14. Memilih Jujur atau Bohong?

1.7K 105 10
                                    

Bolehkah aku berbuat jahat untuk meraih kebahagiaanku?
-•°•-
.
.
.

Bel istirahat baru saja berbunyi, hampir semua murid berhamburan keluar kelas.

Val melirik ke arah Ragi, mengantisipasi jika lelaki itu menghampiri. Namun, ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Ragi bahkan sudah tidak ada di ruangan tersebut. Membuat Val sedikit bernapas lega. Selama pelajaran dia tidak dapat fokus. Ragi terus saja memperhatikannya, walaupun dia tidak melihat dengan pasti, tetapi dia dapat merasakan.

"Di sini ada yang bisa bantu ibu bawa buku ke perpus?" Seorang wanita cantik baru saja memasuki ruang kelas.

Hani mengangkat tangan.

Val melirik. Tumben tuh anak rajin

"Saya rasa, Rety, mau membantu, Ibu." Hani melemparkan pandang pada Val.

Sontak Val mengerjap. Apa?! Dia nyuruh gue?

"Bagaimana, Rety, kamu mau?" tanya wanita itu.

Mendengar itu, Val hanya tersenyum sebisanya.

"Bisa, Bu," ucapnya sembari bangkit berdiri. Tidak mungkin dia menolak, karena dia tidak memiliki alasan yang kuat. Dia dapat melihat Hani melemparkan senyuman sinis, sebelum dia benar-benar keluar.

AWAS LO, HANIIIII!!!!

Val hampir menganga ketika melihat apa yang ada di hadapannya.

"Tolong ya ... bawain ini." Ucapan wanita itu merujuk pada setumpuk buku yang tingginya hampir setengah dari tinggi badan Val.

Mengangkat setumpuk buku itu seorang diri tidaklah mudah. Terlebih jarak dari perpustakaan ke kantor guru cukup jauh.

Ibu, kok jahat banget.

Wanita itu tersenyum. "Kamu bisa, 'kan?"

Tidakkkkk!! Gue mana kuat bawa buku sebanyak itu, Bu!

"Bisa kok, Bu." Senyum terpaksa dia sunggingkan.

"Baiklah. Maaf ya, sudah ngerepotin kamu. Kalau gitu ibu pergi dulu," ujarnya yang kemudian pergi.

Val terus menyunggingkan senyuman hingga wanita itu hilang dari pandangan. Dia kembali melihat setumpuk buku tadi, seketika kakinya lemah seperti jelly.

Matilah gue ... gue harus bawa buku sebanyak ini?

Dia hendak meringsut. Namun, seseorang tiba-tiba menopang tubuhnya.

"Lo gak apa-apa, 'kan?"

Melihat siapa sosok itu, sontak membuat dia bangkit berdiri. "Gue gak apa-apa kok," ucapnya berusaha menutupi rasa gugup.

Tidak ingin berlama-lama, dia berusaha untuk pergi. Namun, seketika dia terhenti. Ternyata itu tidak seringan yang diharapkan. Val melirik Ragi--berharap dia tidak menyadari.

Namun, Ragi malah mengambil alih setumpuk buku itu. "Kalau gak kuat bilang aja, gak usah sok kuat."

"Tapi, Ragi, masa lo semua yang bawa? Bagaimanapun juga, ini tanggung jawab gue."

"Nih, lebih baik lo bawa ini aja." Ragi menyodorkan buku itu.

"Kok cuma satu doang?"

"Nih." Ragi memberikan lagi satu buku. Total menjadi dua buku.

Namun, tetap saja Val tidak terima, "Kok cuma du--" Kalimatnya terhenti, ketika Ragi menyodorkan sapu tangan. Membuat si gadis menyerit bingung.

"Kok lo kasih ini ke gue?"

"Itu tugas buat lo. Entar kalau gue keringatan, lo yang ngelap pakai itu," terangnya sembari memperlihatkan deretan gigi putih.

Tidak tahan dengan senyuman si lelaki, Val menutup wajah dengan sapu tangan yang ia pegang--menutupi semburat merah di pipi--sebelum dia pergi mendahului lelaki berambut hitam legam itu.

Ragi tersenyum melihat tingkah laku Val. Dia bahkan tidak berhenti melihat sosok yang kini ada di hadapannya. Melihat Val yang sedang menutupi rasa malu, tidak berhenti menggelitik perutnya.

Namun, seketika dia berhenti. Membuat Val berbalik arah. "Lo kenapa?"

"Gue keringatan." Lagi-lagi dia memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Tanpa perlu komando, Val langsung melaksanakan tugas. Entah kenapa, dia merasa keberuntungan berpihak padanya. Bagaimana tidak, dia dapat melihat jelas setiap lekukan wajah lelaki itu.

Sempurna.

Kenapa Tuhan menciptakan manusia setampan dia?

Tanpa sadar, Val dapat merasakan embusan napas Ragi. Jarak mereka hanya terpaut beberapa senti. Namun, Val malah menikmati semua itu.

"Lo itu perempuan jahat tahu gak?"

Val mengerjap. Kenapa kalimat Rey seketika terngiang?

"Lo kenapa?"

Val memberi jarak. "Gak ada apa-apa kok."

"Baguslah kalau begitu. Ayo," Namun, Val lebih dulu menarik tepi bajunya. Membuat tanda tanya besar di kepala Ragi.

Dia menunduk. "Maaf."

Ragi menautkan alis. "Minta maaf buat apa?"

"Minta maaf, karena gue udah ngehindari lo tanpa ngasih alasan pasti ke lo."

"Sebenarnya, alsan gue ngejauhin lo, karena gue gak mau merusak hubungan lo sama Hani."

Maaf, Ragi, lagi-lagi gue bohong sama lo. Gue gak mungkin ngasih tahu yang sebenarnya.

Ragi meletakkan tumpukan buku ke lantai.

"Lo mau ngapain?" Kedua matanya mengikuti pergerakan si lelaki.

Ragi tak menjawab. Dia malah meraih sepatu gadis itu, dan memperbaiki ikatannya. "Lo dan Hani punya tempat masing-masing. Jadi, lo gak usah cemas soal itu." Dia pun tersenyum, ketika berhasil menyelesaikan ikatannya.

"Makasih sudah baik sama gue." Ragi menyejajarkan tinggi mereka.

Val tidak tahu harus berekspresi seperti apa.

Rey, kau benar. Aku adalah perempuan jahat.

-•°•-
.
.
.

TBC

Kata Rey, tunggu 60 vote baru dia muncul.

Soalnya dia kasihan sama author yang lagi sibuk dan butuh kasih sayang.

😂😂

IYA, LO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang