuat kayak gitu."

Bibir Val seketika mengatup.

Lagi-lagi, Ragi menaruh kepercayaan padanya. Sedangkan dia? Kenapa lelaki itu masih bisa tersenyum setelah dibohongi? Entah mengapa, senyuman yang diberikan menambah rasa bersalah pada dirinya.

Dia adalah orang jahat, yang menjadikan orang baik seperti itu sebagai korban.

Val berusaha menahan gejolak di dalam hati. "Ragi, lo jangan senyum kayak gitu," lirihnya hampir berbisik.

Sontak si pemilik nama menautkan alis.

"Kenapa?"

Val tersenyum manis. "Karena lo tambah keren kalau kayak gitu."

Bodoh ... maaf, Ragi, gue bohong lagi sama lo, batinnya.

—•°•—
.
.
.

TBC

Mata udah kayak lampu redup
😪

Gak kuat

So, 50 vote bakal next kilat 😘

IYA, LO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang