29. Do U wanna Play Game? (a)

992 61 15
                                    

______________________________
Terkadang manusia memerlukan bukti untuk mengubah pola pikirnya.
______________________________



»☆«

Cahaya merah mengisi sebagian ruang yang sangat gelap. Cahaya itu hanya terfokus pada seseorang yang ada di bawahnya. Ruangan yang terlihat seperti galeri foto, hanya dihuni oleh satu orang.

Sosok itu memperhatikan setiap lembar hasil karyanya. Sedangkan jari telunjuk, bergerak mengikuti jejeran foto yang sudah ia tata dengan rapi.

Gerakan itu pun berhenti pada sebuah foto. Dia pun tersenyum bangga. "Kenapa kau mengakhiri permainan ini dengan cepat, hmm?"

"Padahal mengajakmu untuk ikut bermain, sangatlah susah."

Dia mengambil foto itu, dan memasukkannya ke dalam album yang sudah ia sediakan. "Kau terlalu cepat memainkan pisau yang aku berikan. Tapi, setidaknya kau harus bangga, karena menjadi koleksi kesembilanku."

Dia beralih pada foto yang ada di sebelahnya, dan memperhatikan dengan lamat. Terlihat foto seorang perempuan tersenyum, lengkap dengan seragam sekolah.

"Valentine Goretty, kau akan kuberikan kesempatan terbuka untuk menyempurnakan jumlah koleksiku."

"Ahhh ...." Tiba-tiba sosok itu mengingat sesuatu yang hampir ia lupakan. "Mungkin orang yang bersamamu, juga akan aku kasih kesempatan untuk mengganjilkan koleksiku."

Dia menggantungkan foto itu, dan tersenyum. "Do you wanna play game?"

***

"SEMUANYA, HARAP KE RUANG TEATER SEKARANG!" teriak seorang lelaki yang bernotabene sebagai ketua kelas.

Hampir semua yang mendengarkan hal itu mengerang dengan keras. Namun, mereka harus melaksanakannya, dengan dalih mendapatkan nilai bagus.

"Kalian duluan aja. Gue bakal nyusul." Percayalah, kalimat itu merupakan penolakan yang Val berikan kepada dua lelaki sekaligus. Padahal sebelumnya, Ragi dan Rey berebutan untuk mengajak gadis itu.

Dua lelaki itu saling menjatuhkan pandang. Entah apa maksud mereka dengan begitu. Namun, pada akhirnya, mereka berjalan sesuai jalan mereka masing-masing.

Tidak perlu hitungan jam untuk mengheningkan ruangan tersebut.

Val yang masih sibuk dengan beberapa tugas, akhirnya meletakkan pulpen dengan bangga. "Selesai!" Dia pun membereskan beberapa buku, dan bangkit dari bangku--hendak ke ruang teater. Namun, pandangannya jatuh pada seorang perempuan yang duduk di pojok kelas.

"Megan? Lo ngapain di situ? Gak ke ruang teater?"

Perempuan yang menyembunyikan wajah dari tumpukan tangannya, langsung mendongak. "Untuk apa? Gue gak diperlukan di sana."

Dahi Val berkerut. "Kata siapa? Kalau lo merasa gak dibutuhkan, setidaknya buat diri lo supaya dibutuhkan."

Megan berpikir sejenak. "Baiklah." Tanpa aba-aba, dia meninggalkan bangkunya.

"Ayo, pergi sama-sama," ajaknya pada Val.

"Ayo," balas Val hendak mengikuti arah langkah si gadis.

IYA, LO!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang